DI LUAR RENCANA
“MALANG” tak dapat di tolak
mujur tak dapat di raih, “ kata orang. Aku sendiri tak tahu pasti apakah inipun termasuk nasib
atau bukan. Yang jelas, laki-laki yang kucintai akhirnya justru menikah dengan
mbak juni. Teman sekolah di DA dulu. Tentu saja aku merasa gondok sekali
pada mulanya, tapi lama-lama akhirnya terbiasa juga. Apalagi karena keduanya
selalu bersikap baik terhadapku, dan menganggap aku sebagai adik mereka.
Sering mbak Juni menulis
surat kepadaku, menanyakan tentang kabar dan keadaaanku. Selalu saja ku jawab
bahwa aku tambah menyala, lalu kusambung dengan cerita yang panjang tentang
kota budaya. Mbak juni membalasnya kembali dengan nada orang yang merasa kesal.
Ada beberapa huruf yang dicoret dengan tebal, tanda serius. katanya: ” tetap saja engkau begitu. Selalu
pura-pura tidak tahu. Maksudku sudah punya pacar ? bersama ini ku kirimkan
selembar cek. Datanglah ke bandung minggu depan, pakai kapal terbang saja, ku
jemput disana. Kali ini tentu cocok dengan seleramu. Insinyur muda dan hebat.”
Ada rasa bosan naik di dada.
Sudah berapa kali dia mencoba menjodohkanku. Tidak satupun terkait dihati.
Mungkin karena dia merasa punya andil dalam menyakkiti hatiku waktu itu, maka
dia begitu berkobar-kobar untuk mencarikan gantinya buatku. Seingatku, sudah
dua dokter dan insinyur yang dititipi surat untukku sebagai dalih. padahal
sebenarnya supaya mereka berkenalan dan bertemu denganku.
Semua serba sulit jadinya.
Menolak sudah terlanjur kuterima ceknya, berangkat, terus terang saja: tidak
bergairah, muak malah, tidak lucu, seperti barang dagangan saja, diperagakan.
Lantas kubuat sebuah
keputusan. “baiklah,” kata hatiku. Akan kubuat dia jemu, supaya tak lagi dia
berbuat seperti itu padaku, baik, tunggu saja, aku akan datang ke bandung, memenuhi
undangannya. Untuk yang terakhir kalinya lalu kususun sebuah rencana “pasti”
yang meyakinkan hatiku.
Malam itu kukatakan kepada
ibu, bahwa aku akan ke bandung minggu depan. Lalu ku pinjam cincin kawin
beliau. Kugosok cincin itu semalam suntuk sampai mengkilat seperti masih baru,
dan kupasang di jari tangan kiriku. “ habis sudah kegemaranmu, takkan bisa
menjodohkan aku lagi sekarang”.
Tadinya ada lima puluh nama
telah kusiapkan untuk kuakui sebagai nama tunanganku. Tetapi aku selalu merasa
geli, merasa lucu. Akhirnya kuambil keputusan untuk berpura-pura merahasiakan
nama tunanganku ! Toh mereka tidak mungkin merebut cincinku. Lagi pula cincin
itu agak kekecilan untuk jariku, sukar dilepas.
Hari itu aku berangkat.
Pesawat berangkat jam 08.10. udara cerah. Dalam perjalanan seorang pramugari
cantik menyajikan permen kepadaku. Kemudian ditawarkannya segebung koran dan
majalah: “mau membaca ?” tegurnya ramah. Aku melongok sebentar: “life,”
ujarku,. Tertarik oleh gambar depan yang menyala, jaqueline kennedy yang
menjadi nona Onasis.
Hanya ku bolak-balik saja
pada mulanya. Kemudian kulihat tulisan yang menyolok ditengah-tengahnya.
Dicetak dengan huruf-huruf besar, kapital semua: “INDONESIAN AGRICULTURE,”
komplit dengan gambarannya. Tergerak oleh rasa kebangsaan, artikel tersebut ku
baca habis. Kuulangi sekali lagi karena kagum. Dengan DC9 dari surabaya ke
bandung Cuma satu jam perjalanan, tak terasa habis untuk mebaca “Indonesian
Agriculture” by macaaksara.
Komentar hati kecilku: luar
biasa orang ini, tulisannya jelas dan mudah dimengerti. Digambarkannya keadaan
pertanian di indonesia secara terbuka, tanpa ada yang ditutup-tutupi. Entah
mengapa tiba-tiba saja aku merasa bangga. Tuan macaaksara telah mengangkat
derajat pertanian di indonesia di mata
internasional.
Karena asyiknya aku dengan
artikelnya, sebelum roti dan keju GIA sempat kusentuh, pesawat sudah mendarat
di kemayoran.
Ternyat tiga orang sudah siap
menjemputku disana. Dari jauh tampak mbak juni melmbai-lambaikan tangannya
bersama dua orang laki-laki, yang seorang mas fahmi, dan satunya lagi tidak ku
kenal. Tapi jelas bukan sopir.
Begitu sampai di tanah, mbak
juni menyerbu dan menciumku. Mas fahmi cukup berjabatan tangan saja. Ketika
dilihatnya cincin melingkar di jariku dia berteriak heran: “ sudah tunangan?
Kok tidak mengundang kami?”
Mbak juni kulihat terkejut
setengah mati. Sambil tertawa hambar katanya pelan, tapi gugup: “kenapa
diam-diam saja?” dengan sedikit nada menyalahkanku. Aku hanya bisa tertawa.
“dengan siapa?” tiba-tiba
laki-laki yang belum kukenal itu mengulurkan tangan.
“macaaksara,” kujawab
tenang.
“ooo,, yang menulis
indonesian agricultere di life?” lalu dia tertawa keras, terkekeh-kekeh.
Aku agak tidak enak hati
mendenngarnya.
“kukenal beliau. Teman bapakku. Simpatik memang. Maaf, kepalanya
botak, bukan?” katanya menyambung kembali perkataanya.
Kulihat mbak juni
berpandang-pandangan dengan suaminya. Aku sendiri terkejut setengah mati. Apa
kata orang kalau betul macaaksara itu teman bapaknya? Pasti akan kelihatan
kebohonganku. Meski begitu, seperti biasanya aku tidak mau kelihatan kalah
moril. Kupaksa bersikap tenang dan kujawab sesopan mungkin: “betul. Anda
benar!”.
Jangan tanya bagaimana
perasaanku ketika itu.bayangkan aku membohong dan salah seorang diatara kami
mengetahui kebohongan itu!. Mbak juni berulang kali menyesali perbuatanku.
Bertunangan dengan orang tua, teman ayah Ir. Sukma Wijaya. Padahal maksud
mereka justru Ir. Sukma itulah yang akan diperuntukan bagiku. Aku tidak bisa
berbuat apa-apa, hanya pura-pura menyesal. Kukatakan bahwa semua itu hanya
kehendak orang tua, bapak dan ibu.
Akhirnya seminggu di bandung
persis seperti orang yang berlibur saja. Pagi hari berbelanja, naik elang
kalapa, pasar baru dan st hall, dengan mbak juni. Dan sore hari dijemput oleh
Insinyur muda itu untuk bermain tennis. Selalu aku diganggunya, dan macam-macam
pula olok-oloknya:
”itulah sebabnya, kenapa
surabaya kalah waktu PON yang baru lalu. Dietlah, engaku terlalu gemuk.” Aku
Cuma tertawa kecut, tidak bisa membela diri, karena fakta telah menempatkan aku
pada tempat yang paling tidak beruntung dalam hal ini.
Malamnya kami selalu bermain
kartu. Tetap saja aku tidak pernah menang. Untung dia menjadi pasanganku jadi
sedikit terhindar dari olok-oloknya.
Sore itu ku tantang dia main scrabble.
“O.K” ujarnya angkuh, seperti orang merasa pasti akan menang.
Kami berempat siap di tempat. Pada mulanya memang benar dia yang
selalu mendapat angka yang tinggi, dan aku dongkol dibuatnya. Tapi ketika dia
meletakan huruf yang kelitu, kontan aku berteriak keras, membayar kesalahan
selama ini: “ what kind of english do you have sir ? bikin malu, insinyur apaan
tuh. Copot saja titelnya, taruh dimeja!” mbak juni menginjak kakiku, matanya
melotot tanda tidak setuju. Tapi dia ikut tertawa: “boleh juga..” jawabnya
sabar. Aku tambah jengkel dibuatnya kesabaran yang berpura-pura, mau ambil muka
dia rupanya.
“sombong, pura-pura, insinyur apaan tuh, nggak tahu bahasa
inggris.” Kataku tetap melanjutkan perang mulut. Dia malah tertawa, kemudian
menjawab: “memang bukan insinyur jurusan inggris!”.
Mas fahmi tertawa
terkekeh-kekeh. Ditepuknya punggung insinyur muda itu sambil berkata: “kalian
cocok, pandai bercanda.”
“sayang sudah tunangan, dengan tuan macaaksara lagi, teman
ayahku. Aku tidak sanggup bersaing,” jawabnya dengan cepat.
Aku sudah hampir naik pitam.
Segera aku sabarkan diri. Percuma, rupanya dia senang menggoda. Lantas kujawab
dengan angkuh: “ harus donk, ngapain mengurus diri orang?”. Dia tertawa keras, seolah-olah
ada hal yang lucu. Aku mengeluh dalam hati: “sialan, jangan-jangan dia tahu
bahwa aku menipu”.
Pada malam keberangkatanku
kembali ke surabaya, kami hanya berdua saja, nonton film ”admiral yamamoto” di
Braga. Setelah pertunjukan habis, kami tidak segera pulang, tapi lewat jembatan
surapati dulu sampai tiga kali. Aku diam saja, tidak ambil peduli, malas
bebicara. Dia menepuk bahuku pelan: “kok dim saja, ingat pada tuan macaaksara?”
Kumaki dia dalam hati
kecilku. selalu dia mengganguku dengan soal itu. Tetapi aku tetap pura-pura
tidak tahu.” Aku heran kamu masih muda, cantik, kenapa kamu mesti bertunangan
denga orang setua dia? Botak lagi. Apakah engkau tergila-gila kekayaannya?
Silau kemashurannya? Atau mungkin karena kamu ingin bisa ke amerika kapan saja
kamu suka nantinya?” katanya menyambung pembicaraanya.
Aku betul-betul tersinggung,
kutatap wajahnya dengan tajam. Kalau bisa ingin dia kutelan saking bencinya.
Sombongnya! Karena dia insinyur dia bisa menghina orang seenaknya? Peduli apa
tua, kalau betul macaaksara itu tua? Apa dia kira semua orang harus jatuh cinta
padanya karena dia insinyur, muda, gagah? Huh sombongnya!
Dia melirik kepadaku dengan
sinis, menunggu jawaban. Karena itu aku terpaksa berkata dengan suara yang
melengking tinggi, kering, sekering hatiku di waktu itu: “apa pedulimu, aku
bisa mengatur diriku sendiri. Kalau aku mencintai seseorang, itu bukan karena
gelar, pangkat atau kedudukannya. Gelar bukankah jaminan bahwa dia orang baik.
Apalagi zaman sekarang bohong dianggap soal yang mudah.”
Dia tetap tenang-tenang saja. Senyum-senyum malah, sama sekali
tidak menunjukan sakit hatinay.
“sopan memang, tuan macaaksara teman ayahku, pandai memikat hati
perempuan. Bijaksana kelihatannya. Kukira engkau saja yang bersedia menjadi
tunangannya.”
Tiba-tiba saja aku malu pada diriku sendiri. Keterlaluan
leluconnya. Semuanya membuatku ingat pada sesuatu yang paling tidak kusukai
dalam hidup ini. Sekuat tenaga aku berusaha menahan diri, tapi toh ketahuan
juga, bahwa aku mulai menangis.
Dia berkata pelan, tanpa emosi: “maaf, aku mengatakan yang
sebenarnya. Dan maaf, besok aku tidak bisa mengantarkan sampai lapangan
terbang”.
Sampai di rumah, kubanting
pintu mobil keras-keras. Dia tidak aku persilahkan mampir. Kami tidak saling
berjabat tangan, apalagi mengucapkan salam perpisahan, atau terima
kasih-kasihan. Cukup sampai disitu saja, pikirku.
Paginya,dua orang saja yang
mengantarkanku ke lapangan terbang. Sepi, kami saling malas berbicara. Berulang
kali mbak juni menepuk bahuku, kelihatan berat melepasku.
“mas fahmi, kirim salam buat tuan macaaksara” katanya.
Waktu itu jet comvair
berangkat jam 06.05 pagi. Lagi-lagi pramugari yang cantik menawarkan bacaan
buat penumpangnya.
“kompas,” ujarku ogah-ogahan. diberikannya satu padaku.
Ada sesuatu yang membuatku tersentak bangun dari sandaran kursi.
Pada halaman pertamaterpasang gambar Ir. Sukma wijaya. judul berita jelas
terbaca: “Ir. Macaaksara, diundang Gubernur Jatim untuk Memimpin proyek di
Malang Selatan”.
Aku menjadi lemas seketika, tidak berdaya sama sekali. Bagaimana
perasaanku tidak bisa dilukiskan. Cuma tuhan yang tahu. Rupanya macaaksara nama
samarannya. Bagaimana mungkin? Aku tidak berani berpikir. Malu. Badanku menjadi
panas dingin berganti-ganti. Aku tidak bisa bilang betapa tidak enaknya. Muka
ini bercoreng arang rasanya. Dan akupun bersumpah tidak akan ke bandung lagi.
Malu oleh mbak juni, malu oleh mas fahmi, berlebih-lebih oleh insinyur muda
yang sudah kumaki-maki.
Pesawat sudah mendarat di
waru, aku duduk di atas bangku panjang menunggu bagasi, murung. Seseorang
menyapaku dari belakang: ” mana kupon bagasimu, biar aku ambilkan.” Ketika
kutoleh, ternyata insinyur yang ku caci maki semalam.
“lho,” ujarku hambar, sudah mencakup semua pengertian, masa
kalah dalam segala hal.
“VIP, duduk di ruang pengemudi,” ujarnya angkuh.
Aku tidak bisa berkata apa-apa. Kuberikan kupon bagasiku
padanya.
Di dalam taksi, aku membuka
pembicaraan, pelan, seperti orang yang kalah perang.
“aku malu”.
Dia pura-pura tidak mengerti: ”malu sama siapa?” ujarnya tanpa rasa
berdosa.
“malu sama insinyur. Tentu insinyur menertawakan sikapku selama ini,”
ujarku pelan. Lantas cincin ibu aku lepaskan. Tadinya hendak aku masukkan ke
dalam tas maksudku, tapi insinyur muda itu merebutnya, lalu dimasukkannya
kedalam sakunya.
“akan ku ganti dengan yang lebih bagus, yang cocok untuk
jarimu,” ujarnya tenang, tanpa emosi.
“ternyata kamu lebih baik dari pada aku, sabar dan dewasa.”
Kataku, teringat kembali bagaimana aku memaki-makinya selama ini.
“mas fahmi yang memberitahukan padaku, bagaimana watak dan
kelakuanmu”.
“oo,, mas fahmi sudah tahu?” seruku kaget.
“dia guruku, orang seperti kamu memang harus dibikin jera.
Sombongnya luar biasa. Satu hal yang mengherankanku: kenapa kau pilih
macaaksara?”
“diluar rencana,” jawabku pelan, “kubaca namamu di pesawat,
waktu aku berangkat. Aku suka pada orang-orang yang cemerlang. Ketika aku harus
menjawab tunanganku yang memang tidak aada, ku ambil saja nama itu, tanpa
prasangka. Bagaimana dengan mbak juni?”
“ini berita besar buatnya, dia berjanji, kalau aku berhasil
menundukanmu, berarti dia yang akan membayarkan pestaku dan pestamu,,,??.”
minggu_Bandung, 02 oct ’11
Tidak ada komentar:
Posting Komentar