Kamis, 23 Mei 2013

gabungan hukuman (JINAYAH)


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
            Hukum pidana atau fiqih jinayah merupakan bagian dari syari’at islam yang berlaku semenjak diutusnya Rosulullah, yang berdasarkan al-qur`an dan hadist atau lembaga yang mempunyai wewenang untuk menetakan hukuman. Oleh karenanya pada zaman Rosululah dan Khulafaur Rasyidin, hukum pidana islam berlaku sebagai hukum publik. Yaitu hukum yang diatur dan diterapkan oleh pemerintah selaku penguasa yang sah atau ulil amri.
Hukum pidana menurut syari’at islam merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan setiap muslim dimanapun ia berada. Syari’at islam merupakan hukum yang harus dilaksanakan oleh setiap muslim, karena syari’at islam merupakan bagian ibadah kepada Allah SWT.
Pada dasarnya dalam hukum Islam dikenal bahwa setiap kejahatan atau jarimah telah mempunyai ketetapan hukumnya masing-masing. Keberagaman jenis hukuman yang terdapat dalam hukum Islam seringkali menjadikan permasalahan tatkala terdapat seseorang yang melakukan beberapa jarimah atau jarimah ganda. Hukuman manakah yang akan dijatuhkan? Apakah satu jenis hukuman ataukah seluruh hukuman?
Gabungan melakukan tindak pidana dalam hukum Islam sebenarnya tidak terdapat istilah khusus. Namun dalam pengertian ini terdapat dua hal yang perlu diperhatikan yaitu tentang pengertian delik gabungan dan tentang rentetan pelanggaran yang mana keduanya bagaikan dua sisi mata uang, artinya adanya delik gabungan dikarenakan adanya rentetan pelanggaran.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan gabungan hukuman?
2.      Seperti apa Sistem Pemidanaan di Indonesia?
3.      Apa Dasar Hukum Gabungan ?
4.      Apa saja yang termasuk pada Macam-macam Gabungan Hukuman?
5.      Bagaimana perbedaan teori gabungan hukuman antara hukum pidana, hukum pidana Indonesia, dan hukum pidana Islam?

C.    Tujuan Penulisan
1.      Mengetahui yang dimaksud dengan gabungan hukuman
2.      Mengetahui Sistem Pemidanaan di Indonesia
3.      Mengetahui Dasar Hukum Gabungan
4.      Mengetahui yang termasuk pada Macam-macam Gabungan Hukuman
5.      Mengetahui perbedaan teori gabungan hukuman antara hukum pidana, hukum pidana Indonesia, dan hukum pidana Islam

























BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Gabungan Hukuman
            Samenloop dapat diterjemahkan gabungan atau perbarengan yang dalam bahasa Belanda juga disebut samenloop van strafbaar feit atau concursus. Dalam makalah ini akan digunakan istilah “gabungan”. Hukuman dalam bahasa Arab disebut Iqab atau `uqubah merupakan bentuk balasan bagi seseorang yang atas perbuatannya melanggar ketentuan syara` yang ditetapkan Allah dan Rasul-NYA untuk kemaslahatan manusia. Menurut kamus bahasa indonesia karangan S. Wojo Wasito Hukuman berarti, siksaan atau pembalasan kejahatan.
 Sedangka Abdul Qadir Audah memberi definisi hukuman sebagai berikut:
العقوبة هي الجزاء المقر رالمصلحة الجماعة على عصيان امر الشارع
Artinya :
“Hukuman adalah pembalasan atau pelanggaran perintah syara` yang ditetapkan untuk kemaslahatan masyarakat”.
Tujuan hukuman ialah menciptakan ketentraman individu dan masyarakat serta mencegah perbuatan yang menimbulkan kerugian. Dalam Islam mempunyai dua aspek; perventif (pencegahan) dan represif (pendidikan). Kedua aspek tersebut akan menghasilkan kemaslahatan, yaitu terbentuknya moral yang dilandasi Agama.
Pada dasarnya dalam hukum Islam dikenal bahwa setiap kejahatan atau jarimah telah mempunyai ketetapan hukumnya masing-masing. Keberagaman jenis hukuman yang terdapat dalam hukum Islam seringkali menjadikan permasalahan tatkala terdapat seseorang yang melakukan beberapa jarimah atau jarimah ganda.
Gabungan melakukan tindak pidana dalam hukum Islam sebenarnya tidak terdapat istilah khusus. Namun dalam pengertian ini terdapat dua hal yang perlu diperhatikan yaitu tentang pengertian delik gabungan dan tentang rentetan pelanggaran yang mana keduanya bagaikan dua sisi mata uang, artinya adanya delik gabungan dikarenakan adanya rentetan pelanggaran.
Gabungan hukuman dapat terjadi manakala terdapat gabungan jarimah. Gabungan terjadi apabila seseorang melakukan beberapa macam jarimah, dimana pada masing-masing jarimah tersebut belum mendapat keputusan terakhir. Gabungan jarimah adakalanya terjadi dalam lahir saja, dan adakalanya benar-benar nyata. Gabungan dalam lahir terdapat apabila pelaku melakukan suatu jarimah yang dapat terkena oleh bermacam-macam ketentuan.
 Contohnya, seperti seseorang melakukan penganiayaan terhadap seorang petugas yang melaksanakan tugasnya. Dalam kasus ini pelaku bisa dituntut karena penganiayaan dan melawan petugas. Gabungan jarimah nyata adalah apabila terjadi beberapa macam perbuatan jarimah dari pelaku, sehingga masing-masing jarimah bisa di anggap sebagai jarimah yang berdiri sendiri.
 Contohnya seperti tukang pencak yang dengan kakinya melukai seseorang, dan dengan tangannya menikam orang lain sampai mati. Dalam kasus ini pelaku bisa dituntut karena melakukan penganiayaan dan pembunuhan. Dari penjelasan tersebut terlihat jelas perbedaan antara gabungan dengan pengulangan, sebagaimana telah di uraikan di atas. Letak perbedaan antara keduanya adalah dalam hal apakah pelaku dalam jarimah pertama atau sebelumnya sudah dihukum (mendapat keputusan terakhir) atau belum. Kalau belum, itu termasuk gabungan dan kalau sudah, itu termasuk pengulangan. Seharusnya pelaku pada gabungan jarimah tidak dijatuhi hukuman atas semua jarimah yang dilakukannya, meskipun gabungan jarimah tersebut menunjukkan jiwa kejahatannya. Hal ini karena ketika ia mengulangi suatu perbuatan jarimah, ia belum mendapat hukuman dan pengajaran dari jarimah sebelumnya. Berbeda dengan pengulang kejahatan yang telah mendapat hukuman, dan dengan hukuman itu dimaksudkan agar ia tidak mengulangi perbuatannya.
Jadi gabungan hukuman adalah serangkaian saksi yang diterapakan kepada seorang apabila ia telah nyata melakukan jarimah (pidana) secara berulang-ulang dan antara perbuatan jarimah yang satu dengan yang lainnya belum mendapatkan putusan terakhir.
Dengan demikian maka syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk dapat menyatakan adanya gabungan adalah: Ada dua/ lebih tindak pidana dilakukan;
§  Bahwa dua/ lebih tindak pidana tersebut dilakukan oleh satu orang (atau dua orang dalam hal penyertaan);
§  Bahwa dua/ lebih tindak pidana tersebut belum ada yang diadili; dan
§  Bahwa dua/ lebih tindak pidana tersebut akan diadili sekaligus.

B.     Sistem Pemidanaan
            Pada dasarnya teori gabungan tindak pidana dimaksudkan untuk menentukan pidana apa dan berapa ancaman maksimum pidana yang dapat dijatuhkan terhadap seseorang yang telah melakukan lebih dari satu tindak pidana[1].
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengenal 4 (empat) sistem atau stelsel pemidanaan, yaitu:
1.      Sistem Absorpsi
Apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan yang merupakan beberapa delik yang masing-masing diancam dengan pidana yang berbeda, maka menurut sistem ini hanya dijatuhkan satu pidana saja, yaitu pidana yang terberat walaupun orang tersebut melakukan beberapa delik.
2.      Sistem Kumulasi
Apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan yang merupakan beberapa delik yang diancam dengan pidana sendiri-sendiri, maka menurut sistem ini tiap-tiap pidana yang diancamkan terhadap delik-delik yang dilakukan oleh orang itu semuanya dijatuhkan.
3.      Sistem Absorpsi Diperberat
Apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan yang merupakan beberapa jenis delik yang masing-masing diancam dengan pidana sendiri-sendiri, menurut stelsel ini pada hakikatnya hanya dapat dijatuhkan 1 (satu) pidana saja yakni yang terberat, akan tetapi dalam hal ini diperberat dengan menambah 1/3 (sepertiga).
4.      Sistem Kumulasi Terbatas
Apabila seeorang melakukan beberapa jenis perbuatan yang menimbulkan beberapa jenis delik yang masing-masing diancam dengan pidana sendiri-sendiri, maka menurut stelsel ini, semua pidana yang diancamkan terhadap masing-masing delik dijatuhkan semuanya. Akan tetapi, jumlah pidana itu harus dibatasi, yaitu jumlahnya tidak boleh melebihi dari pidana terberat ditambah 1/3 (sepertiga).

C.    Dasar Hukum
            Gabungan tindak pidana merupakan perbuatan pidana yang sangat merugikan kepentingan hukum, dimana pelakunya harus dihukum lebih berat dari pelaku yang hanya melakukan satu tindak pidana. Adapun dasar hukum dapat dipidananya pelaku tindak pidana gabungan adalah berdasarkan rumusan Pasal 63 sampai dengan Pasal 71 KUHP, yang secara sistimatis dapat diuraikan sebagai berikut:
Dasar hukum gabungan dalam satu perbuatan (corcursus idealis)
Adapun dasar hukum mengenai gabungan dalam satu perbuatan ini adalah diatur dalam Pasal 63 dan 64 KUHP yang rumusannya sebagai berikut:
Bunyi rumusan Pasal 63 KUHP :
1.      jika sesuatu perbuatan termasuk dalam beberapa peraturan ketentuan pidana, maka hanyalah dikenakan satu saja dari ketentuan itu, jika hukumannya berlainan, maka yang dikenakan ialah ketentuan yang terberat hukuman pokoknya.
2.      Jika bagi sesuatu perbuatan yang terancam oleh ketentuan pidana umum pada ketentuan yang istimewa, maka ketentuan pidana istimewa itu saja yang akan digunakan.

Dasar Hukum Tindakan berlanjut
Adapun dasar hukum tentang pembarengan tindakan berlanjut terdapat dalam Pasal 64 KUHP,yang rumusannya sebagai berikut :
1.      Jika beberapa perbuatan perhubungan, sehingga dengan demikian harus dipandang sebagai satu perbuatan yang diteruskan, maka hanya satu ketentuan pidana saja yang digunakan walaupun masing-masing perbuatan itu menjadi kejahatan atau pelanggaran; jika hukumannya berlainan, maka yang digunakan ialah peraturan yang terberat hukuman utamanya.
2.      Begitu juga hanya digunakan satu ketentuan pidana saja, bila orang dipersalAkan memalsu atau merusakkan uang dan memakai benda untuk melakukan perbuatan memalsu atau merusakkan uang
Akan tetapi jika kejahatan yang diterangkan dalam Pasal 364, 373, 379 dan ayat per-tama Pasal 407, dilakukan sebagai perbuatan yang diteruskan dan jumlah dari harga kerugian atas kepunyaan orang lantaran perbuatan terus-menerus itu semua lebih dari Rp. 25,- maka, masing-masing dihukum menurut ketentuan dalam pasal 362,372,378 dan 406.

Dasar hukum gabungan beberapa perbuatan pidana (Concursus realis)
Adapun dasar hukum mengenai gabungan dalam beberapa tindak pidana diatur dalam Pasal 65 KUHP yang bunyi rumusannya sebagai berikut:
1.      Dalam gabungan dari beberapa perbuatan, yang masing-masing harus dipandang sebagai perbuatan tersendiri-sendiri dan yang masing-masing menjadi kejahatan yang diancam dengan hukuman utama yang sejenis, maka satu hukuman saja yang dijatuhkan.
2.      Maksimum hukuman ini ialah jumlah hukuman yang tertinggi. Ditentukan untuk perbuatan itu, akan tetapi tidak boleh lebih dari hukuman maksimum yang paling berat ditambah dengan sepertiganya.
Selanjutnya mengenai tindak pidana gabungan beberapa perbuatan ini juga dirumuskan dalam Pasal 66 sebagai lanjutan dari Pasal 65 KUHP yang rumusannya sebagai berikut:
Adapun bunyi Pasal 66 KUHP yang berbunyi sebagai berikut:
1.      Dalam gabungan dari beberapa perbuatan, yang masing-masing harus dipandang sebagai perbuatan, tersendiri-sendiri dan yang masing-masing menjadi kejahatan yang terancam dengan hukuman utama yang tidak sejenis, maka tiap-tiap hukuman itu dijatuhkan, akan tetapi jumlah hukumannya tidak boleh melebihi hukuman yang terberat sekali ditambah dengan sepertiganya.
2.      Hukuman denda dalam hal ini dihitung menurut maksimum hukuman kurungan pengganti denda, yang ditentukan untuk perbuatan itu.
Adapun Bunyi Pasal 67 KUHP yang berbuyi sebagai berikut:
"Jika dijatuhkan hukuman coati atau hukuman penjara seumur hidup, maka beserta itu tidak boleh dijatuhkan hukuman lain dari pada mencabut hak tertentu, merampas barang yang telah disita, dan pengumuman keputusan hakim"
Adapun bunyi Pasal 68 KUHP yang berbuyi sebagai berikut:
(1) Dalam hal yang tersebut dalam Pasal 65 dan 66, maka tentang hukuman tambahan berlaku ketentuan yang berikut di bawah ini:
    * Hukuman-hukuman mencabut hak yang dijadikan satu huk-uman, lamanya sekurang-kurangnya dua tahun, selama-lamanya lima tahun lebih dari pada hukuman-hukuman pokok yang telah dijatauhkan, atau kalau sekiranya tidak ada hukuman pokok lain dari Benda yang dijatuhkan, dijadikan satu hukuman sekurang-kurangnya dua tahun selama-lamanya lima tahun.
    * Hukuman-hukuman mencabut hak yang berbagai-bagai jenis, dijatuhkan masing-masing bagi tiap-tiap kejahatan dengan tidak dikurangi;
    * Hukuman-hukuman merampas beberapa barang-barang yang tertentu, begitu juga hukuman kurungan bila barang itu tidak diserahkan, dijatuhkan masing-masing bagi tiap-tiap kejahatan dengan tidak dikurangi.
(2) Jumlah hukuman kurungan pengganti lamanya tidak boleh lebih dari delapan bulan.
Adapun bunyi Pasal 69 KUHP yang berbunyi sebagai berikut :
1.      Perbandingan beratnya hukuman pokok yang tidak sejenis, ditentukan oleh susunan dalam Pasal 10.
2.      Dalam hal hakim boleh memilih antara beberapa hukuman pokok maka pada perbandingan hanya hukuman yang terberat saja yang boleh dipilihnya.
3.      Perbandingan beratnya hukuman pokok yang tidak sejenis, ditentukan oleh maksimumnya.
4.      Perbandingan lamanya hukuman pokok yang tidak sejenis, begitupun hukuman pokok yang sejenis ditentukan oleh maksimumnya.
Adapun yang diatur di dalam Pasal 70 KUHP yang berbunyi sebagai berikut:
1.      Jika secara yang dimaksudkan dalam Pasal 65 dan 66 ada gabungan antara pelanggaran dengan kejahatan, atau antara pelanggaran dengan pelanggaran maka dijatuhkan hukuman bagi tiap-tiap pelanggaran itu dengan tidak dikurangi.
2.      Untuk pelanggaran, maka jumlah hukuman kurungan, termasuk juga hukuman kurungan pengganti, tidak boleh lebih dari satu tahun empat bulan hukuman kurungan pengganti, tidak boleh lebih dari delapan bulan.
Adapun yang diatur di dalam Pasal 70 bis yang berbunyi sebagai berikut:
"Tentang melakukan Pasal 65, 66, dan 70 KUHP maka kejahatan yang diterangkan dalam Pawl 302, ayat Pertama, 352, 364, 373, 379 dan 482 dianggap sebagai pelanggaran, tetapi jika dijatuhkan hukuman penjara jumlah hukuman ini bagi kejahatan-kejahatan itu tidak boleh lebih dari pada delapan bulan".
Adapun yang diatur di dalam Pasal 71 KUHP yang berbunyi sebagai berikut :
"Jika seseorang, sesudah dijatuhkan hukuman, disalahkan pule berbuat kejahatan atau pelanggaran yang dilakukan sebelum is dihukum itu maka hukuman yang dahulu itu turut dihitung dengan menggunakan aturan dalam bab ini, kalau perkara-perkara itu diadili serentak"
Dengan demikian jelas bahwa yang menjadi dasar hukum dari gabungan tindak pidana baik itu gabungan dalam satu perbuatan, gabungan dalam beberapa perbuatan maupun perbuatan berlanjut adalah Pasal 63 sampai Pasal 70 KUHP sebagai mane yang telah dirumuskan diatas.

D.    Macam-macam Gabungan Hukuman
1.      Gabungan anggapan (concurcus idealis)
            Gabungan jarimah itu karena hanya bersifat anggapan, sedang pelakunya hanya berbuat satu jarimah. Contoh: Seorang memukul petugas, ia diaggap melakukan jarimah ganda, walaupun pelakunya menganggap melakukan jarimah tunggal, hal ini dikarenakan yang dipukul adalah petugas sehingga oleh hukum dianggap berbuat jarimah ganda yaitu memukul orang dan melawan petugas.
2.      Gabungan nyata (concurcus realis)
            Yaitu seorang melakukan perbuatan jarimah ganda secara jelas, baik berkenaan dengan jelas atau berbeda. Contoh: Sulaiman lakukan pemerkosaan terhadap habibah sebelulm dijatuhi hukuman sulaiman melakukan pembunuhan terhadap ali sobri (contoh jarimah ganda berbeda). Adapun jarimah sejenis adalah sulaiman melakukan pembunuhan terhadap Syaikhun Adim sebelum dihukum dia melakukan pembunuhan lagi terhadap Azmi.
Gabungan memiliki beberapa bentuk, yaitu:
1.      Gabungan dalam satu perbuatan (Eendaadse Samenloop/Concursus Idealis)
Eendaadse Samenloop terjadi apabila seseorang melakukan satu perbuatan, tetapi dengan satu perbuatan itu ia melanggar beberapa peraturan pidana yang berarti ia telah melakukan beberapa tindak pidana. Hal ini diatur dalam pasal 63 KUHP yang bunyinya sebagai berikut:
Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang dikenakan hanya salah satu di antara aturan-aturan itu, jika berbeda-beda yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat.
Jika suatu perbuatan, yang masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang dikenakan.
Di antara para sarjana terdapat perbedaan pendapat mengenai apa yang dimaksud dengan satu tindakan. Sebelum tahun 1932, Hoge Raad barpendirian yang ternyata dalam putusannya, bahwa yang dimaksud dengan satu tindakan dalam pasal 63 ayat (1) KUHP[2] adalah tindakan nyata atau tindakan materiil.
Taverne bertolak pangkal dari pandangan hukum pidana bahwa tindakan itu terdiri dari dua/lebih tindakan yang terdiri sendiri yang mempunyai sifat yang berbeda yang tak ada kaitannya satu sama lain dapat dibayangkan keterpisahan masing-masing. Akibat dari pendirian Hoge Raad ini, makna dari pasal 63 ayat (1) menjadi sempit. Hanya dalam hal-hal terbatas masih apat dibayangkan kemanfaatan dari ketentuan pasal tersebut.
Pendirian Hoge Raad bersandar kepada sifat atau ciri yang terdapat pada tindakan tersebut, namun belum secara tegas dapat diketahui apa yang dimaksud dengan satu tindakan dan beberapa perbuatan. Maka dapat disimpulkan bahwa dalam prakterknya Hoge Raad menyelesaikan perkara secara kasuistis.
Modderman mengatakan bahwa dilihat dari sudut badaniah tindakan itu hanyalah satu saja akan tetapi dari sudut rohani ia merupakan pluralitas (ganda). Sedangkan Pompe mengutarakan bahwa apabila seseorang melakukan satu tindakan pada suatu tempat dan saat, namun harus dipandang merupakan beberapa tindakan apabila tindakan itu mempunyai lebih dari satu tujuan atau cukupan.
Ketentuan dalam pasal 63 ayat (2)[3] sesuai dengan asas lex spesialis derogat lex general, yang artinya ketentuan khusus mengenyampingkan ketentuan yang umum. Yang dimaksud dengan ketentuan pidana khusus adalah jika pada tindak pidana khusus itu termuat atau tercakup semua unsur-unsur yang ada pada tindak pidana umum, akan tetapi padanya masih ada unsur lainnya atau suatu kekhususan. Pemidanaan dalam hal concursus idealis menggunakan stelsel absorpsi murni yaitu dengan salah satu pidana yang terberat.
2.      Gabungan dalam beberapa perbuatan (Meerdaadse Samenloop/concursus realis)
Meerdaadse Samenloop terjadi apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan, dan tiap-tiap perbuatan tindak pidana sendiri-sendiri dan terhadap perbuatan-perbuatan tadi diadili sekaligus. Hal ini diatur dalam pasal 65, 66, 70 dan 70 bis KUHP. Menurut ketentuan yang termuat dalam KUHP, concursus realis dibedakan antara jenis tindak pidana yang dilakukan. Tindak pidana kejahatan termuat dalam pasal 65 dan 66 KUHP. Sedangkan tindak pidana pelanggaran termuat dalam pasal 70 .
Pasal 65 KUHP[4] mengatur gabungan dalam beberapa perbuatan yang diancam dengan pidana pokok sejenis dan sistem pemidanaan menggunakan sistem absorpsi diperberat. Pasal 66 KUHP mengatur gabungan dalam beberapa perbuatan yang diancam dengan pidana pokok yang tidak sejenis dan sistem pemidanaanya juga menggunakan absorpsi diperberat.
Perbedaan antara pasal 65 dan 66 KUHP terletak pada pidana pokok yang diancamkan terhadap kejahatan-kejahatan yang timbul karena perbuatan-perbuatannya itu yaitu apakah pidana pokok yang diancamkannya itu sejenis atau tidak. Sedangkan pasal 70 KUHP mengatur apabila seseorang melakukan beberapa pelanggaran atau apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan yang merupakan kejahatan dan pelanggaran.
Jika pasal 65 dan 66 menyebutkan tentang gabungan kejahatan dengan kejahatan, pasal 70 memberi ketentuan tentang gabungan kejahatan dengan pelanggaran atau pelanggaran dengan pelanggaran. Dalam hal ini maka kejahatannya dijatuhkan hukumannya sendiri, sedangkan bagi masing-masing pelanggarannya pun dikenakan hukuman sendiri-sendiri dengan pengertian bahwa jumlah semuanya dari hukuman kurungan yang dijatuhkan bagi pelanggaran-pelanggaran itu tidak boleh lebih dari satu tahun empat bulan dan mengenai hukuman kurungan pengganti denda tidak lebih dari delapan bulan. Pasal 70 bis menentukan kejahatan-kajahatan ringan dianggap sebagai pelanggaran. Bagi masing-masing kejahatan ringan tersebut harus dijatuhkan hukuman sendiri-sendiri dengan ketentuan bahwa jika dijatuhkan hukuman penjara maka jumlah semua hukuman tidak boleh lebih dari delapan bulan.
3.      Perbuatan berlanjut (Voorgezette Handeling)[5]
Apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan dan beberapa perbuatan itu merupakan tindak pidana sendriri. Tetapi di antara perbuatan itu ada yang hubungan sedemikian eratnya satu sama lain sehingga beberapa perbuatan itu harus dianggap sebagai satu peruatan lanjutan. Hal ini diatur dalam pasal 64 KUHP dan pemidanaannya menggunakan sistem absorpsi.
Apa yang dimaksud dengan perbuatan berlanjut? Terdapat beberapa pendapat mengenai perbuatan berlanjut tersebut. Ada sarjana yang memberikan pengertian bahwa perbuatan berlanjut adalah apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan yang masing-masing merupakan delik, tetapi beberapa perbuatan yang masing-masing delik itu seolah-olah digabungkan menjadi satu delik.
Sedangkan Simons mengatakan bahwa KUHP yang berlaku sekarang tidak mengenal vorgezette handeling sebagaimana diatur dalam pasal 64 KUHP yang merupakan bentuk gabungan dalam concursus realis. Hanya tentang pemidanaan pasal 64 KUHP menyimpang dari ketentuan pasal 65 KUHP dan 66 KUHP. Menurut pasal 65 KUHP dan 66 KUHP yang dijatuhkan adalah satu pidana yang terberat ditambah dengan sepetiganya. Sedangkan menurut pasal 64 KUHP yang dijatuhkan hanya satu pidana yang diperberat. Oleh karena itu, Simons menganggap pasal 64 KUHP sebagai pengecualian terhadap concursus realis/ meerdaadse samenloop.
Adapun ciri-ciri dari perbuatan berlanjut adalah:
a.       Tindakan-tindakan yang terjadi adalah sebagai perwujudan dari satu kehendak jahat;
b.      Delik-delik yang terjadi itu sejenis; dan
c.       Tenggang waktu antara terjdinya tindakan-tindakan tersebut tidak terlampau lama.
Persoalan mengenai sejauh mana cakupan dari satu kehendak jahat tersebut erat hubungannya dengan delik dolus/ culpa dan delik materil/ formil. Untuk delik dolus dalam hubungannya dengan delik materiil/ formal tidak ada persoalan mengenai cakupan dari satu kehendak jahat tersebut.
Pertimbangan fuqaha tentang eksistensi gabungan hukuman yang berdasarkan atas dua teori :
1.      Teori saling memasuki atau melengkapi
Dalam teori ini yang dimaksudkan oleh menulis, bahwa pelaku jarimah dikenakan suatu hukuman, walaupun melakukan tindakan kejahatan ganda, karena perbuatan satu dengan yang lainnya dianggap saling melengkapi atau saling memasuki. Teori ini ada dua pertimbangan.
a.       Bila pelaku hanya melakukan tindakan kejahatan sejenis sebelum diputuskan oleh hakim, maka hukumannya dapat dijatuhkan satu macam saja, jika satu hukuman dianggap cukup. Akan tetapi jika ia belum insaf atau jera dan mengulangi lagi, maka ia dapat dikenakan hukuman lagi.
Contoh: Hamim mencuri sebelum mencuri ia dikenakan hukuman dan ia mencuri lagi.
b.      Bila jarimah yang dilakukan oleh seorang secara berulang-ulang dan terdiri dari bermacam-macam jarimah, maka pelakupun bisa dikenakan satu hukuman, dengan syarat bahwa penjatuhan hukuman itu melindungi kepentingan bersama dan untuk mewujudkan tujuan yang sama.
Contoh: Ali sobri memakan daging babi, kemudian meminum khomer serta makan bangkai.
2.      Teori penyerapan
Yang dimaksud dari teori ini adalah penjatuhan hukuman dengan menghilangkan hukuman yang lain karena telah diserap oleh hukuman yang lebih berat.
Contoh :
Syaikhon adim dijatuhkan hukuman mati yang lain diaggap tidak, karena telah diserap oleh hukuman mati.
Teori penyerapan ini dipegang oleh abu hanifah, imam malik, dan imam ahmad. Sedangkan imam syafi`k menolak, beliau perpendapat bahwa semua hukuman harus dijatuhkan satu persatu adapun taktik pelaksanaannya ialah mendahulukan hak adami daripada hak Allah.
Contoh :
·         Hak adami seperti diyat (jarimah yang dilakukan tanpa disengaja seperti peluru nyasar atau semi sengaja melempar orang dengan batu kemudian dia mati)
·         Hak Allah seperti (mencuri, berzina, membunuh), yang sifatnya sengaja.
Sekalipun dalam islam sendiri mengakui adanya jarimah qisas, diat, tetapi tidak selalu yang dibayangkan. Islam justru dalam menerapkan hukuman sangat memperhatikan kepentingan individu dan masyarakat. Ditegakkannya hukuman dalam islam pada prinsipnya ialah demi kemaslahatan manusia.

E.     Perbedaan Teori Gabungan Hukuman antara Hukum Pidana, Hukum Pidana Indonesia, dan Hukum Pidana Islam

Dalam hukum positif terdapat tiga teori mengenai gabungan jarimah, yaitu:
1.      Teori berganda. (cumulatie)
            Menurut teori ini pelaku mendapat semua hukuman yang ditetapkan untuk tiap-tiap jarimah yang dilakukannya. Kelemahan teori ini terletak pada banyaknya hukuman yang dijatuhkan. Hukuman penjara misalnya adalah hukuman sementara, tetapi apabila digabung-gabungkan maka akan berubah menjadi hukuman seumur hidup.
2.      Teori penyerapan. (absorptie)
            Menurut teori ini hukuman yang lebih berat dapat menyerap (menghapuskan) hukuman yang lebih ringan. Kelemahan teori ini adalah kurangnya keseimbangan antara hukuman yang dijatuhkan dengan banyaknya jarimah yang dilakukan, sehingga terkesan hukuman demikian ringan.
3.      Teori campuran.
            Teori merupakan campuran antara berganda dan penyerapan. Teori ini dimaksudkan untuk melemahkan teori yang ada dalam kedua teori tersebut. Menurut teori campuran hukuman-hukuman biasa digabungkan, asal hasil gabungan tidak melebihi batas tertenu, sehingga dengan demikian akan hilanglah kesan berlebihan dalam penjatuhan hukuman.
Dalam hukum pidana Indonesia, ketentuan mengenai gabungan tercantum dalam pasal 63 sampai dengan 71 KUHP pidana. Dari pasal tersebut dapat diketaui bahwa dalam hukum pidana Indonesia ada beberapa teori yang dianut berkaitan dengan gabungan hukuman ini. Teori-teori tersebut adalah sebagai berikut.
1)      Teori penyerapan biasa
Menurut teori ini hanya satu pidana yang diterapkan pada pasal 63 KUHP, yaitu yang paling berat hukuman pokoknya, apabila suatu perbuatan pidana diancam dengan beberapa aturan pidana. Contohnya: orang membunuh dengan menembak dibelakang kaca, jadi tindakkanya adalah membunuh (pasal 339) dan merusak barang (pasal 406) maka yang diterapkan adalah pasal 339.
2)       Teori penyerapan keras
Menurut teori ini dalam hal gabungan perbuatan yang nyata yang diancam dengan hukuman pokok adalah yang sejenis, hanya satu hukuman saja yang dijatuhkan dan hukuman tersebut bisa diberatkan dengan sepertiga dari maksimum hukuman yang seberat-bratnya.
3)      Teori berganda yang dikurangi
Teori ini hampir sama dengan teori yang bersumber dari pasal 65 dan 66 KUHP. Menurut teori ini, yang tercantum dalam pasal 65 ayat (2), semua hukuman dapat dijatuhkan, tetapi jumlah keseluruhannya tidak melebihi hukuman yang paling berat, ditambah dengan sepertiganya.
4)      Teori berganda biasa
Menurut teori ini, semua hukuman dijatuhkan tanpa dikurangi. Ini di anut oleh pasal 70 ayat (1) yang berbunyi: “ Jika ada gabungan secara yang termaksud dalam pasal 65 dan 66 antara pelanggaran dengan kejahatan, atau antara pelanggaran maka dijatuhkan hukuman bagi tiap-tiap pelanggaran itu dengan tidak dikurangi”.
Dalam hukum pidana Islam, teori tentang bergandanya hukuman sudah dikenal di kalangan fuqaha, tetapi teori tersebut dibatasi pula dengan dua teori yang lain, yaitu teori saling melengkapi (At-Tadakhul) dan teori penyerapan (Al-Jabbu).
a.       Teori saling melengkapi ( At-Tadakhul)
Menurut teori ini, ketika terjadi gabungan jarimah, maka hukuman-hukumannya saling melengkapi, sehingga oleh karenanya itu semua perbuatan tersebut dijatuhi satu hukuman, seperti kalau ia memperkuat perbuatan. Teori ini didasarkan atas dua pertimbangan, yaitu:
Pertama Meskipun perbuatan jarimah berganda, sedang semuanya adalah satu macam, seperti pencurian yang berulang kali atau fitnahan yang berulang kali, maka sudah sepantasnya kalau hanya dikenakan satu macam hukuman, selama belum ada keputusan hakim. Beberapa perbuatan dianggap satu macam selama objeknya adalah satu, meskipun berbeda-beda unsurnya serta hukumannya, seperti pencurian biasa dan gangguam keamanan (Hirabah). Alasan penjatuhan satu hukuman saja adalah bahwa pada dasarnya suatu hukuman dijatuhkan untuk maksud memberikan pengajaran (ta’dib) dan pencegahan terhadap orang lain (zajru), dan kedua tujuan ini dapat dicapai dengan satu hukuman selama cukup membawa hasil. Namun, kalau diperkirakan pembuat akan kembali melakukan perbuatan-perbuatannya, maka kemungkinan ini semata-mata tidak cukup, selama belum jadi kenyataan bahwa hukuman tersebut tidak cukup menahannya. Baru setelah mengulangi perbuatannya sesudah mendapat hukuman, maka ia dijatuhi hukuman lagi, karena hukuman yang pertama ternyata tidak berpengaruh.
Kedua Meskipun perbuatan-perbuatan yang dilakukan berganda dan berbeda-beda macamnya, namun hukuman-hukumannya bisa saling melengkapinya dan cukup untuk satu hukuman yang dijatuhkan untuk melindungi kepentingan yang sama. Seseorang misalnya makan bangkai, darah dan daging babi, maka atas ketiga perbuatan ini dijatuhi satu hukuman, karena hukuman-hukuman tersebut dijatuhkan untuk mencapai satu tujuan, yaitu melindungi kesehatan perseorangan dan masyarakat.
b.      Teori penyerapan (Al-Jabbu)
Yaitu menjatuhkan suatu hukuman, dimana hukuman-hukuman yang lain tidak dapat dijatuhkan. Hukuman tersebut dalam hal ini tidak lain adalah hukuman mati, dimana pelaksanaannya dengan sendirinya menyerap hukuman-hukuman lain. Teori ini dikemukakan oleh beberapa ulama diantaranya Imam Malik, Abu Hanifah, dan Ahmad.
Menurut Imam Malik, apabila hukuman had berkumpul dengan hukuman mati karena Tuhan, seperti hukuman mati Karena jarimah murtad, atau berkumpul dengan hukuman mati karena qisash bagi seseorang lain, maka hukuman had tersebut tidaj dapat dijalankan karena hukuman mati tersebut menyerapnya, kecuali hukuman memfitnah saja (qadzaf) yang tetap dilaksanakan, dengan cara di-jilid dahulu delapan puluh kali, kemudian dihukum mati.
Menurut Imam Ahmad, apabila terjadi dua jarimah hudud, seperti mencuri dan zina bagi orang-orang muhshan, atau minum dan mengganggu keamanan (hirabah) dengan membunuh, maka hanya hukuman mati saja yang dijalankan, sedang hukuman-hukuman lain gugur. Kalau hukuman hudud berkumpul dengan hak-hak adami, dimana salah satunya diancam hukuman mati, maka hak-hak adami tersebut harus dilaksanakan terlebih dahulu, dan hak-hak Allah diserap oleh hukuman hukuman mati.
Bagi Imam Abu Hanifah, pada dasarnya apabila terdapat gabungan hak mannusia dengan hak-hak Allah, maka hak manusialah yang harus didahulukan, karena ia pada umumnya ingin lekas mendapatkan haknya. Kalau sesudah pelaksanaan hak tersebut hak Allah tidak bisa dijalankan lagi, maka hak tersebut hapus dengan sendirinya.
Bagi Imam Syafi’i tidak ada teori penyerapan (al-jabbu), melainkan semua hukuman harus dijatuhkan selama tidak saling melengkapi (tadakhul). Caranya ialah dengan mendahulukan hukuman bagi hak-hak adami yang bukan hukuman mati, kemudian hukuman bagi hak Allah yang bukan hukuman mati kemudian lagi hukuman mati.
c.       Teori Percampuran (al Mukhtalath)
Teori percampuran ini dimaksudkan untuk mengatasi kelemahan-kelemahan dari dua metode sebelumnya yaitu teori al jabbu (penyerapan) dan teori al tadaahul (saling memasuki), yaitu dengan cara menggabungkan keduanya dan mencari jalan tengahnya.
Sebagaimana yang telah disebutkan di awal bahwa hukum Islam dalam menggunakan kedua teori tersebut tidak secara mutlak. Dalam teori percampuran ini langkah yang dilakukan yakni dengan membatasi kemutlakan dari dua teori sebelumnya. Penggabungan hukuman boleh dilakukan namun tidak boleh melampaui batas tertentu. Tujuan daripada pemberian batas akhir ini bagi hukuman ialah untuk mencegah hukuman yang terlalu berlebihan.







BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
            Dalam islam mempunyai berbagai syari’at yang tidak dapat dipisahkan dari diri seorang muslim, dimanapun ia berada. Salah satunya gabungan hukuman yang artinya serangkai saksi yang diterapkan kepada seseorang apabila ia benar-benar telah melakukan tidakan pidana secara berulang-ulang diantara perbuatan perbuatannya tersebut antara yang satu dengan yang lain belum ada keputusan.
Dalam hukum pidana, hukum pidana indonesia, dan hukum pidana islam memiliki teori yang berbeda-beda. Seperti dalam teori hukum pidana terdapat tiga teori mengenai gabungan hukuman, yaitu teori berganda, penyerapan, dan campuran. Dalam hukum pidana Indonesia terdapat empat teori mengenai gabungan hukuman yaitu, teori penyerapan keras, penyerapan biasa, berganda yang dikurangi, berganda biasa. Sedangkan dalam hukum pidana Islam, teori gabungan hukuman ada tiga, yaitu teori saling melengkapi, teori penyerapan dan pencampuran.            
Dalam gabungan hukuman terdapat perbedaan pendapat antara para fuqaha diantaranya pendapat imam maliki, hanafi, dan ahmad menyatakan apabila gabungan hukuman itu berupa hukuman mati, maka dengan sendirinya jarimah-jarimah yang telah di lakukannya terhadapus, berbeda dengan pendapat imam syafi`i yang mengemukakan semua jarimah di hukum satu-persatu, dan cara pelaksanaan hukumannya didahulukan hak adami kemudian baru hak Allah.









DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Hanafi. 1968. Asas-Asas Hukum Pidana Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Djazuli. 2007. Fiqih Jarimah. Ed. 2. Cet III. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Kanter, E.Y. dan S.R. 2002. Sianturi. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya. Jakarta: Storia Grafika.
Mahrus Munajad, 2004. Dekontruksi Hukum Pidana Islam. Djogjakarta: Logung Pustaka.
Muslich, Ahmad Wardi. 2004. Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam. Cet I. Jakarta: Sinar Grafik.
Moeljatno. 1987. Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia, Jakarta: Bina Aksara.
Rahmat, Hakim. 2000. Hukum Pidana Islam. Bandung: Pusataka Setia.
R. Soesilo. 1987. Kitab Undang – Undang Hukum Pidana serta Komentar – Komentarnja Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor: Politeia.





[1] Moeljatno. Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia, Jakarta : Bina Aksara, 1987, hlm. 50
[2] R. Soesilo, Kitab Undang – Undang Hukum Pidana serta Komentar – Komentarnja Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor, Politeia, 1973, hlm. 68-69
[3] Ibid,
[4] Ibid, hlm. 71
[5] Kanter, E.Y. dan S.R. Sianturi. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya. Jakarta:  Storia Grafika, 2002.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar