BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
belakang
Pernikahan,
sebagaimana kesepakatan mayoritas (jumhur) ulama, adalah salah satu
penyebab kewajiban pemberian nafkah. Para Imam mazhab juga sepakat atas
wajibnya seseorang menafkahi orang- orang yang wajib dinafkahi, seperti istri,
ayah, dan anak yang masih kecil. Kesepakatan ini berasal dari ketetapan teks (nash)
dalam al-Qur’an:
n?tãur Ïqä9öqpRùQ$# ¼ã&s! £`ßgè%øÍ £`åkèEuqó¡Ï.ur Å$rã÷èpRùQ$$Î/ 4 w ß#¯=s3è? ë§øÿtR wÎ) $ygyèóãr 4
“Dan
kewajiban ayah adalah memberi makanan dan pakaian kepada para ibu dengan cara
yang ma’ruf”. (QS. Al- Baqarah: 233)
Pada
makalah ini, kami akan membahas tentang dua macam prosedur pemberian nafkah yang terdapat didalam
administrasi pernikahan di Indonesia. Dua macam
prosedur pemberian nafkah itu:
·
Prosedur pemberian nafkah mut’ah
·
Prosedur pemberian nafkah madhiyah
Pembahasan mengenai nafkah madhiyah ini berkaitan dengan kewajiban
suami sebagaimana tercantum dalam pasal 80 ayat 4 pada Kompilasi Hukum Islam
Buku I:
Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung:
nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi istri.
biaya rumah
tangga, biaya perawatan, dan biaya pengobatan bagi istri dan anak.
biaya
pendidikan bagi anak.
Sedangkan mengenai nafkah mut’ah, hal ini berkaitan dengan kewajiban
bekas suami bilamana perkawinan putus karena talaq, sesuai dengan pasal 149
ayat pertama pada Kompilasi Hukum Islam Buku I:
Bilamana
perkawinan putus karena talaq, maka bekas suami wajib:
memberikan
mut’ah yang layak kepada bekas istrinya...(dan seterusnya)
B. Rumusan masalah
a.
Apa yang dimaksud dengan nafkah?
b.
Apa saja macam- macam nafkah?
c.
Apa yang menjadi sebab diwajibkannya
nafkah?
d.
Apa dasar- dasar penetapan jumlah
nafkah?
e.
Bagaimanakah nafkah bagi istri yang
beriddah?
C. Tujuan penulisan
Memgetahui dan memahami macam- macam nafkah dasar- dasarnya dan sebab
diwajibkannya nafkah.
BAB
II
PEMBAHASAN
NAFKAH,
KISWAH DAN TEMPAT TINGGAL
A.
Definisi
nafkah
Secara
etimologi, nafkah berasal dari bahasa Arab yakni dari suku kata anfaqa-
yunfiqu- infaqan (انفق- ينفق- انفاقا ).
Dalam
kamus Arab- Indonesia, secara etimologi kata nafkah diartikan dengan pembelanjaan.
Dalam tata bahasa Indonesia kata nafkah secara resmi sudah dipakai dengan arti
pengeluaran.
Syamsuddin
Muhammad ibn Muhammad al- Khatib al- Syarbaini membatasi pengertian nafkah
dengan :
“Sesuatu yang dikeluarkan dan tidak
dipergunakan kecuali untuk sesuatu yang
baik”
Secara
terminologi, nafkah diartikan secara beragam oleh para ulama fiqh, misalnya
Badruddin al- Aini mendefenisikan nafkah dengan :
“Ibarat dari mengalirnya atas sesuatu dengan
apa yang mengekalkannya”.
Dalam kitab- kitab fiqh pembahasan nafkah selalu dikaitkan dengan pembahasan nikah, karena nafkah merupakan konsekuensi terjadinya suatu aqad antara seorang pria dengan seorang wanita. (tanggung jawab seorang suami dalam rumah tangga/keluarga), sebagaimana yang diungkapkan oleh al- Syarkawi :
Dalam kitab- kitab fiqh pembahasan nafkah selalu dikaitkan dengan pembahasan nikah, karena nafkah merupakan konsekuensi terjadinya suatu aqad antara seorang pria dengan seorang wanita. (tanggung jawab seorang suami dalam rumah tangga/keluarga), sebagaimana yang diungkapkan oleh al- Syarkawi :
“Ukuran makanan tertentu yang
diberikan (menjadi tanggungan) oleh suami terhadap isterinya, pembantunya,
orang tua, anak budak dan binatang ternak sesuai dengan kebutuhannya”.
Defenisi yang dikemukakan oleh al- Syarkawi
di atas belum mencakup semua bentuk nafkah yang dijelaskan dalam ayat dan
sunnah Rasul.
Wahbah
al- Zuhaili menjelaskan pengertian nafkah sebagai berikut :
“Yaitu mencukupi kebutuhan orang
yang menjadi tanggungannya berupa makanan, pakaian dan tempat tinggal”.
Dari
definisi- definisi diatas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan nafkah
adalah semua kebutuhan dan keperluan yang berlaku menurut keadaaan dan tempat,
seperti makanan, pakaian, rumah, dan sebagainya.
Banyak
nafkah yang diwajibkan adalah sekedar mencukupi keperluan dan kebutuhan serta
mengingat keadaan dan kemampuan orang yang berkewajiban menurut kebiasaan
masing- masing tempat. Keterangan atau alasannya adalah sebuah hadits,
berkaitan dengan keadaan istri Abu Sufyan, yaitu:
Firman
Allah SWT:
÷,ÏÿYãÏ9 rè 7pyèy `ÏiB ¾ÏmÏFyèy ( `tBur uÏè% Ïmøn=tã ¼çmè%øÍ ÷,ÏÿYãù=sù !$£JÏB çm9s?#uä ª!$# 4 w ß#Ïk=s3ã ª!$# $²¡øÿtR wÎ) !$tB $yg8s?#uä 4 ã@yèôfuy ª!$# y÷èt/ 9ô£ãã #Zô£ç ÇÐÈ
“Hendaklah
orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya.
Dan orang yang disempitkan rezkinya
hendaklah memberi nafkah dari harta yang
diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban
kepada seseorang melainkan (sekedar apa yang Allah
berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah
kesempitan” (Q.S. Ath Thalaaq: 7).
B. Macam- Macam
Nafkah:
1.
Nafkah
Madhiyah
Pada dasarnya nafkah materi (madhiyah) adalah sesuatu yang
dikeluarkan suami dari hartanya untuk kepentingan istrinya berupa hal- hal yang
bersifat lahiriah atau materi. Kewajiban ini berlaku dalam fiqih didasarkan
kepada prinsip pemisahan harta antara suami dan istri. Prinsip ini mengikuti
alur pikir bahwa suami itu adalah pencari rezeki; rezeki yang telah
diperolehnya itu menjadi haknya secara penuh dan untuk selanjutnya suami
berkedudukan sebagai pemberi nafkah. Sebaliknya, istri bukan pencari rezeki dan
untuk memenuhi keperluannya ia berkedudukan sebagai penerima nafkah. Oleh
karena itu, kewajiban ini tidak relevan dalam komunitas yang menganut prinsip
penggabungan harta dalam rumah tangga.
2.
Nafkah mut’ah
Nafkah Mut’ah adalah pemberian suami kepada istri yang diceraikannya sebagai
kompensasi. Hal ini sesuai dengan penjelasan yang
terdapat di dalam Kompilasi Hukum Islam pada Buku I Bab I Pasal 1 ayat (j):
J)
Mut’ah adalah pemberian bekas suami kepada istri yang telah dijatuhi talak berupa benda atau uang dan
lainnya.
Walaupun
demikian, yang perlu diperhatikan adalah pemberian ini terjadi setelah dijatuhi talak, itupun ba’da dukhul.
Hal ini dijelaskan pasal 149 ayat (a) Kompilasi
Hukum Islam Buku I:
a)
memberikan mut’ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas istri
tersebut qobla dukhul.
Mut’ah
dalam KHI
Sebagaimana
diketahui bahwa mut’ah adalah pemberian bekas suami kepada istrinya yang dijatuhi talaq berupa
benda atau uang dan lainnya, maka mut’ah tersebut dapat menjadi wajib dan dapat pula menjadi sunnat.
Mut’ah wajib
diberikan oleh bekas suami dengan syarat belum ditetapkannya mahar bagi istri ba’da al- dukhul dan perceraian yang
terjadi atas kehendak suami.
Adapun
Mut’ah Sunnat diberikan oleh bekas suami tanpa syarat yang telah ditetapkan
pada pasal 158. Artinya, Mut’ah Sunnat adalah pemberian bekas suami kepada
istrinya tanpa syarat, dan merupakan pemberian semata.
Besarnya
mut’ah tersebut, baik yang wajib maupun yang sunnat disesuaikan dengan
kepatutan dan kemampuan suami.
C. Sebab- Sebab yang Mewajibkan Nafkah
1)
Sebab
keturunan. Bapak atau Ibu, kalau bapak tidak ada, wajib memberi nafkah kepada anaknya,
begitu juga kepada cucu, kalau dia tidak mempunyai bapak.
Istri Abu Sufyan telah mengadukan masalahnya kepada Rasulullah Saw. Dia
berkata: “Abu Sufyan seorang yang kikir,
dia tidak memberi saya dan anak saya nafkah selain yang saya ambil dengan tidak
di ketahuinya. Apakah yang demikian itu memadharatkan saya?” jawab beliau: “Ambilah olehmu dari hartanya dengan baik,
sekedar untuk mencukupi keperluanmu dan anakmu”.
Syarat wajib nafkah atas kedua ibu bapak kepada anak ialah, apabila si anak
masih kecil dan miskin, atau sudah besar tetapi tidak kuat berusaha dan miskin
pula, begitu pula sebaliknya, anak wajib memberi nafkah kepada ibu bapaknya,
apabila keduanya tidak kuat lagi berusaha dan tidak mempunyai harta.
Firman Allah SWT:
“Dan jika
keduanya memaksamu untuk mempersekutukan denga aku sesuatu yang tidak ada
pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan
pergaulilah keduanya di dunia dengan
baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Ku
lah kembalimu, maka kuberitahukan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”.
Cara bergaul itu amat banyak, ringkasnya adalah menjaga agar keduanya
jangan sampai sakit hati atau kesusahan, dan menolong keduanya dalam segala
keperluannya.
2)
Sebab
pernikahan. Suami diwajibkan memberi nafkah kepada istrinya yang
taat. Baik makanan, pakaian, tempat tinggal, perkakas rumah tangga, dan
lain-lain menurut keadaan di tempat masing- masing dan menurut kebutuhan suami.
Walaupun sebagian ulama mengatakan bahwa nafkah istri itu ditetapkan dengan
kadar yang tertentu, tetapi yang mu’tamad
tidak di tentukan, hanya sekedar cukup serta disesuaikan dengan keadaan
suami. Keterangannya yaitu hadits dari Abu Sufyan yang telah disebutkan diatas
tadi, dan firman Allah SWT:
£`çlm;ur ã@÷WÏB Ï%©!$# £`Íkön=tã Å$rá÷èpRùQ$$Î/ 4... ÇËËÑÈ
“Dan para wanita mempunyai hak (nafkah) yang seimbang dengan
kewajibannya menurut cara yang ma’ruf”. (QS Al-Baqarah: 228)
Dari ayat diatas jelaslah bahwa nikah seorang istri yang tidak taat
(durhaka) kepada suaminya, tidak berhak mendapatkan segala nafkah.
Sebagaimana sabda Rasulullah Saw:
“Takutlah
kepada Allah dalam urusan perempuan, karena sesungguhnya kamu mengambil mereka
dengan kepercayaan Allah, dan halal bagimu mencampuri mereka dengan kalimat
Allah, dan diwajibkan atas kamu (suami) memberi nafkah dan pakaian kepada
mereka (istri- istri) dengan cara sebaik- baiknya (pantas)”. (H.R.
Muslim)
Ayat dan hadits tersebut tidak memberikan ketentuan kadar nafkah itu, dengan
kata- kata ma’ruf (pantas), berarti
menurut keadaan suatu tempat dan disesuaikan dengan kemampuan suami serta
kedudukannya dalam masyarakat.
3)
Sebab milik. Seseorang
yang memiliki binatang wajib memberi makan binatang itu, dan dia wajib
menjaganya. Jangan diberi beban lebih dari semestinya.
Sebagaimana sabda Rasulullah Saw:
“Sari Ibn
Umar, bahwasanya Nabi Saw, telah bersabda,”seorang perempuan telah disiksa
lantaran mengurung seekor kucing, tidak diberinya makan, dan tidak pula
dinerinya minum, sehingga kucing itu mati”. (H.R. Bukhari dan Muslim)
Setelah dikemukakan diatas bahwa terselenggaranya akad nikah menimbulkan
adanya hak dan kewajiban antar suami istri, diantara kewajiban suami terhadap
istri yang paling pokok adalah kewajiban memberi nafkah, baik berupa makanan,
pakaian, maupun tempat tingggal bersama.
D.
Syarat-
Syarat Wajib Nafkah
Para ulama sepakat bahwa setelah
terjadinya akad nikah istri berhak mendapatkan nafkah. Hanya saja ulama berbeda
pendapat ketika membahas apakah hak nafkah itu diperolah ketika terjadi akad
atau setelah tamkin, atau ketika istri telah pindah ke tempat kediaman suami.
Syafi’iyah dalam qaul qadim dan Hanafiyah berpendapat bahwa hak nafkah
isteri terjadi tatkala terlaksananya akad, demikian juga dengan Ibn Hazm dari
golongan Zahiri. Ibn Hazm mengungkapkan bahwa adanya ikatan suami isteri
sendirilah yang menjadi sebab diperolehnya hak nafkah. Dengan demikian selama
ikatan pernikahan tidak putus maka hak nafkah bagi isteri tidak akan berakhir.
Ibn Hazm menambahkan bahwa suami berkewajiban menafkahi isterinya sejak
terjadinya akad nikah, baik suami mengajaknya hidup serumah atau tidak, bahkan
berbuat nusyuz sekalipun. Mereka berargumentasi bahwa tidak satupun ayat yang
menyatakan bahwa nusyuznya isteri menjadi sebab tidak diperolehnya hak nafkah.
Sedangkan Syafi’i dalam qaul jadid, Malikiyah dan Hambaliah mengungkapkan bahwa isteri belum mendapatkan hak nafkahnya melainkan setelah tamkin, seperti isteri telah menyerahkan diri kepada suaminya. Sementara itu sebagian ulama mutaakhirin menyatakan bahwa isteri baru berhak mendapatkan hak nafkah ketika istri telah pindah ke rumah suaminya.
Sedangkan Syafi’i dalam qaul jadid, Malikiyah dan Hambaliah mengungkapkan bahwa isteri belum mendapatkan hak nafkahnya melainkan setelah tamkin, seperti isteri telah menyerahkan diri kepada suaminya. Sementara itu sebagian ulama mutaakhirin menyatakan bahwa isteri baru berhak mendapatkan hak nafkah ketika istri telah pindah ke rumah suaminya.
Terjadinya perbedaan pendapat ulama dalam hal kapankah seorang isteri
berhak atas nafkah dari suaminya dikarenakan ayat dan hadis tidak menjelaskan
secara khusus syarat- syarat wajib nafkah isteri. Oleh karena itu tidak ada
ketentuan secara khusus dari Nabi SAW mengenai hal tersebut sehingga di
kalangan ulama terdapat perbedaan pendapat dalam menetapkan syarat- syarat
wajibnya seseorang isteri mendapatkan nafkah.
Menurut jumhur ulama suami wajib memberikan nafkah isterinya apabila:
·
Isteri menyerahkan diri kepada
suaminya sekalipun belum melakukan senggama.
·
Isteri tersebut orang yang telah
dewasa dalam arti telah layak melakukan hubungan suami istri.
·
Perkawinan suami isteri itu telah
memenuhi syarat dan rukun dalam perkawinan.
·
Tidak hilang hak suami untuk menahan
isteri disebabkan kesibukan isteri yang dibolehkan agama.
Maliki membedakan syarat
wajib nafkah isteri setelah dan belum disenggamai. Syarat nafkah sebelum
disenggamai adalah:
·
Mempunyai kemungkinan untuk disenggamai.
Apabila suami mengajak istrinya melakukan hubungan suami istri namun isteri
menolak, maka istri tidak layak untuk menerima nafkah.
·
Istri layak untuk disenggamai.
Apabila istri belum layak disenggamai seperti masih kecil maka ia berhak
menerima nafkah.
·
Suami adalah seorang laki- laki yang
telah baligh. Jika suami belum baligh sehinggga belum mampu melakukan hubungan
suami isteri secara sempurna maka ia tidak wajib membayar nafkah.
·
Salah seorang suami isteri tidak
dalam keadaan sakratulmaut ketika diajak senggama.
Selanjutnya syarat wajib nafkah bagi isteri yang telah disenggamai adalah:
·
Suami itu mampu. Apabila suami tidak
mampu, maka ia tidak wajib membayar nafkah isterinya.
·
Isteri tidak menghilangkan hak suami
untuk menahan isteri dengan alasan kesibukan isteri yang dibolehkan agama.
E. Gugurnya Hak Nafkah
Konsekuensi
akad perkawinan yang sah suami berkewajiban memberi nafkah kepada isterinya.
Hak mendapatkan nafkah isteri hanya didapat apabila syarat-syarat untuk
mendapatkan hak seperti diuraikan diatas telah terpenuhi, serta isteri
terhindar dari hal- hal yang menyebabkan gugurnya hak nafkah tersebut.
Berkaitan dengan gugurnya hak nafkah berikut ini akan dijelaskan beberapa hal yang menyebabkan gugurnya hak nafkah isteri. Adapun penyebab gugur hak nafkah tersebut adalah sebagai berikut:
Berkaitan dengan gugurnya hak nafkah berikut ini akan dijelaskan beberapa hal yang menyebabkan gugurnya hak nafkah isteri. Adapun penyebab gugur hak nafkah tersebut adalah sebagai berikut:
a.
Nusyuz.
Nusyuz berarti wanita yang merasa lebih tinggi dari suaminya, sehingga tidak mau terikat dengan kewajiban patuh terhadap suami. Atau perbuatan tidak taat dan membangkang seorang isteri terhadap suaminya (tanpa alasan) yang dibenarkan hukum (Islam).
Nusyuz berarti wanita yang merasa lebih tinggi dari suaminya, sehingga tidak mau terikat dengan kewajiban patuh terhadap suami. Atau perbuatan tidak taat dan membangkang seorang isteri terhadap suaminya (tanpa alasan) yang dibenarkan hukum (Islam).
b.
Wafat salah seorang suami isteri.
Nafkah isteri gugur sejak terjadi kematian suami, kalau suami meninggal
sebelum memberikan nafkah maka isteri tidak dapat mengambil nafkah dari harta
suaminya. Dan jika isteri yang meninggal dunia terlebih dahulu, maka ahli
warisnya tidak dapat mengambil nafkah dari harta suaminya.
c.
Murtad.
Apabila seorang isteri murtad maka gugur hak nafkahnya karena dengan keluarnya isteri dari Islam mengakibatkan terhalangnya suami melakukan senggama dengan isteri tersebut. Jika suami yang murtad, maka hak nafkah isteri tidak gugur karena halangan hukum untuk melakukan persenggamaan timbul dari pihak suami padahal kalau ia mau menghilangkan halangan hukum tersebut dengan masuk kembali ke dalam Islam, dia bisa melakukannya..
Apabila seorang isteri murtad maka gugur hak nafkahnya karena dengan keluarnya isteri dari Islam mengakibatkan terhalangnya suami melakukan senggama dengan isteri tersebut. Jika suami yang murtad, maka hak nafkah isteri tidak gugur karena halangan hukum untuk melakukan persenggamaan timbul dari pihak suami padahal kalau ia mau menghilangkan halangan hukum tersebut dengan masuk kembali ke dalam Islam, dia bisa melakukannya..
d.
Talak.
Para ahli fiqh sepakat bahwa perempuan yang ditalak raj’i masih berhak mendapat nafkah dan tempat tinggal, hanya saja mereka berbeda pendapat tentang nafkah perempuan yang ditalak tiga. Imam Malik, Syafi’i dan Ahmad, berpendapat bahwa perempuan yang ditalak tiga tidak mendapat nafkah, namun menurut Malik dan Syafi’i ia masih berhak mendapatkan tempat tinggal. Sedangkan menurut Abu Hanifah isteri yang ditalak tiga masih berhak mendapatkan nafkah dan tempat tinggal.
Berkaitan dengan talak, para ulama sepakat bahwa hak nafkah bagi isteri hanyalah selama isteri masih dalam masa iddah. Adapun setelah habis masa iddah tidak satu pun dalil yang mengungkapkan bahwa suami masih tetap berkewajiban memberi nafkah bekas isterinya. Hal ini menurut penulis bisa dipahami kenapa setelah habisnya masa iddah isteri tidak berhak lagi untuk menerima nafkah dari suami.
Para ahli fiqh sepakat bahwa perempuan yang ditalak raj’i masih berhak mendapat nafkah dan tempat tinggal, hanya saja mereka berbeda pendapat tentang nafkah perempuan yang ditalak tiga. Imam Malik, Syafi’i dan Ahmad, berpendapat bahwa perempuan yang ditalak tiga tidak mendapat nafkah, namun menurut Malik dan Syafi’i ia masih berhak mendapatkan tempat tinggal. Sedangkan menurut Abu Hanifah isteri yang ditalak tiga masih berhak mendapatkan nafkah dan tempat tinggal.
Berkaitan dengan talak, para ulama sepakat bahwa hak nafkah bagi isteri hanyalah selama isteri masih dalam masa iddah. Adapun setelah habis masa iddah tidak satu pun dalil yang mengungkapkan bahwa suami masih tetap berkewajiban memberi nafkah bekas isterinya. Hal ini menurut penulis bisa dipahami kenapa setelah habisnya masa iddah isteri tidak berhak lagi untuk menerima nafkah dari suami.
Penulis berpandangan bahwa hal
tersebut dikarenakan bahwa begitu terjadi perceraian dan habis masa iddah istri
antara suami istri tidak terikat lagi oleh tali perkawinan, sehingga otomatis
dengan lepasnya ikatan perkawinan dengan sendirinya terlepaslah kedua belah
pihak dari keharusan untuk melakukan sesuatu yang merupakan hak atau
kewajibannya.
Dari uraian serta penjelasan di atas dapat dipahami bahwa hak seorang
isteri untuk mendapatkan nafkah dari suaminya menurut penulis erat sekali
kaitannya dengan kewajiban yang harus dilakukan oleh seorang isteri. berkaitan
dengan hak yang diterimanya. Artinya bahwa memang salah satu konsekuensi dari
terjadinya akad perkawinan adalah lahirnya hak dan kewajiban antara suami- isteri.
Akan tetapi tidak berarti bahwa isteri dengan sendirinya dan secara otomatis
menerima hak atas nafkahnya, karena hal itu berkaitan dengan kewajiban yang
telah dilakukannya, sehingga ada keseimbangan antara hak dan kewajiban.
F. Dasar- Dasar Menetapkan Jumlah Nafkah
Jika istri hidup serumah dengan suami, maka suaminya wajib menanggung
nafkahnya, mengurus segala kebutuhan, seperti makan, minum, pakaian, tempat
tinggal dan sebagainnya. Dalam hal ini istri tidak berhak meminta nafkah dalam
jumlah tertentu selama suami melaksanakan kewajibannya itu.
Istri boleh mengambil sebagian harta suaminya dengan cara yang baik
sekalipun tanpa sepengetahuan suaminya untuk mencukupi kebutuhannya apabila
suami melalaikan kewajibannya. Bagi orang yang memiliki hak, ia boleh mengambil
haknya sendiri jika mampu melakukannya, dengan alasan sebuah yang diriwayatkan
oleh Ahmad, Bukhari, dan Muslim, Abu Daud dan Anasai dari Aisyah yang telah
dijelaskan di awal.
G. Nafkah bagi Istri yang Beriddah
Perempuan dalam masa iddah raj’i atau hamil, ia berhak mendapatkan nafkah,
Allah SWT berfirman:
£`èdqãZÅ3ór& ô`ÏB ß]øym OçGYs3y `ÏiB öNä.Ï÷`ãr wur £`èdr!$Òè? (#qà)ÍhÒçGÏ9 £`Íkön=tã 4 bÎ)ur £`ä. ÏM»s9'ré& 9@÷Hxq (#qà)ÏÿRr'sù £`Íkön=tã 4Ó®Lym z`÷èÒt £`ßgn=÷Hxq 4 ÷bÎ*sù z`÷è|Êör& ö/ä3s9 £`èdqè?$t«sù £`èduqã_é& ( (#rãÏJs?ù&ur /ä3uZ÷t/ 7$rã÷èoÿÏ3 ( bÎ)ur ÷Län÷| $yès? ßìÅÊ÷äI|¡sù ÿ¼ã&s! 3t÷zé& ÇÏÈ
“Tempatkanlah
mereka (para istri) dimana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan
janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika
mereka (istri- istri yang sudah di talaq) itu sedang hamil, maka berikanlah
kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika merekamenyusukan
(anak- anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan
musyawarahkanlah diantara kamu (segala sesuatu) dengan baik, dan jika kamu
menemui kesulitan, maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya”.(QS. At-
Thalaq: 6)
Ayat ini menunjukan bahwa perempuan hamil berhak mendapatkan nafkah, baik
dalam iddah talaq raj’i atau ba’in, atau dalam iddah kematian.
Adapun dalam talaq ba’in, para ahli fiqih berbeda pendapat tentang hak
nafkahnya. Jika dalam keadaan hamil, maka ada 3 pendapat:
·
Dalam Q.S. At-Thalaq: 6 yang
artinya: “tempatkanlah mereka (para
istri) dimana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu..”
·
Dikemukakan oleh Umar bin Khatab,
Umar bin Abdul Azis dan golongan Hanafi, mereka mengatakan bahwa “ia berhak mendapatkan nafkah dan rumah”.
·
Ahmad, Abu Daud, Abu Saur dan Ishaq
mengatatakan bahwa ”tidak berhak nafkah
dan tempat tinggal”.
Dalam kompilasi hukum islam juga disebutkan bahwa:
ü Suami wajib
menyediakan tempat tinggal bagi istri dan anak- anaknya atau mantan istri yang
masih dalam iddah.
ü Tempat
kediaman adalah tempat tinggal yang
layak untuk istri selama dalam ikatan perkawinan atau dalam iddah talaq atau
iddah wafat.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dalam
administrasi pernikahan di Indonesia. Ada dua macam prosedur pemberian nafkah yaitu:
·
Prosedur pemberian nafkah mut’ah
·
Prosedur pemberian nafkah madhiyah
Pembahasan mengenai nafkah madhiyah ini berkaitan dengan kewajiban
suami sebagaimana tercantum dalam pasal 80 ayat 4 pada Kompilasi Hukum Islam
Buku I.
Sedangkan mengenai nafkah mut’ah, hal ini berkaitan dengan kewajiban
bekas suami bilamana perkawinan putus karena talaq, sesuai dengan pasal 149
ayat pertama pada Kompilasi Hukum Islam Buku I.
Semoga penjelasan didalam makalah ini dapat menambah pengetahuan kita
mengenai prosedur pemberian nafkah sebagaimana terdapat didalam KHI.
DAFTAR
PUSTAKA
Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan
Islam di Indonesia. 2006. Jakarta: Predana Media.
Undang-Undang Perkawinan di
Indonesia, (tt) Arkola: Surabaya
Kompilasi Hukum Islam, (tt) Arkola
Surabaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar