Selasa, 07 Februari 2012

IJTIHAD DAN CONTOH PEMIKIRAN IMAM EMPAT MAZHAB

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
          Ketika Nabi Saw akan mengutus Mu’adz ibn Jabl (w. 18 H/629 M) ke Yaman untuk bertindak sebagai hakim, beliau bertanya kepada Mu’adz: “Apa yang akan kau lakukan jika kepadamu diajukan suatu perkara yang harus diputuskan?, Mu’adz menjawab: “Aku akan memutuskannya berdasarkan ketentuan yang termaktub di dalam Kitab Allah (Al-Qur’an)“ Nabi bertanya lagi : “Bagaimana jika didalam Kitab Allah tidak terdapat ketentuan tersebut?” Mu’adz menjawab: “Dengan berdasarkan Sunnah Rasulullah Saw” Nabi bertanya lagi: “Bagaimana jika ketentuan tersebut tidak terdapat pula didalam Sunnah Rasulullah” Mu’adz menjawab “Aku akan berijtihad dengan pikiranku, aku tidak akan membiarkan suatu perkara pun tanpa putusan, lalu Mu’adz mengatakan: “Rasulullah kemudian menepuk dadaku seraya mengatakan: “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan taufiq kepada utusanku untuk hal yang melegakanku.[1]
          Dari Hadis tersebut di atas, diperoleh kesimpulan, bahwa sumber-sumber hukum Islam adalah al-Quran dan Sunnah, dalam al-Quran dan Sunnah tidak terdapat ketentuan hukum sesuatu, maka diusahakan hukumnya melalui ijtihad. Karena itu dalam sejarah pemikiran Islam, ijtihad banyak digunakan. Hakikat ajaran al-Quran dan hadis memang menghendaki digunakannya ijtihad. Ayat-ayat al-Quran yang jumlahnya lebih dari 6300, hanya lebih kurang 500 ayat, menurut perkiraan ulama, yang berhubungan dengan aqidah, ibadah dan muamalah. Ayat-ayat tersebut, pada umumnya berbentuk ajaran-ajaran dasar tanpa penjelasan lebih Ianjut mengenai maksud, rincian, cara pelaksanaannya dan sebagainya, untuk itu ayat- ayat tersebut perlu dijelaskan oleh orang-orang yang mengetahui al-Quran dan hadits, yaitu pada mulanya sahabat Nabi dan para Ulama. Penjelasan oleh para sahabat Nabi dan para Ulama itu diberikan melalui ijtihad.

B.     Rumusan Masalah
a.       Apa yang dimaksud dengan ijtihad?
b.      Bagaimana hukum dan syarat ijtihad?
c.       Bagaimana kebenaran hasil ijtihad?
d.      Bagaiman pendapat para ulama tentang ijtihad?
e.       Bagaimana cara melakukan ijtihad?
f.       Bagaiman ijtihad dan contoh pemikiran imam empat madzhab?
g.      Apa yang dimaksud dengan itiba’ dan taklid?
h.      Bagaimana pendapat empat imam madzhab tentang taklid?

C.    Tujuan Penulisan
a.       mengetahui hukum, syarat, dan kebenaran hasil ijtihad.
b.      mengetahui pendapat para ulama tentang ijtihad dan cara melakukannya.
c.       Mengetahui metode ijtihad dan contoh pemikiran imam empat madzhab.
d.      Mengetahui yang dimaksud dengan itiba’ dan taklid, serta pendapat empat imam madzhab tentang hal tersebut.












BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Ijtihad
الإِجْتِهَادُ هُوَ إِسْتِفْرَاغُ الوُسْعِ فِي نَيْلِ حُكْمٍ شَرْعِيٍّ بِطَرِيقِ الإِسْتِنْبَاطِ فِي الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ
            “Ijtihad ialah mencurahkan segala kemampuan dalam mencapai hukum syara’ dengan cara istinbath (menyelidiki dan mengambil kesimpulan hukum yang terkandung) pada Alquran dan sunah”.[2]
Ijtihad secara bahasa berarti berusaha bersungguh-sungguh. Mengerjakan segala sesuatu dengan segala keteguhan. Menurut ilmu ushul fiqih, ijtihad identik dengan kata “istinbath” yang artinya, mengeluarkan sesuatu dari persembunyiannya. Sedangkan menurut istilah, para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan ijtihad, diantaranya:
Ø  Menurut Kasuwi Saiban: ijtihad adalah segala upaya yang dicurahkan  ujtahid dalam berbagai bidang ilmu, seperti fiqih, teologi, filsafat, tasawuf dan sebagainya.
Ø  Ibrahim Hosen: ijtihad adalah penelitian dan pemikiran untuk mendapatkan sesuatu yang terdekat dengan kitab Allah dan sunnah rasul, baik melalui suatu nash maupun melalui maksud dan tujuan umum hikmah syariah yang disebut mashlahat.
Ø  Ahmad Azhar Basyir: ijtihad adalah penggunaan akal fikiran semaksimal mungkin untuk memperoleh ketentuan hukum syara’.
Ø  Jumhur ulama: mengarahkan segenap kemampuan oleh seorang ahli fiqih atau mujtahid untuk memperoleh pengertian tingkat dzani mengenai hukum syara’.
Ø  Depag RI: ijtihad adalah mengerahkan semua potensi dan kemampuan semaksimal mungkin untuk mendapatkan hukum-hukum syariah berdasarkan dalil-dalil syara’.

B.     Ruang Lingkup Ijtihad

          Permasalahan yang dapat diijtihadi ialah:

a)      masalah-masalah yang ditunjuk oleh nash yang zhanniyatul wurud (kemunculannya perlu penelitian lebih lanjut) dan zhanniyatud dilalah (makna dan ketetapan hukumnya tidak jelas dan tegas).

b)      masalah-masalah yang tidak ada nashnya sama sekali.

Sedangkan bagi masalah yang telah ditetapkan oleh dalil sharih (jelas dan tegas) yang qat’iyyatud wurud (kemunculannya tidak perlu penelitian lebih lanjut) dan qath’iyyatud dilalah  (makna dan ketetapan hukumnya sudah jelas dan tegas), maka tidak ada jalan untuk diijtihadi. Kita berkewajiban melaksanakan petunjuk nash tersebut. Misalnya jumlah hukum cambuk seratus kali dalam firman Allah:

èpuÏR#¨9$# ÎT#¨9$#ur (#rà$Î#ô_$$sù ¨@ä. 7Ïnºur $yJåk÷]ÏiB sps($ÏB ;ot$ù#y_ ... ( ÇËÈ  

“Perempuan dan laki-laki yang berzina cambuklah masing-masing dari keduanya seratus kali.”  (Q.S. An-Nur: 2)

C.    Hukum Ijtihad
1.      Wajib ‘ain, Yaitu bagi seorang mujtahid yang ditanya tentang masalah, sedang masalah tersebut akan segera hilang (habis) bila tidak segera dijawab/diselesaikan. Demikian pula wajib ‘ain apabila masalah tersebut dialami sendiri oleh seseorang dan ia ingin mengetahui hukumnya.
2.      Wajib kifayah, yaitu bagi seseorang mujtahid yang ditanya tentang sesuatu masalah dan tidak dikhawatirkan habisnya atau hilangnya masalah tersebut, sedang selain dia sendiri masih ada mujtahid lain. Dalam situasi yang demikian apabila semuanya meninggalkan ijtihad, mereka berdosa.
3.      Sunnat, yaitu ijtihad terhadap sesuatu masalah atau peristiwa yang belum terjadi baik dinyatakan atau tidak.

D.    Syarat-Syarat Ijtihad
1.      Bersifat adil dan takwa.
2.      Memahami Al-Quran dan Al-Hadits. Kalau tidak memahami salah satunya, maka ia bukan mujtahid dan tidak boleh berijtihad. Hal ini menjadi syarat utama, karena ijtihad hanya boleh dilakukan apabila telah diketahui tidak ada penjelasan dari Al-Quran atau Al-Hadits.
3.      Mengetahui hukum-hukum yang ditetapkan oleh Ijma’. Sehingga ia tidak memberikan fatwa yang berlainan dengan Ijma’, kalau ia berpegang kepada Ijma dan memandangnya sebagai dalil.
4.      Mengetahui serta memahami bahasa Arab. Mujtahid juga harus mengatahui lafadz-lafadz yang zhahir, mujmal, yang hakikat, yang mahmuz, am, khash, muhkam, mutasyabihat, mutlaq, muqayad, mantuq, dan mufham. Semua ini perlu untuk memahami Al-Quran dan Al-Hadits.
5.      Mengetahui Ilmu Ushul Fiqh dan harus menguasai ilmu ini dengan kuat, karena ilmu ini menjadi dasar dan pokok ijtihad. Hendaknya seorang mujtahid menguasai ilmu usuhl fiqh ini sehingga sampai kepada kebenaran, dengan demikian ia mudah mengambalikan soal-soal cabang kepada soal-soal pokoknya.
6.      Mengetahui nasikh dan mansukh. Sehingga ia tidak mengeluarkan hukum berdasarkan dalil yang sudah dimansukh.

E.     Tingkatan-Tingkatan Mujtahid
·         Mujtahid mutlak, yaitu yang memiliki syarat-syarat ijtihad dan memberikan fatwa dalam segala hukum dengan tidak terikat oleh sesuatu madzhab.
·         mujtahid muntasib, yaitu orang yang mempunyai sarat-syarat ijtihad, tetapi menggabungkan dirinya kepada sesuatu madzhab karena mengikuti cara-cara yang ditetapkan oleh imam madzhab tersebut dalam berijtihad.

F.     Kebenaran Hasil Ijtihad.
          Segolongan Ulama berpendapat bahwa semua mujtahid mencapai kebenaran dalam hasil berijtihadnya, menurut Abu Hanifah, Malik dan Syafi’i. Tidak semua mujtahid mencapai kebenaran dalam ijtihadnya tetapi ada yang mencapai kebenaran dan ada yang tidak.
          Sabda Rasulullah saw. Artinya : “seorang hakim apabila berijtihad kemudian ternyata ijtihadnya benar, maka ia mendapat dua pahala apabila ia berijtihad dan ternyata keliru (tidak mencapai kebenaran) maka ia mendapat satu pahala” (HR. Bukhari).
          Hadits tersebut menunjukan, bahwa kebenaran itu hanya satu. Sebagian mujtahid dapat mencapainya, maka ia dikatakan yang mencapai kebenaran dan ia akan mendapat dua pahala. Sebagian lagi tidak dapat mencapai kebenaran dan ia akan mendapat satu pahala; pahala ini karena ijtihadnya, bukan karena kekeliruannya.

G.    Pendapat Para Ulama tentang Ijtihad Nabi dan Sahabat.
          Para Ulama sepakat bahwa Nabi boleh berijtihad dalam masalah yang berhubungan dengan soal dunia seperti dalam soal peperangan, perdamaian, menentukan startegi dan lain-lain.
          Adapun ijtihad Nabi dalam hukum-hukum syari’ah, maka para ulama berbeda pendapat:
·         Menurut golongan Asy’ari Nabi tidak berijtihad sebab ia terhindar dari kemungkinan salah. Mengapa Nabi boleh berijtihad padahal Nabi, terjamin dari kesalahan.
·         Menurut golongan yang lain, Nabi boleh berijtihad, dan kalaupun salah maka Allah akan memperbaiki kekeliruannya.
Adapun mengenai kebolehan para sahabat untuk berijtihad para Ulamapun berbeda pendapatnya. Pendapat yang kuat membolehkan para sahabat berijtihad baik dikala berdekatan dengan Nabi maupun dikala berjauhan dengan beliau.
Nabi pernah berkata kepada ‘Amr Bin Ash: putuskan beberapa perkara. Amr bin Ash berkata: apakah saya boleh brijtihad sedang anda masih ada? Jawab Nabi: Ya, apabila tidak benar kamu mendapat satu pahala’.

H.    Cara melakukan ijtihad
          Seseorang yang hendak berijtihad haruslah memperhatikan urutan-urutan di bawah ini. Apabila ia tidak mendapatkan sesuatu dalil yang lebih tinggi tingkatannya, barulah ia boleh menggunakan dalil-dalil berikutnya.
Urutan tersebut adalah sebagai berikut:
          Dalil dalam bentuk:
a.       Nash-nash Al-Quran
b.      Hadits Mutawattir
c.       Hadits Ahad
d.      Zhahir Al-Quran
e.       Zhahir Hadits
f.       Dalil Mafhum
g.      Mafhum Al-Quran
h.      Mafhum Hadits
i.        Perbuatan dan Taqrir Nabi
j.        Qiyas
k.      Bara’ah Ashaliyah
Kalau ia menghadapi dalil-dalil yang berlawanan, hendaknya ditermpuh beberapa alternatif berikut:
a.       Memadukan/mengkompromikan dalil-dalil tersebut
b.      Mentarjihkan (menguatkan salah satunya)
c.       Menashkan; yaitu dicari mana yang lebih dulu dan mana yang kemudian, yang lebih dahulu itulah yang dinashkan (tidak berlaku lagi)
d.      Tawaqquf, yakni membiarkan atau tidak menggunakan dalil dalil yang bertentangan tersebut.
e.       Menggunakan dalil yang lebih rendah tingkatannya

I.       Ijtihad dan Contoh Pemikiran Imam Empat Madzhab
1.      MADZHAB HANAFI (80-150 H/ 699-767 M)
*      Biografi singkat Imam Abu Hanifah.
Madzhab ini didirikan oleh Abu Hanifah yang nama lengkapnya adalah Nu’man bin Tsabit bin Zuthi. Beliau hidup 52 tahun pada zaman Dinasti Umayyah dan 18 tahun pada zaman Dinasti Abbasiyyah. Secara politik ia berpihak kepada keluarga ‘Ali (Ahlul Bait) yang selalu ditindas dan dianiaya oleh Dinasti Umayyah.                         Beliau dilahirkan di kota Kufah, Irak pada tahun 80 H. Beliau menolak menjadi hakim atas tawaran Khalifah al-Manshur pada masa Dinasti Abbasiyah, yang mengakibatkannya dipenjara dan dicambuk. Akibat penderitaannya dalam penjara beliau meninggal pada tahun 150 H.
*      Metode ijtihad pokok Abu Hanifah
·         Al-Qur’an
·         Sunnah Rasulullah dan atsar yang shahih yang diriwayatkan orang tsiqah.
·         Ijma sahabat. Apabila yang di carinya tidak di temui pada kedua sumber utama, Imam Hanafi berpegang kepada ijma' sahabat yaitu ketika ia mendapati semua sahabat mempunyai pendapat yang sama dalam suatu masalah. Apabila sahabat berbeda pendapat, ia memilih salah satu pendapat yang paling dekat menurutnya kepada Al-Qur'an dan sunnah dan meninggalkan pendapat yang lain.
·         Qiyas. Apabila beliau tidak menemukan hukum di dalam Qur'an, Hadits, dan Ijma' sahabat, beliau melakukan ijtihad dengan menggunakan qiyas terlebih dahulu.
·         Istihsan. Bila ada pertimbangan khusus, beliau meniggalkan qiyas dan melakukan istihsan.[3]
·         Qaul sahabat, apabila ada ikhtilaf, aku akan mengambil pendapat sahabat yang aku kehendaki dan aku tidak akan berpindah dari pendapat satu ke pendapat sahabat lain.
·         Apabila didapatkan pendapat Ibrahim, Sya’bi dan Ibn Musayyab, serta yang lainnya, aku berijtihad sebagaimana mereka berijtihad.
·         'Urf. Metode ijtihad yang terakhir yang di pergunakan oleh Imam Hanafi.

*      Metode ijtihad Abu Hanifah yang bersifat tambahan.
·         Dilalah lafadz ‘am adalah qath’i, seperti lafadz khash
·         Pendapat sahabat yang tidak sejalan dengan pendapat umum adalah bersifat khusus
·         Banyaknya yang meriwayatkan tidak berarti lebih kuat (rajih)
·         Adanya penolakan terhadap mafhum (makna tersirat) syarat dan sifat
·         Apabila perbuatan rawi menyalahi riwayatnya, yang dijadikan dalil adalah perbuatannya bukan riwayatnya
·         Mendahulukan qiyas jali atas khabar ahad yang dipertentangkan
·         Menggunakan istihsan dan meninggalkan qiyas apabila diperlukan.

*      Contoh Pendapat Abu Hanifah:
·         Benda wakaf masih tetap milik wakif. Kedudukan wakaf dipandang sama dengan ’ariyah (pinjam meminjam). Karena masih tetap milik wakif, maka benda wakaf dapat dijual, diwariskan dan dihibahkan oleh wakif kepada yang lain, kecuali wakaf untuk mesjid, wakaf yang ditetapkan berdasarkan keputusan hakim, wakaf wasiat, dan wakaf yang diikrarkan secara tegas bahwa wakaf itu terus dilanjutkan meskipun wakif telah meninggal dunia. (Istihsan)
·         Perempuan boleh menjadi hakim di pengadilan yang tugasnya khusus menangani perkara perdata, bukan perkata pidana. Alasannya, karena perempuan tidak dibolehkan menjadi saksi pidana, perempuan hanya dibenarkan menjadi sanski perkara perdata. Karena itu menurutnya perempuan hanya boleh jadi hakim yang menangani perkara perdata.

Dengan demikian, metode ijtihad yang digunakannya adalah qiyas dengan menjadikan kesaksian sebagai ashl dan menjadikan hakim sebagai far’i.

*      Kitab rujukan Madzhab Hanafi
            Masalah-masalah fiqh yang terdapat dalam Madzhab Hanafi dibedakan menjadi tiga, yaitu:
·         Al-Ushul, yaitu masalah-masalah yang termasuk zhahir riwayah, yaitu pendapat yang diriwayatkan dari Abu Hanifah dan sahabatnya, seperti Abu Yusuf, Muhammad. Adapun kitab yang termasuk zhahir riwayah ada enam buah, yaitu al-Mabsuth atau al-Ashl, al-Jami’ al-Kabir, al-Jami’ al-Shaghir, al-Siyar al-Kabir, al-Siyar al-Shaghir dan al-Ziyadat. Keenam kitab itu kemudian disusun menjadi satu kitab yaitu al-Kafi oleh Hakim al-Syahid. Selanjutnya, kitab ini disyarahi oleh Syamsuddin al-Syarkhasi dan dikenal dengan nama al-Mabsuth (30 jilid).
·         Al-Nawadir, yaitu pendapat-pendapat yang diriwayatkan dari Abu Hanifah dan sahabatnya yang tidak terdapat dalam zhahir riwayah. Kitab-kitab yang termasuk Nawadir yaitu al-Kaisaniyyat, al-Ruqayyat, al-Haruniyyat dan al-Jurjaniyat.
·         Al-Fatawa, adalah pendapat-pendapat para pengikut Abu Hanifah (Hanafiyah), yang tidak diriwayatkan dari Abu Hanifah, seperti Kitab al-Nawazil karya Abi Laits al-Samarqandi.

2.      MADZHAB MALIKI
*      Biografi singkat Imam Malik
     Nama lengkap Imam Malik adalah Malik bin Anas bin Abi ‘Amar al-Ashbahi. Beliau di lahirkan di Madinah pada tahun 93 H. Tidak berbeda dengan Abu Hanifah, beliau juga termasuk ulama dua zaman. Ia lahir pada zaman Dinasti Umayyah, tepatnya pada masa pemerintahan Walid bin Malik (setelah Umar bin Abdul Aziz), dan meninggal pada masa Dinasti Abbasiyah, tepatnya pada masa Harun al-Rasyid, yaitu pada tahun 179 H. Beliau merasakan pemerintahan Umayyah selama 40 tahun dan pemerintahan Abbasiyah selama 46 tahun.

*      Metode ijtihad Imam Malik
Dalam proses Istinbath al-Ahkam Imam Malik menempuh cara sebagai berikut:
1)      Mengambil dari al-Qur’an
2)      Menggunakan “zhahir” al-Qur’an, yaitu lafadz umum.
3)      Menggunakan “dalil” al-Qur’an, yaitu mafhum muwafaqah
4)      Menggunakan “mafhum” al-Qur’an yaitu mafhum mukhalafah
5)      Menggunakan “tanbih” al-Qur’an, yaitu memperhatikan illat.

Dalam Madzhab Maliki lima langkah di atas disebut sebagai Ushul Khamsah, langkah berikutnya adalah: ijma’, qiyas, amal penduduk Madinah, istihsan, sadz dzara’i, mashlahah mursalah, qaul shahabi, mura’at al-khilaf, istishhab dan syar’u man qablana. Sementara itu salah satu penerus Madzhab Maliki yaitu al-Syathiby menjelaskan bahwa dalil hukum bagi Madzhab Maliki adalah al-Qur’an, al-Sunnah, al-Ijma’ dan Qiyas. Salah satu dalil hukum yang sering dijadikan oleh Imam Malik adalah Ijma’ ulama Madinah. Beliau lebih mengutamakan ijma’ dan Amal ulama Madinah daripada qiyas, khabar ahad dan qaul shahabat.

*      Kitab rujukan Madzhab Maliki
            Kitab utama yang menjadi rujukan Madzhab Maliki:
·         Al-Muwaththa’ karya imam malik.
·         Al-Mudawwanah al-Kubra karya Abdussalam Tanukhi.
·         Bidayah al-Mujtahid wa al-Nihayat al-Muqtashid karya Abu al-Walid Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Ahmad ibn Rusyd al-Qurthubi al-Andalusi.
·         Fath al-Rahim ‘ala Fiqh al-Imam Malik bi al-Adillah karya Muhammad ibn Ahmad.
·         Al-I’tisham karya Abi Ishaq ibn Musa al-Syathiby.

Adapun kitab Ushul Fiqh dan Qawa’id al-Fiqh aliran Madzhab Maliki antara lain sebagai berikut:
·         Syarh Tanqih al-Fushul fi Ikhtishar al-Mahshul fi al-Ushul dan al-Furuq karya Syihabuddin Abu al-Abbas Ahmad ibn Idris al-Qurafi (w. 684 H)
·         al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam karya Abi Ishaq ibn Musa al-Syathiby.
·         Ushul al-Futiya karya Muhammad ibn al-Harits al-Husaini (w. 361 H)

*      Contoh pendapat Imam Malik
            Ulama sepakat bahwa adzan shalat dilakukan dua kali-dua kali, tetapi mereka berbeda pendapat tentang jumlah jumlah qamat shalat. Menurut Imam Malik, qamat shalat dilakukan satu kali-satu kali. Ketika ditanya tentang adzan dan qamat yang dilakukan dua kali-dua kali, imam malik menjawab, “Tidak sampai kepadaku dalil tentang adzan dan qamat salat,aku hanya mendapatkannya dari amal manusia… qamat shalat dilakukan satu kali-satu kali. Itulah yang senantiasa dilakukan oleh ulama dinegeri kami. (Ijma’ Ulama Madinah)

3.      MADZHAB SYAFI’I
*      Biografi singkat Imam Syafi’i
            Nama lengkap Imam al-Syafi’i adalah Muhammad ibn Idris ibn al-Abbas ibn Utsman ibn Syafi’i ibn al-Sa’ib ibn ‘Ubaid ibn ‘Abd Yazid ibn Hasyim ibn ‘Abd al-Muthallib ibn Abdul Manaf. Ia dilahirkan di Gazza (suatu daerah dekat Palestina) pada tahun 150 H, kemudian dibawa oleh ibunya ke Mekkah. Ia meninggal di Mesir pada tahun 204 H.
            Beliau lahir pada zaman Dinasti Abbasiyah, tepatnya pada zaman kekuasaan Abu Ja’far al-Manshur (137-159 H/ 754-774M). Al-Syafi’i berusia 9 tahun ketika Abu Ja’far al-Manshur diganti oleh Muhammad al-Mahdi (159-169 H/ 775-785M)

*      Metode ijtihad Imam Syafi’i
Cara ijtihad Imam Syafi’i secara umum yaitu berdasarkan:
1)      Al-Qur’an dan al-Sunnah
2)      Ijma’terhadap sesuatu yang tidak terdapat dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Ijma’ lebih diutamakan atas khabar mufrad.
3)      Qaul sebagian sahabat tanapa ada yang menyalahinya.
4)      Pendapat sahabat nabi yang ikhtilaf.
5)      Qiyas terhadap al-Qur’an dan al-Sunnah.
6)      Apabila hadits telah muttashil dan sanadnya shahih, berarti ia termasuk berkualitas (muntaha).
7)      Makna dzahir hadits diutamakan. Ia menolak Hadits munqathi’, kecuali yang diriwayatkan oleh Ibn Musayyab.
8)      Pokok (al-Ashl) tidak boleh diqiyaskan kepada pokok. Bagi pokok, tidak perlu dipertanyakan mengapa dan bagaimana, keduanya itu yaitu mengapa dan bagaimana hanya boleh dipertanyakan kepada cabang (furu’).
9)      Qiyas dapat menjadi hujjah jika pengqiyasannya benar.

*      Kitab rujukan Madzhab Syafi’i
Kitab al-Umm, al-Risalah, Musnad Imam Syafi’i, al-Hujjah dan al-Mabsuth, kesemuanya merupakan karya al-Syafi’i.

*      Pendapat-Pendapat
1)      Tertib dalam wudhu Orang yang wudunya tidak tertib karena lupa adalah sah Orang yang wudunya tidak tertib meskipun karena lupa adalah tidak sah
2)      Menyentuh dubur tidak membatalkan wudhu
3)      Shalat isya lebih utama dilaksanakan dengan segera (ta’jil) Shalat isya lebih utama dilaksanakan dengan diakhirkan (ta’khir)
4)      Waktu pengeluaran zakat fitrah. Zakat fitrah wajib pada hari idul fitri setelah terbit fajar (waktu subuh tiba) Zakat fitrah wajib dikeluarkan pada malam hari idul fitri setelah matahari terbenam (waktu maghrib tiba)
5)      Meninggalkan bacaan Fatihah karena lupa Seseorang yang shalat dan tidak membaca surat al-Fatihah karena lupa, salatnya adalah sah Seseorang yang shalat dan tidak membaca surat al-Fatihah karena lupa shalatnya tidak sah, jika yang bersangkutan ingat atau sesudahnya sebelum berdiri yang kedua, ia kembali berdiri dan membaca al-Fatihah ketika berdiri tersebut apabila yang bersangkutan baru teringat pada rakaat kedua, maka rakaat tersebut dianggap sebagai rakaat pertama. Apabila yang bersangkutan baru teringat setelah salam, maka shalatnya wajib diulangi.
6)      Tayammum dengan pasir. Seseorang dibolehkan tayammum dengan pasir Seseorang tidak dibolehkan tayammum dengan pasir.

4.      MADZHAB HANBALI
*      Metode ijtihad Imam Ahmad bin Hanbal.
Ibnu Qayyim al-Jauziyah menjelaskan bahwa pendapat-pendapat Ahmad bin Hanbal di bangun atas lima dasar, yaitu sebagai berikut:
1)      Al-Nushush dari al-Qur’an dan al-Sunnah. Apabila telah ada ketentuan dari keduanya, ia berpendapat sesuai dengan makna tersurat (manthuq), sementara makna tersiratnya (mafhum) ia abaikan.
2)      Apabila tidak ditemukan dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, ia menukil fatwa sahabat dan memilih pendapat sahabat yang disepakati sahabat lainnya.
3)      Apabila fatwa sahabat berbeda-beda, ia memilih salah satu pendapat yang lebih dekat kepada al-Qur’an dan Sunnah.
4)      Menggunakan hadits mursal dan dha’if, apabila tidak ada atsar, qaul sahabat, atau ijma yang menyalahinya.
5)      Apabila hadits mursal dan dha’if sebagaimana disyaratkan di atas tidak didapatkan, ia menganalogikan (mengqiyaskan). Dalam pandangannya qiyas adalah dalil yang dipakai dalam keadaan terpaksa.
6)      Langkah terakhir adalah menggunakan Sadz al-dzara’i.[4]
J.      ITTIBA’
          Ittiba’ menurut bahasa berarti mengikuti. Adapun menurut pengertian syara ittiba’ yaitu: menerima atau mengikuti pendapat orang lain dengan mengetahui sumber ataupun alasan pendapat tersebut.
Ittiba’ dalam agama diperintahkan, sebagaimana Firman allah:
! (#þqè=t«ó¡sù Ÿ@÷dr& ̍ø.Ïe%!$# bÎ) óOçGYä. Ÿw tbqçHs>÷ès? ÇÍÌÈ  
Artinya :”Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui”(An Nahl: 43)
          Maksud ayat tersebut yakni, tanyakan kepada mereka dari ilmu mereka yang dari al-Quran dan hadits dan bukan dari pendapat mereka semata. Dzikr dalam ayat diatas maksudnya adalah al-Quran dan hadits. Dengan demikian yang dimaksud Ahli Dzikr dalam ayat diatas yaitu Ahli Quran dan Ahli Hadits. Apabila mereka ditanya tentang sesuatu masalah hukum, maka jawablah : Allah menetapkan begini, atau dalam hadits disebutklan begitu, dan sebaginya.

K.    TAKLID
          Yang dimaksud dengan taklid yaitu: mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui dalil atau alasannya. Kalau kita teliti dari kurang 90% umat Islam di Indonesia barangkali orang yang mengetahui isi Al-Quran dan Hadits tidak akan lebih dari 10 %. Sedangkan selebihnya yaitu kurang lebih 80% lagi adalah terdiri dari orang awam. Karena itu kita mesti berusaha bagaimana caranya agar jumlah mereka (orang awam) ini lama kelamaan menjadi berkurang karena mau tidak mau orang-orang awam ini hanya bertaklid saja dalam masalah-masalah agama, sedangkan bertaklid ini pada dasarnya dilarang kecuali dalam keadaan terpaksa.[5]
Firman Allah:
Ÿwur ß#ø)s? $tB }§øŠs9 y7s9 ¾ÏmÎ/ íOù=Ïæ 4 ¨bÎ) yìôJ¡¡9$# uŽ|Çt7ø9$#ur yŠ#xsàÿø9$#ur @ä. y7Í´¯»s9'ré& tb%x. çm÷Ytã Zwqä«ó¡tB ÇÌÏÈ  
Artinya : “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai ilmu (pengetahuan) tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya”(Al-Isra ayat 36)
          Kalau taklid terpaksa harus dilakukan, maka hendaknya diperhatikan syarat-syarat orang yang ditaklidi, indentitasnya, kualitas ilmunya serta kepatuhannya terhadap Al-Quran dan Sunnah Rasulullah saw. Haram hukumnya taklid kepada orang yang tidak memperdulikan Al-Quran dan As-Sunah, begitu pula taklid kepada orang yang tidak diketahui indentitas serta keahliannya dalam syariah Islam.

Syarat orang yang bertaklid:
          Yang dibolehkan bertaklid ialah orang awam (orang biasa) yang tidak mengerti cara-cara mencari hukum syari’ah ia boleh mengikuti pendapat orang pandai dan boleh mengamalkannya. Adapun orang yang pandai dan sanggup mencari sendiri hukum syari’ah. Maka ia harus berijtihad sendiri bila kesempatan dan waktunya masih cukup serta waktunya sudah sempit dan dikhawatirkan akan ketinggalan waktu untuk mengerjakan hal-hal lain (tentang ibadah), maka menurut sebagian ulama boleh ia mengikuti pendapat orang pandai lainnya.

Syarat syarat Masalah yang Ditaklidi
          Hukum terbagi kepada dua macam yaitu: Hukum akal dan Hukum Syara’. Dalam masalah hukum akal, tidak dibolekan taklid kepada orang lain, seperti mengetehui adanya zat yang menjadikan alam serta sifat-sifatnya. Hal ini karena jalan untuk menetapkan hukum-hukum tersebut adalah akal, sedang setiap orang memiliki akal. Karena itu tidak ada gunanya bertaklid kepada orang lain.
Allah mencela dengan keras taklid soal-soal tersebut dengan firman Nya:
#sŒÎ)ur Ÿ@ŠÏ% ãNßgs9 (#qãèÎ7®?$# !$tB tAtRr& ª!$# (#qä9$s% ö@t/ ßìÎ6®KtR !$tB $uZøxÿø9r& Ïmøn=tã !$tRuä!$t/#uä 3 öqs9urr& šc%x. öNèdät!$t/#uä Ÿw šcqè=É)÷ètƒ $\«øx© Ÿwur tbrßtGôgtƒ ÇÊÐÉÈ  
Artinya: “Apabila dikatakan kepada mereka : “ikutilah apa yang telah diturunkan Allah, mereka menjawab: “(tidak) tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapat dari (perbuatan) nenek moyang kami.” (apakah mereka akan mengikuti juga) walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk “. (Al-Baqoroh: 170)
          Taklid dalam masalah hukum syara’ dibedakan pada dua bagian, yaitu:
a.       Diketahui dengan pasti dari agama Islam, seperti wajibnya shalat lima waktu, puasa, zakat dan Haji. Juga tentang haramnya zina, minuman keras, dan lain-lain. Dalam hal diatas, tidak boleh taklid, karena semua orang dapat mengetahuinya.
b.      Yang diketahui dengan jalan penyelidikan dan mencari dalil seperti soal-soal ibadah tertentu, dalam soal semacam ini dibolehkan taklid.

Pendapat empat imam madzhab dan Ulama lainnya tentang taqlid:
·         Imam Abu Hanifah berkata: Jika perkataan saya menyalahi Kitab Allah dan Hadits Rasul, maka tinggalkanlah perkataan saya ini. Seseorang tidak boleh mengambil perkataan saya sebelum mengetahui dari mana saya berkata.
·         Imam Malik berkata: saya hanya manusia biasa yang kadang salah dan kadang benar, selidikilah dahulu pendapat saya kalau sesuai dengan Al-Quran dan Al-Hadits maka ambillah dan yang menyalahi hendaklah ditinggalkan.
·         Imam Syafi’i berkata: Perumpaman orang yang mencari ilmu tanpa hujjah (alasan) seperti orang yang mencari kayu di waktu malam. Ia membawa kayu-kayu sedang di dalamnya ada ular yang mematuk sedang dia tidak tahu.
·         Imam Ahmad bin Hanbal berkata: Jangan mengikuti (taklid) kepada saya atau Malik atau Tsauri atau Auza’i tetapi ambillah dari mana mereka mengambil.
·         Ibnu Ma’sud berkata: kamu jangan mentaklidi orang kalau dia Iman maka kamu beriman kalau ia kafir maka kamu kafir. Tidak ada tauladan dalam hal hal yang buruk.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
            Ayat-ayat al-Qur’an pada umumnya berbentuk ajaran-ajaran dasar tanpa penjelasan lebih Ianjut mengenai maksud, rincian, cara pelaksanaan dan sebagainya, untuk itu ayat- ayat tersebut perlu dijelaskan oleh orang-orang yang mengetahui al-Quran dan hadits, yaitu pada mulanya sahabat Nabi dan para Ulama. Penjelasan oleh para sahabat Nabi dan para Ulama itu diberikan melalui ijtihad.[6]
Ijtihad adalah segala upaya yang dilakukan oleh mujtahid dalam menetapkan suatu hal pada berbagai bidang ilmu, seperti fiqih, teologi, filsafat, tasawuf dan sebagainya yang dilandasi dengan dalil-dalil syar’i (Al-Quran dan As-Sunnah).
Ijtihad dapat dikatakan sebagai inti dinamika hukum Islam. Kegiatan ijtihad dapat dilakukan dengan bayani maupun ra’yi. Ijtihad bayani adalah penggalian hukum Islam dengan menganalisis lafadz-lafadz yang digunakan sebagai dalil, melalui pendekatan bahasa. Ijtihad al-Ra’yi dilakukan dengan menggunakan akal fikiran, baik dengan mengqiyaskan, istihsan, istishab, maslahah maupun yang lainnya.
Melakukan ijtihad bagi seorang mujtahid dapat mencapai hukum wajib ain, fardhu kifayah, dan sunnat. Adapun untuk menjadi mujtahid disyaratkan memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang Al-Quran dan As-Sunnah dari berbagai aspeknya, memahami masalah yang sudah disepakati ulama, memahami bahasa Arab, dan mengetahui ushul fiqh.
Mujtahid dibedakan pada mujtahid mutlaq dan mujtahid muntasib.
Pendekatan dalam ijtihad dilakukan dengan ijma, qiyas, maslahat, istihsan, istishab, syaru’ man qablana, dilalah iqtiran, sadudzarai’, madzhab sahabi, ‘urf, ta’adul dan tarjih.
Dalam realitasnya, tidak semua umat Islam memenuhi syarat untuk berijtihad, sebagiannya melakukan ittiba, bahkan tidak sedikit yang taqlid, meskipun secara qathi’, taqlid dalam masalah-masalah yang dapat diketahui dengan akal tidak dibenarkan, demikian pula taqlid dalam masalah-masalah ibadah khas.
Sebagai hasil ijtihad ada yang disebut ijma, qiyas, dan fatwa. Dikalangan ummat Islam ada yang beramal dengan talfiq, yakni mengambil yang ringan-ringan tentang hukum sesuatu dari berbagai madzhab. Jika hal itu dilakukan pada perbuatan yang dapat mengakibatkan batalnya amal, maka talfiq tidak dibenarkan.
Kaum Muslim menyadari bahwa al-Quran dan hadis tidak akan mampu memecahkan semua persoalan-persoalan kontroversial, khususnya persoalan hukum perundang-undangan dan peribadatan. Karena dengan pemerintahan Islam yang terus-menerus meluaskan wilayah, di mana masing-masing wilayah baru memiliki kebiasaan-kebiasaan dan tradisi-tradisi yang sangat berbeda dengan orang-orang Arab pedalaman dan orang-orang yang “menyaksikan pewahyuan”, maka konflik-konflik dengan mudah muncul antara perintah lama dan yang baru.[7]
Dari keterangan di atas dapat dipahami bahwa jika seseorang (muslim) mampu memahami Islam secara jelas, benar dan menyeluruh, maka Islam akan menjadi rahmat bagi seluruh umat manusia dan alam semesta, Islam menjadi jalan penyelamatan, pembebasan, perdamaian, ilmu dan kebahagiaan, baik di dunia maupun di akhirat kelak.








DAFTAR PUSTAKA

Iskandar, Usman. 1994. Istihsan dan Pembaharuan Hukum Islam.Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Syafi’i, Rahmat. 1999. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: CV. Pustaka Setia.
Hanafi. 1993. Ushul Fiqih. Jakarta: Widjaya.
Basyir, Ahmad Azhar, dkk. 1988. Ijtihad dalam Sorotan. Bandung: Mizan.
Saiban Kasuwi. 2005. Metode Ijtihad Ibnu Rusyd sebuah Solusi Pembentukan Hukum Fiqih Kontemporer. Malang: Kutub Minar.
Juhdi, Mashfuk. 1981. Ijtihad dan Problematikanya dalam Memasuki Abad XV Hijriyah. Surabaya: Bina Ilmu.
KHE. Abdurrahman. 1990. Menempatkan Hukum dalam Agama. Bandung: Sinar Baru.
-----------------------1990. Perbandingan Madzhab. Bandung: Sinar Baru.
Yahya, Mukhtar. 1996. Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqih Islami. Bandung: Al-Maarif.
Daudi, Ahmad. 1986. Kuliah Filsafat Islam. jakarta: Bulan Bintang.
Jahya, H.M. Zurkani. 1998. Teologi Al-Ghazali, Pendekatan Metodologi. Jakarta: CV. Rajawali.
Ma;arif, Ahmad Syafi’i. 1993. Peta Bumi Intelektual Islam Indonesia. Bandung: mizan.
Madjid, Nurcholish. 1984. Khazanah Intelektual Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Nasution, Harun. 1982.  Pembaruan dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
‘uways, Abd. Halim. 1998. Al-Fiqih al-islami bayn ath Tathwwur wa ats-Tsabit. Terjemahan A. Zarkasyy Chumaidy dengan judul “Fiqih Statis Dinamis”. Cet.1. bandung: Pustaka Hidayah.



 



[1] Lihat Hadis riwayat Abu Daud, Sunan Abu Daud, Juz III. Yaitu hadits tentang  diutusnya Muaz bin Jabal oleh Rasulullah Ke Yaman.
[2] Amin Muchtar. Metodologi Ijtihad Dalam Perspektif Imam Madzhab.
[3] Fathur Rahman al-Azis. 2011. Ijtihad madzhab hanafi.
[4]Iweng’s blog. 2009. Metode pengambilan hukum imam empat madzhab.  wordPress.com
[5] A Hanafi. 1993. Ushul fiqih (cet ke- 12). Jakarta: Widjaya.
[6] Harun Nasution.”ijtihad, sumber ketiga ajaran islam” dalam Ijtihad dalam Sorotan.Op. Cit. hal.108.
 [7] Annemarie Schimel, Introduction to Islam, diterjemahkan oleh M. Chafrul Annam dengan judul “Islam Interpretatif’, Cet. I ; (t.tp: Inisiasi Press, 2003), hal.  73.

2 komentar: