Selasa, 07 Februari 2012

out plan

DI LUAR RENCANA

“MALANG” tak dapat di tolak mujur tak dapat di raih, “ kata orang. Aku sendiri  tak tahu pasti apakah inipun termasuk nasib atau bukan. Yang jelas, laki-laki yang kucintai akhirnya justru menikah dengan mbak  juni. Teman sekolah di DA  dulu. Tentu saja aku merasa gondok sekali pada mulanya, tapi lama-lama akhirnya terbiasa juga. Apalagi karena keduanya selalu bersikap baik terhadapku, dan menganggap aku sebagai adik mereka.
Sering mbak Juni menulis surat kepadaku, menanyakan tentang kabar dan keadaaanku. Selalu saja ku jawab bahwa aku tambah menyala, lalu kusambung dengan cerita yang panjang tentang kota budaya. Mbak juni membalasnya kembali dengan nada orang yang merasa kesal. Ada beberapa huruf yang dicoret dengan tebal, tanda serius.  katanya: ” tetap saja engkau begitu. Selalu pura-pura tidak tahu. Maksudku sudah punya pacar ? bersama ini ku kirimkan selembar cek. Datanglah ke bandung minggu depan, pakai kapal terbang saja, ku jemput disana. Kali ini tentu cocok dengan seleramu. Insinyur muda dan hebat.”
Ada rasa bosan naik di dada. Sudah berapa kali dia mencoba menjodohkanku. Tidak satupun terkait dihati. Mungkin karena dia merasa punya andil dalam menyakkiti hatiku waktu itu, maka dia begitu berkobar-kobar untuk mencarikan gantinya buatku. Seingatku, sudah dua dokter dan insinyur yang dititipi surat untukku sebagai dalih. padahal sebenarnya supaya mereka berkenalan dan bertemu denganku.
Semua serba sulit jadinya. Menolak sudah terlanjur kuterima ceknya, berangkat, terus terang saja: tidak bergairah, muak malah, tidak lucu, seperti barang dagangan saja, diperagakan.
Lantas kubuat sebuah keputusan. “baiklah,” kata hatiku. Akan kubuat dia jemu, supaya tak lagi dia berbuat seperti itu padaku, baik, tunggu saja, aku akan datang ke bandung, memenuhi undangannya. Untuk yang terakhir kalinya lalu kususun sebuah rencana “pasti” yang meyakinkan hatiku.
Malam itu kukatakan kepada ibu, bahwa aku akan ke bandung minggu depan. Lalu ku pinjam cincin kawin beliau. Kugosok cincin itu semalam suntuk sampai mengkilat seperti masih baru, dan kupasang di jari tangan kiriku. “ habis sudah kegemaranmu, takkan bisa menjodohkan aku lagi sekarang”.
Tadinya ada lima puluh nama telah kusiapkan untuk kuakui sebagai nama tunanganku. Tetapi aku selalu merasa geli, merasa lucu. Akhirnya kuambil keputusan untuk berpura-pura merahasiakan nama tunanganku ! Toh mereka tidak mungkin merebut cincinku. Lagi pula cincin itu agak kekecilan untuk jariku, sukar dilepas.
Hari itu aku berangkat. Pesawat berangkat jam 08.10. udara cerah. Dalam perjalanan seorang pramugari cantik menyajikan permen kepadaku. Kemudian ditawarkannya segebung koran dan majalah: “mau membaca ?” tegurnya ramah. Aku melongok sebentar: “life,” ujarku,. Tertarik oleh gambar depan yang menyala, jaqueline kennedy yang menjadi nona Onasis.
Hanya ku bolak-balik saja pada mulanya. Kemudian kulihat tulisan yang menyolok ditengah-tengahnya. Dicetak dengan huruf-huruf besar, kapital semua: “INDONESIAN AGRICULTURE,” komplit dengan gambarannya. Tergerak oleh rasa kebangsaan, artikel tersebut ku baca habis. Kuulangi sekali lagi karena kagum. Dengan DC9 dari surabaya ke bandung Cuma satu jam perjalanan, tak terasa habis untuk mebaca “Indonesian Agriculture” by macaaksara.
Komentar hati kecilku: luar biasa orang ini, tulisannya jelas dan mudah dimengerti. Digambarkannya keadaan pertanian di indonesia secara terbuka, tanpa ada yang ditutup-tutupi. Entah mengapa tiba-tiba saja aku merasa bangga. Tuan macaaksara telah mengangkat derajat pertanian di indonesia di mata  internasional.
Karena asyiknya aku dengan artikelnya, sebelum roti dan keju GIA sempat kusentuh, pesawat sudah mendarat di kemayoran.
Ternyat tiga orang sudah siap menjemputku disana. Dari jauh tampak mbak juni melmbai-lambaikan tangannya bersama dua orang laki-laki, yang seorang mas fahmi, dan satunya lagi tidak ku kenal. Tapi jelas bukan sopir.
Begitu sampai di tanah, mbak juni menyerbu dan menciumku. Mas fahmi cukup berjabatan tangan saja. Ketika dilihatnya cincin melingkar di jariku dia berteriak heran: “ sudah tunangan? Kok tidak mengundang kami?”
Mbak juni kulihat terkejut setengah mati. Sambil tertawa hambar katanya pelan, tapi gugup: “kenapa diam-diam saja?” dengan sedikit nada menyalahkanku. Aku hanya bisa tertawa.
“dengan siapa?” tiba-tiba laki-laki yang belum kukenal itu mengulurkan tangan.
“macaaksara,”  kujawab tenang.
“ooo,, yang menulis indonesian agricultere di life?” lalu dia tertawa keras, terkekeh-kekeh.
Aku agak tidak enak hati mendenngarnya.
“kukenal beliau. Teman bapakku. Simpatik memang. Maaf, kepalanya botak, bukan?” katanya menyambung kembali perkataanya.
Kulihat mbak juni berpandang-pandangan dengan suaminya. Aku sendiri terkejut setengah mati. Apa kata orang kalau betul macaaksara itu teman bapaknya? Pasti akan kelihatan kebohonganku. Meski begitu, seperti biasanya aku tidak mau kelihatan kalah moril. Kupaksa bersikap tenang dan kujawab sesopan mungkin: “betul. Anda benar!”.
Jangan tanya bagaimana perasaanku ketika itu.bayangkan aku membohong dan salah seorang diatara kami mengetahui kebohongan itu!. Mbak juni berulang kali menyesali perbuatanku. Bertunangan dengan orang tua, teman ayah Ir. Sukma Wijaya. Padahal maksud mereka justru Ir. Sukma itulah yang akan diperuntukan bagiku. Aku tidak bisa berbuat apa-apa, hanya pura-pura menyesal. Kukatakan bahwa semua itu hanya kehendak orang tua, bapak dan ibu.
Akhirnya seminggu di bandung persis seperti orang yang berlibur saja. Pagi hari berbelanja, naik elang kalapa, pasar baru dan st hall, dengan mbak juni. Dan sore hari dijemput oleh Insinyur muda itu untuk bermain tennis. Selalu aku diganggunya, dan macam-macam pula olok-oloknya:
”itulah sebabnya, kenapa surabaya kalah waktu PON yang baru lalu. Dietlah, engaku terlalu gemuk.” Aku Cuma tertawa kecut, tidak bisa membela diri, karena fakta telah menempatkan aku pada tempat yang paling tidak beruntung dalam hal ini.
Malamnya kami selalu bermain kartu. Tetap saja aku tidak pernah menang. Untung dia menjadi pasanganku jadi sedikit terhindar dari olok-oloknya.
Sore itu ku tantang dia main scrabble.
“O.K” ujarnya angkuh, seperti orang merasa pasti akan menang.
Kami berempat siap di tempat. Pada mulanya memang benar dia yang selalu mendapat angka yang tinggi, dan aku dongkol dibuatnya. Tapi ketika dia meletakan huruf yang kelitu, kontan aku berteriak keras, membayar kesalahan selama ini: “ what kind of english do you have sir ? bikin malu, insinyur apaan tuh. Copot saja titelnya, taruh dimeja!” mbak juni menginjak kakiku, matanya melotot tanda tidak setuju. Tapi dia ikut tertawa: “boleh juga..” jawabnya sabar.  Aku tambah jengkel dibuatnya  kesabaran yang berpura-pura, mau ambil muka dia rupanya.
“sombong, pura-pura, insinyur apaan tuh, nggak tahu bahasa inggris.” Kataku tetap melanjutkan perang mulut. Dia malah tertawa, kemudian menjawab: “memang bukan insinyur jurusan inggris!”.
Mas fahmi tertawa terkekeh-kekeh. Ditepuknya punggung insinyur muda itu sambil berkata: “kalian cocok, pandai bercanda.”
“sayang sudah tunangan, dengan tuan macaaksara lagi, teman ayahku. Aku tidak sanggup bersaing,” jawabnya dengan cepat.
Aku sudah hampir naik pitam. Segera aku sabarkan diri. Percuma, rupanya dia senang menggoda. Lantas kujawab dengan angkuh: “ harus donk, ngapain mengurus diri orang?”. Dia tertawa keras, seolah-olah ada hal yang lucu. Aku mengeluh dalam hati: “sialan, jangan-jangan dia tahu bahwa aku menipu”.
Pada malam keberangkatanku kembali ke surabaya, kami hanya berdua saja, nonton film ”admiral yamamoto” di Braga. Setelah pertunjukan habis, kami tidak segera pulang, tapi lewat jembatan surapati dulu sampai tiga kali. Aku diam saja, tidak ambil peduli, malas bebicara. Dia menepuk bahuku pelan: “kok dim saja, ingat pada tuan macaaksara?”
Kumaki dia dalam hati kecilku. selalu dia mengganguku dengan soal itu. Tetapi aku tetap pura-pura tidak tahu.” Aku heran kamu masih muda, cantik, kenapa kamu mesti bertunangan denga orang setua dia? Botak lagi. Apakah engkau tergila-gila kekayaannya? Silau kemashurannya? Atau mungkin karena kamu ingin bisa ke amerika kapan saja kamu suka nantinya?” katanya menyambung pembicaraanya.
Aku betul-betul tersinggung, kutatap wajahnya dengan tajam. Kalau bisa ingin dia kutelan saking bencinya. Sombongnya! Karena dia insinyur dia bisa menghina orang seenaknya? Peduli apa tua, kalau betul macaaksara itu tua? Apa dia kira semua orang harus jatuh cinta padanya karena dia insinyur, muda, gagah? Huh sombongnya!
Dia melirik kepadaku dengan sinis, menunggu jawaban. Karena itu aku terpaksa berkata dengan suara yang melengking tinggi, kering, sekering hatiku di waktu itu: “apa pedulimu, aku bisa mengatur diriku sendiri. Kalau aku mencintai seseorang, itu bukan karena gelar, pangkat atau kedudukannya. Gelar bukankah jaminan bahwa dia orang baik. Apalagi zaman sekarang bohong dianggap soal yang mudah.”
Dia tetap tenang-tenang saja. Senyum-senyum malah, sama sekali tidak menunjukan sakit hatinay.
“sopan memang, tuan macaaksara teman ayahku, pandai memikat hati perempuan. Bijaksana kelihatannya. Kukira engkau saja yang bersedia menjadi tunangannya.”
Tiba-tiba saja aku malu pada diriku sendiri. Keterlaluan leluconnya. Semuanya membuatku ingat pada sesuatu yang paling tidak kusukai dalam hidup ini. Sekuat tenaga aku berusaha menahan diri, tapi toh ketahuan juga, bahwa aku mulai menangis.
Dia berkata pelan, tanpa emosi: “maaf, aku mengatakan yang sebenarnya. Dan maaf, besok aku tidak bisa mengantarkan sampai lapangan terbang”.
Sampai di rumah, kubanting pintu mobil keras-keras. Dia tidak aku persilahkan mampir. Kami tidak saling berjabat tangan, apalagi mengucapkan salam perpisahan, atau terima kasih-kasihan. Cukup sampai disitu saja, pikirku.
Paginya,dua orang saja yang mengantarkanku ke lapangan terbang. Sepi, kami saling malas berbicara. Berulang kali mbak juni menepuk bahuku, kelihatan berat melepasku.
“mas fahmi, kirim salam buat tuan macaaksara” katanya.
Waktu itu jet comvair berangkat jam 06.05 pagi. Lagi-lagi pramugari yang cantik menawarkan bacaan buat penumpangnya.
“kompas,” ujarku ogah-ogahan. diberikannya satu padaku.
Ada sesuatu yang membuatku tersentak bangun dari sandaran kursi. Pada halaman pertamaterpasang gambar Ir. Sukma wijaya. judul berita jelas terbaca: “Ir. Macaaksara, diundang Gubernur Jatim untuk Memimpin proyek di Malang Selatan”.
Aku menjadi lemas seketika, tidak berdaya sama sekali. Bagaimana perasaanku tidak bisa dilukiskan. Cuma tuhan yang tahu. Rupanya macaaksara nama samarannya. Bagaimana mungkin? Aku tidak berani berpikir. Malu. Badanku menjadi panas dingin berganti-ganti. Aku tidak bisa bilang betapa tidak enaknya. Muka ini bercoreng arang rasanya. Dan akupun bersumpah tidak akan ke bandung lagi. Malu oleh mbak juni, malu oleh mas fahmi, berlebih-lebih oleh insinyur muda yang sudah kumaki-maki.
Pesawat sudah mendarat di waru, aku duduk di atas bangku panjang menunggu bagasi, murung. Seseorang menyapaku dari belakang: ” mana kupon bagasimu, biar aku ambilkan.” Ketika kutoleh, ternyata insinyur yang ku caci maki semalam.
“lho,” ujarku hambar, sudah mencakup semua pengertian, masa kalah dalam segala hal.
“VIP, duduk di ruang pengemudi,” ujarnya angkuh.
Aku tidak bisa berkata apa-apa. Kuberikan kupon bagasiku padanya.
Di dalam taksi, aku membuka pembicaraan, pelan, seperti orang yang kalah perang.
“aku malu”.
Dia pura-pura tidak mengerti: ”malu sama siapa?” ujarnya tanpa rasa berdosa.
“malu sama insinyur. Tentu insinyur menertawakan sikapku selama ini,” ujarku pelan. Lantas cincin ibu aku lepaskan. Tadinya hendak aku masukkan ke dalam tas maksudku, tapi insinyur muda itu merebutnya, lalu dimasukkannya kedalam sakunya.
“akan ku ganti dengan yang lebih bagus, yang cocok untuk jarimu,” ujarnya tenang, tanpa emosi.
“ternyata kamu lebih baik dari pada aku, sabar dan dewasa.” Kataku, teringat kembali bagaimana aku memaki-makinya selama ini.
“mas fahmi yang memberitahukan padaku, bagaimana watak dan kelakuanmu”.
“oo,, mas fahmi sudah tahu?” seruku kaget.
“dia guruku, orang seperti kamu memang harus dibikin jera. Sombongnya luar biasa. Satu hal yang mengherankanku: kenapa kau pilih macaaksara?”
“diluar rencana,” jawabku pelan, “kubaca namamu di pesawat, waktu aku berangkat. Aku suka pada orang-orang yang cemerlang. Ketika aku harus menjawab tunanganku yang memang tidak aada, ku ambil saja nama itu, tanpa prasangka. Bagaimana dengan mbak juni?”
“ini berita besar buatnya, dia berjanji, kalau aku berhasil menundukanmu, berarti dia yang akan membayarkan pestaku dan pestamu,,,??.”

minggu_Bandung, 02 oct ’11

Tidak ada komentar:

Posting Komentar