Selasa, 07 Februari 2012

FIQIH MUNAKAHAT (NAFKAH KISWAH DAN TEMPAT TINGGAL)

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Pernikahan, sebagaimana kesepakatan mayoritas (jumhur) ulama, adalah salah satu penyebab kewajiban pemberian nafkah. Para Imam mazhab juga sepakat atas wajibnya seseorang menafkahi orang- orang yang wajib dinafkahi, seperti istri, ayah, dan anak yang masih kecil. Kesepakatan ini berasal dari ketetapan teks (nash) dalam al-Qur’an:
n?tãur ÏŠqä9öqpRùQ$# ¼ã&s! £`ßgè%øÍ £`åkèEuqó¡Ï.ur Å$rã÷èpRùQ$$Î/ 4 Ÿw ß#¯=s3è? ë§øÿtR žwÎ) $ygyèóãr 4
            “Dan kewajiban ayah adalah memberi makanan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf”. (QS. Al- Baqarah: 233)
                        Pada makalah ini, kami akan membahas tentang dua macam prosedur          pemberian nafkah yang terdapat didalam administrasi pernikahan di Indonesia. Dua            macam prosedur pemberian nafkah itu:
·         Prosedur pemberian nafkah mut’ah
·         Prosedur pemberian nafkah madhiyah
Pembahasan mengenai nafkah madhiyah ini berkaitan dengan kewajiban suami sebagaimana tercantum dalam pasal 80 ayat 4 pada Kompilasi Hukum Islam Buku I:
Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung:
nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi istri.
biaya rumah tangga, biaya perawatan, dan biaya pengobatan bagi istri dan anak.
biaya pendidikan bagi anak.
Sedangkan mengenai nafkah mut’ah, hal ini berkaitan dengan kewajiban bekas suami bilamana perkawinan putus karena talaq, sesuai dengan pasal 149 ayat pertama pada Kompilasi Hukum Islam Buku I:
Bilamana perkawinan putus karena talaq, maka bekas suami wajib:
memberikan mut’ah yang layak kepada bekas istrinya...(dan seterusnya)

B.     Rumusan masalah
a.       Apa yang dimaksud dengan nafkah?
b.      Apa saja macam- macam nafkah?
c.       Apa yang menjadi sebab diwajibkannya nafkah?
d.      Apa dasar- dasar penetapan jumlah nafkah?
e.       Bagaimanakah nafkah bagi istri yang beriddah?

C.    Tujuan penulisan
Memgetahui dan memahami macam- macam nafkah dasar- dasarnya dan sebab diwajibkannya nafkah.


                       







BAB II
PEMBAHASAN
NAFKAH, KISWAH DAN TEMPAT TINGGAL
A.    Definisi nafkah
            Secara etimologi, nafkah berasal dari bahasa Arab yakni dari suku kata anfaqa- yunfiqu- infaqan (انفق- ينفق- انفاقا ).
            Dalam kamus Arab- Indonesia, secara etimologi kata nafkah diartikan dengan pembelanjaan. Dalam tata bahasa Indonesia kata nafkah secara resmi sudah dipakai dengan arti pengeluaran.
            Syamsuddin Muhammad ibn Muhammad al- Khatib al- Syarbaini membatasi pengertian nafkah dengan :
             “Sesuatu yang dikeluarkan dan tidak dipergunakan kecuali untuk sesuatu   yang baik”
            Secara terminologi, nafkah diartikan secara beragam oleh para ulama fiqh, misalnya Badruddin al- Aini mendefenisikan nafkah dengan :
             “Ibarat dari mengalirnya atas sesuatu dengan apa yang mengekalkannya”.
            Dalam kitab- kitab fiqh pembahasan nafkah selalu dikaitkan dengan pembahasan nikah, karena nafkah merupakan konsekuensi terjadinya suatu aqad antara seorang pria dengan seorang wanita. (tanggung jawab seorang suami dalam rumah tangga/keluarga), sebagaimana yang diungkapkan oleh al- Syarkawi :
            “Ukuran makanan tertentu yang diberikan (menjadi tanggungan) oleh suami terhadap isterinya, pembantunya, orang tua, anak budak dan binatang ternak sesuai dengan kebutuhannya”.
            Defenisi yang dikemukakan oleh al- Syarkawi di atas belum mencakup semua bentuk nafkah yang dijelaskan dalam ayat dan sunnah Rasul.
            Wahbah al- Zuhaili menjelaskan pengertian nafkah sebagai berikut :
            “Yaitu mencukupi kebutuhan orang yang menjadi tanggungannya berupa makanan, pakaian dan tempat tinggal”.
            Dari definisi- definisi diatas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan nafkah adalah semua kebutuhan dan keperluan yang berlaku menurut keadaaan dan tempat, seperti makanan, pakaian, rumah, dan sebagainya.
            Banyak nafkah yang diwajibkan adalah sekedar mencukupi keperluan dan kebutuhan serta mengingat keadaan dan kemampuan orang yang berkewajiban menurut kebiasaan masing- masing tempat. Keterangan atau alasannya adalah sebuah hadits, berkaitan dengan keadaan istri Abu Sufyan, yaitu:
            Firman Allah SWT:
÷,ÏÿYãÏ9 rèŒ 7pyèy `ÏiB ¾ÏmÏFyèy ( `tBur uÏè% Ïmøn=tã ¼çmè%øÍ ÷,ÏÿYãù=sù !$£JÏB çm9s?#uä ª!$# 4 Ÿw ß#Ïk=s3ムª!$# $²¡øÿtR žwÎ) !$tB $yg8s?#uä 4 ã@yèôfuŠy ª!$# y÷èt/ 9Žô£ãã #ZŽô£ç ÇÐÈ  
            “Hendaklah  orang  yang  mampu  memberi  nafkah  menurut  kemampuannya. Dan  orang  yang  disempitkan   rezkinya  hendaklah  memberi  nafkah  dari harta yang  diberikan  Allah  kepadanya. Allah tidak memikulkan  beban  kepada  seseorang  melainkan (sekedar  apa  yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan  kelapangan  sesudah kesempitan” (Q.S. Ath Thalaaq: 7).

B.     Macam- Macam Nafkah:
1.      Nafkah Madhiyah
Pada dasarnya nafkah materi (madhiyah) adalah sesuatu yang dikeluarkan suami dari hartanya untuk kepentingan istrinya berupa hal- hal yang bersifat lahiriah atau materi. Kewajiban ini berlaku dalam fiqih didasarkan kepada prinsip pemisahan harta antara suami dan istri. Prinsip ini mengikuti alur pikir bahwa suami itu adalah pencari rezeki; rezeki yang telah diperolehnya itu menjadi haknya secara penuh dan untuk selanjutnya suami berkedudukan sebagai pemberi nafkah. Sebaliknya, istri bukan pencari rezeki dan untuk memenuhi keperluannya ia berkedudukan sebagai penerima nafkah. Oleh karena itu, kewajiban ini tidak relevan dalam komunitas yang menganut prinsip penggabungan harta dalam rumah tangga.


2.      Nafkah mut’ah
Nafkah Mut’ah adalah pemberian suami kepada istri yang diceraikannya sebagai kompensasi. Hal ini sesuai dengan penjelasan yang terdapat di dalam Kompilasi Hukum Islam pada Buku I Bab I Pasal 1 ayat (j):
      J) Mut’ah adalah pemberian bekas suami kepada istri yang telah     dijatuhi talak berupa benda atau uang dan lainnya.
                        Walaupun demikian, yang perlu diperhatikan adalah pemberian ini terjadi   setelah dijatuhi talak, itupun ba’da dukhul. Hal ini dijelaskan pasal 149 ayat (a)     Kompilasi Hukum Islam Buku I:
      a) memberikan mut’ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa         uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut qobla dukhul.
            Mut’ah dalam KHI
                                    Sebagaimana diketahui bahwa mut’ah adalah pemberian bekas suami kepada          istrinya yang dijatuhi talaq berupa benda atau uang dan lainnya, maka mut’ah tersebut       dapat menjadi wajib dan dapat pula menjadi sunnat.
                                    Mut’ah wajib diberikan oleh bekas suami dengan syarat belum ditetapkannya mahar bagi istri ba’da al- dukhul dan perceraian yang terjadi atas kehendak suami.
                                    Adapun Mut’ah Sunnat diberikan oleh bekas suami tanpa syarat yang telah ditetapkan pada pasal 158. Artinya, Mut’ah Sunnat adalah pemberian bekas suami kepada istrinya tanpa syarat, dan merupakan pemberian semata.
                                    Besarnya mut’ah tersebut, baik yang wajib maupun yang sunnat disesuaikan dengan kepatutan dan kemampuan suami.
C.    Sebab- Sebab yang Mewajibkan Nafkah
1)      Sebab keturunan. Bapak atau Ibu, kalau bapak tidak ada, wajib memberi nafkah kepada anaknya, begitu juga kepada cucu, kalau dia tidak mempunyai  bapak.
Istri Abu Sufyan telah mengadukan masalahnya kepada Rasulullah Saw. Dia berkata: “Abu Sufyan seorang yang kikir, dia tidak memberi saya dan anak saya nafkah selain yang saya ambil dengan tidak di ketahuinya. Apakah yang demikian itu memadharatkan saya?” jawab beliau: “Ambilah olehmu dari hartanya dengan baik, sekedar untuk mencukupi keperluanmu dan anakmu”.
Syarat wajib nafkah atas kedua ibu bapak kepada anak ialah, apabila si anak masih kecil dan miskin, atau sudah besar tetapi tidak kuat berusaha dan miskin pula, begitu pula sebaliknya, anak wajib memberi nafkah kepada ibu bapaknya, apabila keduanya tidak kuat lagi berusaha dan tidak mempunyai harta.
Firman Allah SWT:
“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan denga aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di  dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Ku lah kembalimu, maka kuberitahukan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”.
Cara bergaul itu amat banyak, ringkasnya adalah menjaga agar keduanya jangan sampai sakit hati atau kesusahan, dan menolong keduanya dalam segala keperluannya.
2)      Sebab pernikahan. Suami diwajibkan memberi nafkah kepada istrinya yang taat. Baik makanan, pakaian, tempat tinggal, perkakas rumah tangga, dan lain-lain menurut keadaan di tempat masing- masing dan menurut kebutuhan suami.
Walaupun sebagian ulama mengatakan bahwa nafkah istri itu ditetapkan dengan kadar yang tertentu, tetapi yang mu’tamad tidak di tentukan, hanya sekedar cukup serta disesuaikan dengan keadaan suami. Keterangannya yaitu hadits dari Abu Sufyan yang telah disebutkan diatas tadi, dan firman Allah SWT:
£`çlm;ur ã@÷WÏB Ï%©!$# £`ÍköŽn=tã Å$rá÷èpRùQ$$Î/ 4... ÇËËÑÈ  
“Dan para wanita mempunyai hak (nafkah) yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf”. (QS Al-Baqarah: 228)
Dari ayat diatas jelaslah bahwa nikah seorang istri yang tidak taat (durhaka) kepada suaminya, tidak berhak mendapatkan segala nafkah.
Sebagaimana sabda Rasulullah Saw:
“Takutlah kepada Allah dalam urusan perempuan, karena sesungguhnya kamu mengambil mereka dengan kepercayaan Allah, dan halal bagimu mencampuri mereka dengan kalimat Allah, dan diwajibkan atas kamu (suami) memberi nafkah dan pakaian kepada mereka (istri- istri) dengan cara sebaik- baiknya (pantas)”. (H.R. Muslim)
Ayat dan hadits tersebut tidak memberikan ketentuan kadar nafkah itu, dengan kata- kata ma’ruf (pantas), berarti menurut keadaan suatu tempat dan disesuaikan dengan kemampuan suami serta kedudukannya dalam masyarakat.
3)      Sebab milik. Seseorang yang memiliki binatang wajib memberi makan binatang itu, dan dia wajib menjaganya. Jangan diberi beban lebih dari semestinya.
Sebagaimana sabda Rasulullah Saw:
“Sari Ibn Umar, bahwasanya Nabi Saw, telah bersabda,”seorang perempuan telah disiksa lantaran mengurung seekor kucing, tidak diberinya makan, dan tidak pula dinerinya minum, sehingga kucing itu mati”. (H.R. Bukhari dan Muslim)
Setelah dikemukakan diatas bahwa terselenggaranya akad nikah menimbulkan adanya hak dan kewajiban antar suami istri, diantara kewajiban suami terhadap istri yang paling pokok adalah kewajiban memberi nafkah, baik berupa makanan, pakaian, maupun tempat tingggal bersama.

D.    Syarat- Syarat Wajib Nafkah
            Para ulama sepakat bahwa setelah terjadinya akad nikah istri berhak mendapatkan nafkah. Hanya saja ulama berbeda pendapat ketika membahas apakah hak nafkah itu diperolah ketika terjadi akad atau setelah tamkin, atau ketika istri telah pindah ke tempat kediaman suami.
Syafi’iyah dalam qaul qadim dan Hanafiyah berpendapat bahwa hak nafkah isteri terjadi tatkala terlaksananya akad, demikian juga dengan Ibn Hazm dari golongan Zahiri. Ibn Hazm mengungkapkan bahwa adanya ikatan suami isteri sendirilah yang menjadi sebab diperolehnya hak nafkah. Dengan demikian selama ikatan pernikahan tidak putus maka hak nafkah bagi isteri tidak akan berakhir. Ibn Hazm menambahkan bahwa suami berkewajiban menafkahi isterinya sejak terjadinya akad nikah, baik suami mengajaknya hidup serumah atau tidak, bahkan berbuat nusyuz sekalipun. Mereka berargumentasi bahwa tidak satupun ayat yang menyatakan bahwa nusyuznya isteri menjadi sebab tidak diperolehnya hak nafkah.
Sedangkan Syafi’i dalam qaul jadid, Malikiyah dan Hambaliah mengungkapkan bahwa isteri belum mendapatkan hak nafkahnya melainkan setelah tamkin, seperti isteri telah menyerahkan diri kepada suaminya. Sementara itu sebagian ulama mutaakhirin menyatakan bahwa isteri baru berhak mendapatkan hak nafkah ketika istri telah pindah ke rumah suaminya.
Terjadinya perbedaan pendapat ulama dalam hal kapankah seorang isteri berhak atas nafkah dari suaminya dikarenakan ayat dan hadis tidak menjelaskan secara khusus syarat- syarat wajib nafkah isteri. Oleh karena itu tidak ada ketentuan secara khusus dari Nabi SAW mengenai hal tersebut sehingga di kalangan ulama terdapat perbedaan pendapat dalam menetapkan syarat- syarat wajibnya seseorang isteri mendapatkan nafkah.
Menurut jumhur ulama suami wajib memberikan nafkah isterinya apabila:
·         Isteri menyerahkan diri kepada suaminya sekalipun belum melakukan senggama.
·         Isteri tersebut orang yang telah dewasa dalam arti telah layak melakukan hubungan suami istri.
·         Perkawinan suami isteri itu telah memenuhi syarat dan rukun dalam perkawinan.
·         Tidak hilang hak suami untuk menahan isteri disebabkan kesibukan isteri yang dibolehkan agama.
            Maliki membedakan syarat wajib nafkah isteri setelah dan belum disenggamai. Syarat nafkah sebelum disenggamai adalah:
·         Mempunyai kemungkinan untuk disenggamai. Apabila suami mengajak istrinya melakukan hubungan suami istri namun isteri menolak, maka istri tidak layak untuk menerima nafkah.
·         Istri layak untuk disenggamai. Apabila istri belum layak disenggamai seperti masih kecil maka ia berhak menerima nafkah.
·         Suami adalah seorang laki- laki yang telah baligh. Jika suami belum baligh sehinggga belum mampu melakukan hubungan suami isteri secara sempurna maka ia tidak wajib membayar nafkah.
·         Salah seorang suami isteri tidak dalam keadaan sakratulmaut ketika diajak senggama.
Selanjutnya syarat wajib nafkah bagi isteri yang telah disenggamai adalah:
·         Suami itu mampu. Apabila suami tidak mampu, maka ia tidak wajib membayar nafkah isterinya.
·         Isteri tidak menghilangkan hak suami untuk menahan isteri dengan alasan kesibukan isteri yang dibolehkan agama.

E.     Gugurnya Hak Nafkah
            Konsekuensi akad perkawinan yang sah suami berkewajiban memberi nafkah kepada isterinya. Hak mendapatkan nafkah isteri hanya didapat apabila syarat-syarat untuk mendapatkan hak seperti diuraikan diatas telah terpenuhi, serta isteri terhindar dari hal- hal yang menyebabkan gugurnya hak nafkah tersebut.
            Berkaitan dengan gugurnya hak nafkah berikut ini akan dijelaskan beberapa hal yang menyebabkan gugurnya hak nafkah isteri. Adapun penyebab gugur hak nafkah tersebut adalah sebagai berikut:
a.       Nusyuz.
                        Nusyuz berarti wanita yang merasa lebih tinggi dari suaminya, sehingga tidak mau terikat dengan kewajiban patuh terhadap suami. Atau perbuatan tidak taat dan membangkang seorang isteri terhadap suaminya (tanpa alasan) yang dibenarkan hukum (Islam).
b.      Wafat salah seorang suami isteri.
Nafkah isteri gugur sejak terjadi kematian suami, kalau suami meninggal sebelum memberikan nafkah maka isteri tidak dapat mengambil nafkah dari harta suaminya. Dan jika isteri yang meninggal dunia terlebih dahulu, maka ahli warisnya tidak dapat mengambil nafkah dari harta suaminya.
c.       Murtad.
                        Apabila seorang isteri murtad maka gugur hak nafkahnya karena dengan keluarnya isteri dari Islam mengakibatkan terhalangnya suami melakukan senggama dengan isteri tersebut. Jika suami yang murtad, maka hak nafkah isteri tidak gugur karena halangan hukum untuk melakukan persenggamaan timbul dari pihak suami padahal kalau ia mau menghilangkan halangan hukum tersebut dengan masuk kembali ke dalam Islam, dia bisa melakukannya..
d.      Talak.
                        Para ahli fiqh sepakat bahwa perempuan yang ditalak raj’i masih berhak mendapat nafkah dan tempat tinggal, hanya saja mereka berbeda pendapat tentang nafkah perempuan yang ditalak tiga. Imam Malik, Syafi’i dan Ahmad, berpendapat bahwa perempuan yang ditalak tiga tidak mendapat nafkah, namun menurut Malik dan Syafi’i ia masih berhak mendapatkan tempat tinggal. Sedangkan menurut Abu Hanifah isteri yang ditalak tiga masih berhak mendapatkan nafkah dan tempat tinggal.
                        Berkaitan dengan talak, para ulama sepakat bahwa hak nafkah bagi isteri hanyalah selama isteri masih dalam masa iddah. Adapun setelah habis masa iddah tidak satu pun dalil yang mengungkapkan bahwa suami masih tetap berkewajiban memberi nafkah bekas isterinya. Hal ini menurut penulis bisa dipahami kenapa setelah habisnya masa iddah isteri tidak berhak lagi untuk menerima nafkah dari suami.
      Penulis berpandangan bahwa hal tersebut dikarenakan bahwa begitu terjadi perceraian dan habis masa iddah istri antara suami istri tidak terikat lagi oleh tali perkawinan, sehingga otomatis dengan lepasnya ikatan perkawinan dengan sendirinya terlepaslah kedua belah pihak dari keharusan untuk melakukan sesuatu yang merupakan hak atau kewajibannya.
Dari uraian serta penjelasan di atas dapat dipahami bahwa hak seorang isteri untuk mendapatkan nafkah dari suaminya menurut penulis erat sekali kaitannya dengan kewajiban yang harus dilakukan oleh seorang isteri. berkaitan dengan hak yang diterimanya. Artinya bahwa memang salah satu konsekuensi dari terjadinya akad perkawinan adalah lahirnya hak dan kewajiban antara suami- isteri. Akan tetapi tidak berarti bahwa isteri dengan sendirinya dan secara otomatis menerima hak atas nafkahnya, karena hal itu berkaitan dengan kewajiban yang telah dilakukannya, sehingga ada keseimbangan antara hak dan kewajiban.


F.     Dasar- Dasar Menetapkan Jumlah Nafkah
Jika istri hidup serumah dengan suami, maka suaminya wajib menanggung nafkahnya, mengurus segala kebutuhan, seperti makan, minum, pakaian, tempat tinggal dan sebagainnya. Dalam hal ini istri tidak berhak meminta nafkah dalam jumlah tertentu selama suami melaksanakan kewajibannya itu.
Istri boleh mengambil sebagian harta suaminya dengan cara yang baik sekalipun tanpa sepengetahuan suaminya untuk mencukupi kebutuhannya apabila suami melalaikan kewajibannya. Bagi orang yang memiliki hak, ia boleh mengambil haknya sendiri jika mampu melakukannya, dengan alasan sebuah yang diriwayatkan oleh Ahmad, Bukhari, dan Muslim, Abu Daud dan Anasai dari Aisyah yang telah dijelaskan di awal.

G.    Nafkah bagi Istri yang Beriddah
Perempuan dalam masa iddah raj’i atau hamil, ia berhak mendapatkan nafkah, Allah SWT berfirman:
£`èdqãZÅ3ór& ô`ÏB ß]øym OçGYs3y `ÏiB öNä.Ï÷`ãr Ÿwur £`èdr!$ŸÒè? (#qà)ÍhŠŸÒçGÏ9 £`ÍköŽn=tã 4 bÎ)ur £`ä. ÏM»s9'ré& 9@÷Hxq (#qà)ÏÿRr'sù £`ÍköŽn=tã 4Ó®Lym z`÷èŸÒtƒ £`ßgn=÷Hxq 4 ÷bÎ*sù z`÷è|Êör& ö/ä3s9 £`èdqè?$t«sù £`èduqã_é& ( (#rãÏJs?ù&ur /ä3uZ÷t/ 7$rã÷èoÿÏ3 ( bÎ)ur ÷Län÷Ž| $yès? ßìÅÊ÷ŽäI|¡sù ÿ¼ã&s! 3t÷zé& ÇÏÈ  
Tempatkanlah mereka (para istri) dimana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (istri- istri yang sudah di talaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika merekamenyusukan (anak- anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah diantara kamu (segala sesuatu) dengan baik, dan jika kamu menemui kesulitan, maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya”.(QS. At- Thalaq: 6)
Ayat ini menunjukan bahwa perempuan hamil berhak mendapatkan nafkah, baik dalam iddah talaq raj’i atau ba’in, atau dalam iddah kematian.
Adapun dalam talaq ba’in, para ahli fiqih berbeda pendapat tentang hak nafkahnya. Jika dalam keadaan hamil, maka ada 3 pendapat:
·         Dalam Q.S. At-Thalaq: 6 yang artinya: “tempatkanlah mereka (para istri) dimana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu..”
·         Dikemukakan oleh Umar bin Khatab, Umar bin Abdul Azis dan golongan Hanafi, mereka mengatakan bahwa “ia berhak mendapatkan nafkah dan rumah”.
·         Ahmad, Abu Daud, Abu Saur dan Ishaq mengatatakan bahwa ”tidak berhak nafkah dan tempat tinggal”.
Dalam kompilasi hukum islam juga disebutkan bahwa:
ü  Suami wajib menyediakan tempat tinggal bagi istri dan anak- anaknya atau mantan istri yang masih dalam iddah.
ü  Tempat kediaman  adalah tempat tinggal yang layak untuk istri selama dalam ikatan perkawinan atau dalam iddah talaq atau iddah wafat.











BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dalam administrasi pernikahan di Indonesia. Ada dua macam prosedur pemberian nafkah yaitu:
·         Prosedur pemberian nafkah mut’ah
·         Prosedur pemberian nafkah madhiyah
Pembahasan mengenai nafkah madhiyah ini berkaitan dengan kewajiban suami sebagaimana tercantum dalam pasal 80 ayat 4 pada Kompilasi Hukum Islam Buku I.
Sedangkan mengenai nafkah mut’ah, hal ini berkaitan dengan kewajiban bekas suami bilamana perkawinan putus karena talaq, sesuai dengan pasal 149 ayat pertama pada Kompilasi Hukum Islam Buku I.
Semoga penjelasan didalam makalah ini dapat menambah pengetahuan kita mengenai prosedur pemberian nafkah sebagaimana terdapat didalam KHI.















DAFTAR PUSTAKA
Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. 2006. Jakarta: Predana Media.
Undang-Undang Perkawinan di Indonesia, (tt) Arkola: Surabaya
Kompilasi Hukum Islam, (tt) Arkola Surabaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar