BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Hukum
pidana atau fiqih jinayah merupakan bagian dari syari’at islam yang berlaku
semenjak diutusnya Rosulullah, yang berdasarkan al-qur`an dan hadist atau
lembaga yang mempunyai wewenang untuk menetakan hukuman. Oleh karenanya pada
zaman Rosululah dan Khulafaur Rasyidin, hukum pidana islam berlaku sebagai
hukum publik. Yaitu hukum yang diatur dan diterapkan oleh pemerintah selaku
penguasa yang sah atau ulil amri.
Hukum
pidana menurut syari’at islam merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam
kehidupan setiap muslim dimanapun ia berada. Syari’at islam merupakan hukum
yang harus dilaksanakan oleh setiap muslim, karena syari’at islam merupakan
bagian ibadah kepada Allah SWT.
Pada
dasarnya dalam hukum Islam dikenal bahwa setiap kejahatan atau jarimah telah
mempunyai ketetapan hukumnya masing-masing. Keberagaman jenis hukuman yang
terdapat dalam hukum Islam seringkali menjadikan permasalahan tatkala terdapat
seseorang yang melakukan beberapa jarimah atau jarimah ganda. Hukuman manakah
yang akan dijatuhkan? Apakah satu jenis hukuman ataukah seluruh hukuman?
Gabungan
melakukan tindak pidana dalam hukum Islam sebenarnya tidak terdapat istilah
khusus. Namun dalam pengertian ini terdapat dua hal yang perlu diperhatikan
yaitu tentang pengertian delik gabungan dan tentang rentetan pelanggaran yang
mana keduanya bagaikan dua sisi mata uang, artinya adanya delik gabungan
dikarenakan adanya rentetan pelanggaran.
B. Rumusan
Masalah
1.
Apa yang dimaksud dengan gabungan
hukuman?
2. Seperti
apa Sistem Pemidanaan di Indonesia?
3. Apa
Dasar Hukum Gabungan ?
4. Apa
saja yang termasuk pada Macam-macam Gabungan Hukuman?
5.
Bagaimana perbedaan teori gabungan
hukuman antara hukum pidana, hukum pidana Indonesia, dan hukum pidana Islam?
C. Tujuan
Penulisan
1.
Mengetahui yang dimaksud dengan
gabungan hukuman
2.
Mengetahui Sistem
Pemidanaan di Indonesia
3.
Mengetahui Dasar Hukum
Gabungan
4.
Mengetahui yang
termasuk pada Macam-macam Gabungan Hukuman
5.
Mengetahui perbedaan teori gabungan
hukuman antara hukum pidana, hukum pidana Indonesia, dan hukum pidana Islam
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Gabungan
Hukuman
Samenloop
dapat diterjemahkan gabungan atau perbarengan yang
dalam bahasa Belanda juga disebut samenloop van strafbaar feit atau concursus.
Dalam makalah ini akan digunakan istilah “gabungan”. Hukuman dalam bahasa Arab
disebut Iqab atau `uqubah merupakan bentuk balasan bagi seseorang
yang atas perbuatannya melanggar ketentuan syara` yang ditetapkan Allah dan
Rasul-NYA untuk kemaslahatan manusia. Menurut kamus bahasa indonesia karangan
S. Wojo Wasito Hukuman berarti, siksaan atau pembalasan kejahatan.
Sedangka Abdul Qadir Audah memberi definisi
hukuman sebagai berikut:
العقوبة هي الجزاء المقر
رالمصلحة الجماعة على عصيان امر الشارع
Artinya
:
“Hukuman adalah pembalasan atau
pelanggaran perintah syara` yang ditetapkan untuk kemaslahatan masyarakat”.
Tujuan hukuman ialah menciptakan
ketentraman individu dan masyarakat serta mencegah perbuatan yang menimbulkan
kerugian. Dalam Islam mempunyai dua aspek; perventif (pencegahan) dan represif
(pendidikan). Kedua aspek tersebut akan menghasilkan kemaslahatan, yaitu
terbentuknya moral yang dilandasi Agama.
Pada
dasarnya dalam hukum Islam dikenal bahwa setiap kejahatan atau jarimah telah
mempunyai ketetapan hukumnya masing-masing. Keberagaman jenis hukuman yang
terdapat dalam hukum Islam seringkali menjadikan permasalahan tatkala terdapat
seseorang yang melakukan beberapa jarimah atau jarimah ganda.
Gabungan
melakukan tindak pidana dalam hukum Islam sebenarnya tidak terdapat istilah
khusus. Namun dalam pengertian ini terdapat dua hal yang perlu diperhatikan
yaitu tentang pengertian delik gabungan dan tentang rentetan pelanggaran yang
mana keduanya bagaikan dua sisi mata uang, artinya adanya delik gabungan
dikarenakan adanya rentetan pelanggaran.
Gabungan
hukuman dapat terjadi manakala terdapat gabungan jarimah. Gabungan terjadi
apabila seseorang melakukan beberapa macam jarimah, dimana pada masing-masing
jarimah tersebut belum mendapat keputusan terakhir. Gabungan jarimah adakalanya
terjadi dalam lahir saja, dan adakalanya benar-benar nyata. Gabungan dalam
lahir terdapat apabila pelaku melakukan suatu jarimah yang dapat terkena oleh
bermacam-macam ketentuan.
Contohnya, seperti seseorang melakukan
penganiayaan terhadap seorang petugas yang melaksanakan tugasnya. Dalam kasus
ini pelaku bisa dituntut karena penganiayaan dan melawan petugas. Gabungan
jarimah nyata adalah apabila terjadi beberapa macam perbuatan jarimah dari
pelaku, sehingga masing-masing jarimah bisa di anggap sebagai jarimah yang berdiri
sendiri.
Contohnya seperti tukang pencak yang
dengan kakinya melukai seseorang, dan dengan tangannya menikam orang lain
sampai mati. Dalam kasus ini pelaku bisa dituntut karena melakukan penganiayaan
dan pembunuhan. Dari penjelasan tersebut terlihat jelas perbedaan antara
gabungan dengan pengulangan, sebagaimana telah di uraikan di atas. Letak
perbedaan antara keduanya adalah dalam hal apakah pelaku dalam jarimah pertama
atau sebelumnya sudah dihukum (mendapat keputusan terakhir) atau belum. Kalau
belum, itu termasuk gabungan dan kalau sudah, itu termasuk pengulangan.
Seharusnya pelaku pada gabungan jarimah tidak dijatuhi hukuman atas semua
jarimah yang dilakukannya, meskipun gabungan jarimah tersebut menunjukkan jiwa
kejahatannya. Hal ini karena ketika ia mengulangi suatu perbuatan jarimah, ia
belum mendapat hukuman dan pengajaran dari jarimah sebelumnya. Berbeda dengan
pengulang kejahatan yang telah mendapat hukuman, dan dengan hukuman itu
dimaksudkan agar ia tidak mengulangi perbuatannya.
Jadi
gabungan hukuman adalah serangkaian saksi yang diterapakan kepada seorang
apabila ia telah nyata melakukan jarimah (pidana) secara berulang-ulang dan
antara perbuatan jarimah yang satu dengan yang lainnya belum mendapatkan
putusan terakhir.
Dengan
demikian maka syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk dapat menyatakan
adanya gabungan adalah: Ada dua/ lebih tindak pidana dilakukan;
§ Bahwa
dua/ lebih tindak pidana tersebut dilakukan oleh satu orang (atau dua orang
dalam hal penyertaan);
§ Bahwa
dua/ lebih tindak pidana tersebut belum ada yang diadili; dan
§ Bahwa
dua/ lebih tindak pidana tersebut akan diadili sekaligus.
B.
Sistem Pemidanaan
Pada
dasarnya teori gabungan tindak pidana dimaksudkan untuk menentukan pidana apa
dan berapa ancaman maksimum pidana yang dapat dijatuhkan terhadap seseorang
yang telah melakukan lebih dari satu tindak pidana[1].
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
mengenal 4 (empat) sistem atau stelsel pemidanaan, yaitu:
1. Sistem
Absorpsi
Apabila seseorang melakukan beberapa
perbuatan yang merupakan beberapa delik yang masing-masing diancam dengan
pidana yang berbeda, maka menurut sistem ini hanya dijatuhkan satu pidana saja,
yaitu pidana yang terberat walaupun orang tersebut melakukan beberapa delik.
2. Sistem
Kumulasi
Apabila seseorang melakukan beberapa
perbuatan yang merupakan beberapa delik yang diancam dengan pidana
sendiri-sendiri, maka menurut sistem ini tiap-tiap pidana yang diancamkan
terhadap delik-delik yang dilakukan oleh orang itu semuanya dijatuhkan.
3. Sistem
Absorpsi Diperberat
Apabila seseorang melakukan beberapa
perbuatan yang merupakan beberapa jenis delik yang masing-masing diancam dengan
pidana sendiri-sendiri, menurut stelsel ini pada hakikatnya hanya dapat
dijatuhkan 1 (satu) pidana saja yakni yang terberat, akan tetapi dalam hal ini
diperberat dengan menambah 1/3 (sepertiga).
4. Sistem
Kumulasi Terbatas
Apabila seeorang melakukan beberapa
jenis perbuatan yang menimbulkan beberapa jenis delik yang masing-masing
diancam dengan pidana sendiri-sendiri, maka menurut stelsel ini, semua pidana
yang diancamkan terhadap masing-masing delik dijatuhkan semuanya. Akan tetapi,
jumlah pidana itu harus dibatasi, yaitu jumlahnya tidak boleh melebihi dari
pidana terberat ditambah 1/3 (sepertiga).
C.
Dasar Hukum
Gabungan
tindak pidana merupakan perbuatan pidana yang sangat merugikan kepentingan
hukum, dimana pelakunya harus dihukum lebih berat dari pelaku yang hanya
melakukan satu tindak pidana. Adapun dasar hukum dapat dipidananya pelaku
tindak pidana gabungan adalah berdasarkan rumusan Pasal 63 sampai dengan Pasal
71 KUHP, yang secara sistimatis dapat diuraikan sebagai berikut:
Dasar
hukum gabungan dalam satu perbuatan (corcursus idealis)
Adapun
dasar hukum mengenai gabungan dalam satu perbuatan ini adalah diatur dalam
Pasal 63 dan 64 KUHP yang rumusannya sebagai berikut:
Bunyi
rumusan Pasal 63 KUHP :
1. jika
sesuatu perbuatan termasuk dalam beberapa peraturan ketentuan pidana, maka
hanyalah dikenakan satu saja dari ketentuan itu, jika hukumannya berlainan,
maka yang dikenakan ialah ketentuan yang terberat hukuman pokoknya.
2. Jika
bagi sesuatu perbuatan yang terancam oleh ketentuan pidana umum pada ketentuan
yang istimewa, maka ketentuan pidana istimewa itu saja yang akan digunakan.
Dasar
Hukum Tindakan berlanjut
Adapun
dasar hukum tentang pembarengan tindakan berlanjut terdapat dalam Pasal 64
KUHP,yang rumusannya sebagai berikut :
1. Jika
beberapa perbuatan perhubungan, sehingga dengan demikian harus dipandang
sebagai satu perbuatan yang diteruskan, maka hanya satu ketentuan pidana saja
yang digunakan walaupun masing-masing perbuatan itu menjadi kejahatan atau
pelanggaran; jika hukumannya berlainan, maka yang digunakan ialah peraturan
yang terberat hukuman utamanya.
2. Begitu
juga hanya digunakan satu ketentuan pidana saja, bila orang dipersalAkan
memalsu atau merusakkan uang dan memakai benda untuk melakukan perbuatan
memalsu atau merusakkan uang
Akan
tetapi jika kejahatan yang diterangkan dalam Pasal 364, 373, 379 dan ayat
per-tama Pasal 407, dilakukan sebagai perbuatan yang diteruskan dan jumlah dari
harga kerugian atas kepunyaan orang lantaran perbuatan terus-menerus itu semua
lebih dari Rp. 25,- maka, masing-masing dihukum menurut ketentuan dalam pasal
362,372,378 dan 406.
Dasar
hukum gabungan beberapa perbuatan pidana (Concursus realis)
Adapun
dasar hukum mengenai gabungan dalam beberapa tindak pidana diatur dalam Pasal
65 KUHP yang bunyi rumusannya sebagai berikut:
1. Dalam
gabungan dari beberapa perbuatan, yang masing-masing harus dipandang sebagai
perbuatan tersendiri-sendiri dan yang masing-masing menjadi kejahatan yang
diancam dengan hukuman utama yang sejenis, maka satu hukuman saja yang
dijatuhkan.
2. Maksimum
hukuman ini ialah jumlah hukuman yang tertinggi. Ditentukan untuk perbuatan
itu, akan tetapi tidak boleh lebih dari hukuman maksimum yang paling berat
ditambah dengan sepertiganya.
Selanjutnya
mengenai tindak pidana gabungan beberapa perbuatan ini juga dirumuskan dalam
Pasal 66 sebagai lanjutan dari Pasal 65 KUHP yang rumusannya sebagai berikut:
Adapun
bunyi Pasal 66 KUHP yang berbunyi sebagai berikut:
1. Dalam
gabungan dari beberapa perbuatan, yang masing-masing harus dipandang sebagai
perbuatan, tersendiri-sendiri dan yang masing-masing menjadi kejahatan yang
terancam dengan hukuman utama yang tidak sejenis, maka tiap-tiap hukuman itu
dijatuhkan, akan tetapi jumlah hukumannya tidak boleh melebihi hukuman yang
terberat sekali ditambah dengan sepertiganya.
2. Hukuman
denda dalam hal ini dihitung menurut maksimum hukuman kurungan pengganti denda,
yang ditentukan untuk perbuatan itu.
Adapun
Bunyi Pasal 67 KUHP yang berbuyi sebagai berikut:
"Jika
dijatuhkan hukuman coati atau hukuman penjara seumur hidup, maka beserta itu
tidak boleh dijatuhkan hukuman lain dari pada mencabut hak tertentu, merampas
barang yang telah disita, dan pengumuman keputusan hakim"
Adapun
bunyi Pasal 68 KUHP yang berbuyi sebagai berikut:
(1)
Dalam hal yang tersebut dalam Pasal 65 dan 66, maka tentang hukuman tambahan
berlaku ketentuan yang berikut di bawah ini:
* Hukuman-hukuman mencabut hak yang
dijadikan satu huk-uman, lamanya sekurang-kurangnya dua tahun, selama-lamanya
lima tahun lebih dari pada hukuman-hukuman pokok yang telah dijatauhkan, atau
kalau sekiranya tidak ada hukuman pokok lain dari Benda yang dijatuhkan,
dijadikan satu hukuman sekurang-kurangnya dua tahun selama-lamanya lima tahun.
* Hukuman-hukuman mencabut hak yang
berbagai-bagai jenis, dijatuhkan masing-masing bagi tiap-tiap kejahatan dengan
tidak dikurangi;
* Hukuman-hukuman merampas beberapa
barang-barang yang tertentu, begitu juga hukuman kurungan bila barang itu tidak
diserahkan, dijatuhkan masing-masing bagi tiap-tiap kejahatan dengan tidak
dikurangi.
(2)
Jumlah hukuman kurungan pengganti lamanya tidak boleh lebih dari delapan bulan.
Adapun
bunyi Pasal 69 KUHP yang berbunyi sebagai berikut :
1. Perbandingan
beratnya hukuman pokok yang tidak sejenis, ditentukan oleh susunan dalam Pasal
10.
2. Dalam
hal hakim boleh memilih antara beberapa hukuman pokok maka pada perbandingan
hanya hukuman yang terberat saja yang boleh dipilihnya.
3. Perbandingan
beratnya hukuman pokok yang tidak sejenis, ditentukan oleh maksimumnya.
4. Perbandingan
lamanya hukuman pokok yang tidak sejenis, begitupun hukuman pokok yang sejenis
ditentukan oleh maksimumnya.
Adapun
yang diatur di dalam Pasal 70 KUHP yang berbunyi sebagai berikut:
1. Jika
secara yang dimaksudkan dalam Pasal 65 dan 66 ada gabungan antara pelanggaran
dengan kejahatan, atau antara pelanggaran dengan pelanggaran maka dijatuhkan
hukuman bagi tiap-tiap pelanggaran itu dengan tidak dikurangi.
2. Untuk
pelanggaran, maka jumlah hukuman kurungan, termasuk juga hukuman kurungan
pengganti, tidak boleh lebih dari satu tahun empat bulan hukuman kurungan
pengganti, tidak boleh lebih dari delapan bulan.
Adapun
yang diatur di dalam Pasal 70 bis yang berbunyi sebagai berikut:
"Tentang
melakukan Pasal 65, 66, dan 70 KUHP maka kejahatan yang diterangkan dalam Pawl
302, ayat Pertama, 352, 364, 373, 379 dan 482 dianggap sebagai pelanggaran,
tetapi jika dijatuhkan hukuman penjara jumlah hukuman ini bagi
kejahatan-kejahatan itu tidak boleh lebih dari pada delapan bulan".
Adapun
yang diatur di dalam Pasal 71 KUHP yang berbunyi sebagai berikut :
"Jika
seseorang, sesudah dijatuhkan hukuman, disalahkan pule berbuat kejahatan atau
pelanggaran yang dilakukan sebelum is dihukum itu maka hukuman yang dahulu itu
turut dihitung dengan menggunakan aturan dalam bab ini, kalau perkara-perkara
itu diadili serentak"
Dengan
demikian jelas bahwa yang menjadi dasar hukum dari gabungan tindak pidana baik
itu gabungan dalam satu perbuatan, gabungan dalam beberapa perbuatan maupun
perbuatan berlanjut adalah Pasal 63 sampai Pasal 70 KUHP sebagai mane yang
telah dirumuskan diatas.
D.
Macam-macam Gabungan
Hukuman
1. Gabungan
anggapan (concurcus idealis)
Gabungan
jarimah itu karena hanya bersifat anggapan, sedang pelakunya hanya berbuat satu
jarimah. Contoh: Seorang memukul petugas, ia diaggap melakukan jarimah
ganda, walaupun pelakunya menganggap melakukan jarimah tunggal, hal ini
dikarenakan yang dipukul adalah petugas sehingga oleh hukum dianggap berbuat
jarimah ganda yaitu memukul orang dan melawan petugas.
2. Gabungan
nyata (concurcus realis)
Yaitu
seorang melakukan perbuatan jarimah ganda secara jelas, baik berkenaan dengan
jelas atau berbeda. Contoh: Sulaiman lakukan pemerkosaan terhadap
habibah sebelulm dijatuhi hukuman sulaiman melakukan pembunuhan terhadap ali
sobri (contoh jarimah ganda berbeda). Adapun jarimah sejenis adalah sulaiman
melakukan pembunuhan terhadap Syaikhun Adim sebelum dihukum dia melakukan
pembunuhan lagi terhadap Azmi.
Gabungan
memiliki beberapa bentuk, yaitu:
1.
Gabungan dalam satu
perbuatan (Eendaadse Samenloop/Concursus Idealis)
Eendaadse
Samenloop terjadi apabila seseorang melakukan
satu perbuatan, tetapi dengan satu perbuatan itu ia melanggar beberapa
peraturan pidana yang berarti ia telah melakukan beberapa tindak pidana. Hal
ini diatur dalam pasal 63 KUHP yang bunyinya sebagai berikut:
Jika
suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang dikenakan
hanya salah satu di antara aturan-aturan itu, jika berbeda-beda yang dikenakan
yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat.
Jika
suatu perbuatan, yang masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula
dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang dikenakan.
Di
antara para sarjana terdapat perbedaan pendapat mengenai apa yang dimaksud
dengan satu tindakan. Sebelum tahun 1932, Hoge Raad barpendirian yang ternyata
dalam putusannya, bahwa yang dimaksud dengan satu tindakan dalam pasal 63 ayat
(1) KUHP[2]
adalah tindakan nyata atau tindakan materiil.
Taverne
bertolak pangkal dari pandangan hukum pidana bahwa tindakan itu terdiri dari
dua/lebih tindakan yang terdiri sendiri yang mempunyai sifat yang berbeda yang
tak ada kaitannya satu sama lain dapat dibayangkan keterpisahan masing-masing.
Akibat dari pendirian Hoge Raad ini, makna dari pasal 63 ayat (1) menjadi
sempit. Hanya dalam hal-hal terbatas masih apat dibayangkan kemanfaatan dari
ketentuan pasal tersebut.
Pendirian
Hoge Raad bersandar kepada sifat atau ciri yang terdapat pada tindakan
tersebut, namun belum secara tegas dapat diketahui apa yang dimaksud dengan
satu tindakan dan beberapa perbuatan. Maka dapat disimpulkan bahwa dalam
prakterknya Hoge Raad menyelesaikan perkara secara kasuistis.
Modderman
mengatakan bahwa dilihat dari sudut badaniah tindakan itu hanyalah satu saja
akan tetapi dari sudut rohani ia merupakan pluralitas (ganda). Sedangkan Pompe
mengutarakan bahwa apabila seseorang melakukan satu tindakan pada suatu tempat
dan saat, namun harus dipandang merupakan beberapa tindakan apabila tindakan
itu mempunyai lebih dari satu tujuan atau cukupan.
Ketentuan
dalam pasal 63 ayat (2)[3] sesuai
dengan asas lex spesialis derogat lex general, yang artinya ketentuan khusus
mengenyampingkan ketentuan yang umum. Yang dimaksud dengan ketentuan pidana
khusus adalah jika pada tindak pidana khusus itu termuat atau tercakup semua
unsur-unsur yang ada pada tindak pidana umum, akan tetapi padanya masih ada
unsur lainnya atau suatu kekhususan. Pemidanaan dalam hal concursus idealis
menggunakan stelsel absorpsi murni yaitu dengan salah satu pidana yang
terberat.
2. Gabungan
dalam beberapa perbuatan (Meerdaadse Samenloop/concursus realis)
Meerdaadse
Samenloop terjadi apabila seseorang melakukan
beberapa perbuatan, dan tiap-tiap perbuatan tindak pidana sendiri-sendiri dan
terhadap perbuatan-perbuatan tadi diadili sekaligus. Hal ini diatur dalam pasal
65, 66, 70 dan 70 bis KUHP. Menurut ketentuan yang termuat dalam KUHP, concursus
realis dibedakan antara jenis tindak pidana yang dilakukan. Tindak pidana
kejahatan termuat dalam pasal 65 dan 66 KUHP. Sedangkan tindak pidana
pelanggaran termuat dalam pasal 70 .
Pasal
65 KUHP[4] mengatur
gabungan dalam beberapa perbuatan yang diancam dengan pidana pokok sejenis dan
sistem pemidanaan menggunakan sistem absorpsi diperberat. Pasal 66 KUHP
mengatur gabungan dalam beberapa perbuatan yang diancam dengan pidana pokok
yang tidak sejenis dan sistem pemidanaanya juga menggunakan absorpsi
diperberat.
Perbedaan
antara pasal 65 dan 66 KUHP terletak pada pidana pokok yang diancamkan terhadap
kejahatan-kejahatan yang timbul karena perbuatan-perbuatannya itu yaitu apakah
pidana pokok yang diancamkannya itu sejenis atau tidak. Sedangkan pasal 70 KUHP
mengatur apabila seseorang melakukan beberapa pelanggaran atau apabila
seseorang melakukan beberapa perbuatan yang merupakan kejahatan dan
pelanggaran.
Jika
pasal 65 dan 66 menyebutkan tentang gabungan kejahatan dengan kejahatan, pasal
70 memberi ketentuan tentang gabungan kejahatan dengan pelanggaran atau
pelanggaran dengan pelanggaran. Dalam hal ini maka kejahatannya dijatuhkan
hukumannya sendiri, sedangkan bagi masing-masing pelanggarannya pun dikenakan
hukuman sendiri-sendiri dengan pengertian bahwa jumlah semuanya dari hukuman
kurungan yang dijatuhkan bagi pelanggaran-pelanggaran itu tidak boleh lebih
dari satu tahun empat bulan dan mengenai hukuman kurungan pengganti denda tidak
lebih dari delapan bulan. Pasal 70 bis menentukan kejahatan-kajahatan ringan
dianggap sebagai pelanggaran. Bagi masing-masing kejahatan ringan tersebut
harus dijatuhkan hukuman sendiri-sendiri dengan ketentuan bahwa jika dijatuhkan
hukuman penjara maka jumlah semua hukuman tidak boleh lebih dari delapan bulan.
3. Perbuatan
berlanjut (Voorgezette Handeling)[5]
Apabila
seseorang melakukan beberapa perbuatan dan beberapa perbuatan itu merupakan
tindak pidana sendriri. Tetapi di antara perbuatan itu ada yang hubungan
sedemikian eratnya satu sama lain sehingga beberapa perbuatan itu harus
dianggap sebagai satu peruatan lanjutan. Hal ini diatur dalam pasal 64 KUHP dan
pemidanaannya menggunakan sistem absorpsi.
Apa
yang dimaksud dengan perbuatan berlanjut? Terdapat beberapa pendapat mengenai
perbuatan berlanjut tersebut. Ada sarjana yang memberikan pengertian bahwa
perbuatan berlanjut adalah apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan yang
masing-masing merupakan delik, tetapi beberapa perbuatan yang masing-masing
delik itu seolah-olah digabungkan menjadi satu delik.
Sedangkan
Simons mengatakan bahwa KUHP yang berlaku sekarang tidak mengenal vorgezette
handeling sebagaimana diatur dalam pasal 64 KUHP yang merupakan bentuk
gabungan dalam concursus realis. Hanya tentang pemidanaan pasal 64 KUHP
menyimpang dari ketentuan pasal 65 KUHP dan 66 KUHP. Menurut pasal 65 KUHP dan
66 KUHP yang dijatuhkan adalah satu pidana yang terberat ditambah dengan
sepetiganya. Sedangkan menurut pasal 64 KUHP yang dijatuhkan hanya satu pidana
yang diperberat. Oleh karena itu, Simons menganggap pasal 64 KUHP sebagai
pengecualian terhadap concursus realis/ meerdaadse samenloop.
Adapun
ciri-ciri dari perbuatan berlanjut adalah:
a. Tindakan-tindakan
yang terjadi adalah sebagai perwujudan dari satu kehendak jahat;
b. Delik-delik
yang terjadi itu sejenis; dan
c. Tenggang
waktu antara terjdinya tindakan-tindakan tersebut tidak terlampau lama.
Persoalan
mengenai sejauh mana cakupan dari satu kehendak jahat tersebut erat hubungannya
dengan delik dolus/ culpa dan delik materil/ formil. Untuk delik
dolus dalam hubungannya dengan delik materiil/ formal tidak ada persoalan
mengenai cakupan dari satu kehendak jahat tersebut.
Pertimbangan
fuqaha tentang eksistensi gabungan hukuman yang berdasarkan atas dua teori :
1. Teori
saling memasuki atau melengkapi
Dalam
teori ini yang dimaksudkan oleh menulis, bahwa pelaku jarimah dikenakan suatu
hukuman, walaupun melakukan tindakan kejahatan ganda, karena perbuatan satu
dengan yang lainnya dianggap saling melengkapi atau saling memasuki. Teori ini
ada dua pertimbangan.
a. Bila
pelaku hanya melakukan tindakan kejahatan sejenis sebelum diputuskan oleh
hakim, maka hukumannya dapat dijatuhkan satu macam saja, jika satu hukuman
dianggap cukup. Akan tetapi jika ia belum insaf atau jera dan mengulangi lagi,
maka ia dapat dikenakan hukuman lagi.
Contoh:
Hamim mencuri sebelum mencuri ia dikenakan hukuman dan ia mencuri lagi.
b. Bila
jarimah yang dilakukan oleh seorang secara berulang-ulang dan terdiri dari
bermacam-macam jarimah, maka pelakupun bisa dikenakan satu hukuman, dengan
syarat bahwa penjatuhan hukuman itu melindungi kepentingan bersama dan untuk
mewujudkan tujuan yang sama.
Contoh:
Ali sobri memakan daging babi, kemudian meminum khomer serta makan bangkai.
2. Teori
penyerapan
Yang
dimaksud dari teori ini adalah penjatuhan hukuman dengan menghilangkan hukuman
yang lain karena telah diserap oleh hukuman yang lebih berat.
Contoh
:
Syaikhon
adim dijatuhkan hukuman mati yang lain diaggap tidak, karena telah diserap oleh
hukuman mati.
Teori
penyerapan ini dipegang oleh abu hanifah, imam malik, dan imam ahmad. Sedangkan
imam syafi`k menolak, beliau perpendapat bahwa semua hukuman harus dijatuhkan
satu persatu adapun taktik pelaksanaannya ialah mendahulukan hak adami daripada
hak Allah.
Contoh
:
·
Hak adami seperti diyat
(jarimah yang dilakukan tanpa disengaja seperti peluru nyasar atau semi sengaja
melempar orang dengan batu kemudian dia mati)
·
Hak Allah seperti
(mencuri, berzina, membunuh), yang sifatnya sengaja.
Sekalipun
dalam islam sendiri mengakui adanya jarimah qisas, diat, tetapi tidak selalu
yang dibayangkan. Islam justru dalam menerapkan hukuman sangat memperhatikan
kepentingan individu dan masyarakat. Ditegakkannya hukuman dalam islam pada
prinsipnya ialah demi kemaslahatan manusia.
E.
Perbedaan Teori Gabungan Hukuman
antara Hukum Pidana, Hukum Pidana Indonesia, dan Hukum Pidana Islam
Dalam
hukum positif terdapat tiga teori mengenai gabungan jarimah,
yaitu:
1. Teori
berganda. (cumulatie)
Menurut
teori ini pelaku mendapat semua hukuman yang ditetapkan untuk tiap-tiap jarimah
yang dilakukannya. Kelemahan teori ini terletak pada banyaknya hukuman yang
dijatuhkan. Hukuman penjara misalnya adalah hukuman sementara, tetapi apabila
digabung-gabungkan maka akan berubah menjadi hukuman seumur hidup.
2. Teori
penyerapan. (absorptie)
Menurut
teori ini hukuman yang lebih berat dapat menyerap (menghapuskan) hukuman yang
lebih ringan. Kelemahan teori ini adalah kurangnya keseimbangan antara hukuman
yang dijatuhkan dengan banyaknya jarimah yang dilakukan, sehingga terkesan
hukuman demikian ringan.
3. Teori
campuran.
Teori
merupakan campuran antara berganda dan penyerapan. Teori ini dimaksudkan untuk
melemahkan teori yang ada dalam kedua teori tersebut. Menurut teori campuran
hukuman-hukuman biasa digabungkan, asal hasil gabungan tidak melebihi batas
tertenu, sehingga dengan demikian akan hilanglah kesan berlebihan dalam
penjatuhan hukuman.
Dalam
hukum pidana Indonesia, ketentuan mengenai gabungan tercantum dalam pasal 63
sampai dengan 71 KUHP pidana. Dari pasal tersebut dapat diketaui bahwa dalam hukum
pidana Indonesia ada beberapa teori yang dianut berkaitan dengan gabungan
hukuman ini. Teori-teori tersebut adalah sebagai berikut.
1) Teori
penyerapan biasa
Menurut
teori ini hanya satu pidana yang diterapkan pada pasal 63 KUHP, yaitu yang paling
berat hukuman pokoknya, apabila suatu perbuatan pidana diancam dengan beberapa
aturan pidana. Contohnya: orang membunuh dengan menembak dibelakang
kaca, jadi tindakkanya adalah membunuh (pasal 339) dan merusak barang (pasal
406) maka yang diterapkan adalah pasal 339.
2) Teori penyerapan keras
Menurut
teori ini dalam hal gabungan perbuatan yang nyata yang diancam dengan hukuman
pokok adalah yang sejenis, hanya satu hukuman saja yang dijatuhkan dan hukuman
tersebut bisa diberatkan dengan sepertiga dari maksimum hukuman yang
seberat-bratnya.
3) Teori
berganda yang dikurangi
Teori
ini hampir sama dengan teori yang bersumber dari pasal 65 dan 66 KUHP. Menurut
teori ini, yang tercantum dalam pasal 65 ayat (2), semua hukuman dapat
dijatuhkan, tetapi jumlah keseluruhannya tidak melebihi hukuman yang paling
berat, ditambah dengan sepertiganya.
4) Teori
berganda biasa
Menurut
teori ini, semua hukuman dijatuhkan tanpa dikurangi. Ini di anut oleh pasal 70
ayat (1) yang berbunyi: “ Jika ada gabungan secara yang termaksud dalam
pasal 65 dan 66 antara pelanggaran dengan kejahatan, atau antara pelanggaran
maka dijatuhkan hukuman bagi tiap-tiap pelanggaran itu dengan tidak dikurangi”.
Dalam
hukum pidana Islam, teori tentang bergandanya hukuman sudah dikenal di kalangan
fuqaha, tetapi teori tersebut dibatasi pula dengan dua teori yang lain,
yaitu teori saling melengkapi (At-Tadakhul) dan teori penyerapan (Al-Jabbu).
a.
Teori saling melengkapi
( At-Tadakhul)
Menurut
teori ini, ketika terjadi gabungan jarimah, maka hukuman-hukumannya saling
melengkapi, sehingga oleh karenanya itu semua perbuatan tersebut dijatuhi satu
hukuman, seperti kalau ia memperkuat perbuatan. Teori ini didasarkan atas dua
pertimbangan, yaitu:
Pertama
Meskipun perbuatan jarimah berganda, sedang semuanya adalah satu macam, seperti
pencurian yang berulang kali atau fitnahan yang berulang kali, maka sudah
sepantasnya kalau hanya dikenakan satu macam hukuman, selama belum ada
keputusan hakim. Beberapa perbuatan dianggap satu macam selama objeknya adalah
satu, meskipun berbeda-beda unsurnya serta hukumannya, seperti pencurian biasa
dan gangguam keamanan (Hirabah). Alasan penjatuhan satu hukuman saja
adalah bahwa pada dasarnya suatu hukuman dijatuhkan untuk maksud memberikan
pengajaran (ta’dib) dan pencegahan terhadap orang lain (zajru),
dan kedua tujuan ini dapat dicapai dengan satu hukuman selama cukup membawa
hasil. Namun, kalau diperkirakan pembuat akan kembali melakukan
perbuatan-perbuatannya, maka kemungkinan ini semata-mata tidak cukup, selama
belum jadi kenyataan bahwa hukuman tersebut tidak cukup menahannya. Baru
setelah mengulangi perbuatannya sesudah mendapat hukuman, maka ia dijatuhi
hukuman lagi, karena hukuman yang pertama ternyata tidak berpengaruh.
Kedua
Meskipun perbuatan-perbuatan yang dilakukan berganda
dan berbeda-beda macamnya, namun hukuman-hukumannya bisa saling melengkapinya
dan cukup untuk satu hukuman yang dijatuhkan untuk melindungi kepentingan yang
sama. Seseorang misalnya makan bangkai, darah dan daging babi, maka atas ketiga
perbuatan ini dijatuhi satu hukuman, karena hukuman-hukuman tersebut dijatuhkan
untuk mencapai satu tujuan, yaitu melindungi kesehatan perseorangan dan
masyarakat.
b. Teori
penyerapan (Al-Jabbu)
Yaitu
menjatuhkan suatu hukuman, dimana hukuman-hukuman yang lain tidak dapat
dijatuhkan. Hukuman tersebut dalam hal ini tidak lain adalah hukuman mati,
dimana pelaksanaannya dengan sendirinya menyerap hukuman-hukuman lain. Teori
ini dikemukakan oleh beberapa ulama diantaranya Imam Malik, Abu Hanifah, dan
Ahmad.
Menurut
Imam Malik, apabila hukuman had berkumpul dengan hukuman mati karena
Tuhan, seperti hukuman mati Karena jarimah murtad, atau berkumpul dengan
hukuman mati karena qisash bagi seseorang lain, maka hukuman had tersebut tidaj
dapat dijalankan karena hukuman mati tersebut menyerapnya, kecuali hukuman
memfitnah saja (qadzaf) yang tetap dilaksanakan, dengan cara di-jilid
dahulu delapan puluh kali, kemudian dihukum mati.
Menurut
Imam Ahmad, apabila terjadi dua jarimah hudud, seperti mencuri dan zina
bagi orang-orang muhshan, atau minum dan mengganggu keamanan (hirabah)
dengan membunuh, maka hanya hukuman mati saja yang dijalankan, sedang
hukuman-hukuman lain gugur. Kalau hukuman hudud berkumpul dengan hak-hak adami,
dimana salah satunya diancam hukuman mati, maka hak-hak adami tersebut harus
dilaksanakan terlebih dahulu, dan hak-hak Allah diserap oleh hukuman hukuman
mati.
Bagi
Imam Abu Hanifah, pada dasarnya apabila terdapat gabungan hak mannusia
dengan hak-hak Allah, maka hak manusialah yang harus didahulukan, karena ia
pada umumnya ingin lekas mendapatkan haknya. Kalau sesudah pelaksanaan hak
tersebut hak Allah tidak bisa dijalankan lagi, maka hak tersebut hapus dengan
sendirinya.
Bagi
Imam Syafi’i tidak ada teori penyerapan (al-jabbu), melainkan
semua hukuman harus dijatuhkan selama tidak saling melengkapi (tadakhul).
Caranya ialah dengan mendahulukan hukuman bagi hak-hak adami yang bukan hukuman
mati, kemudian hukuman bagi hak Allah yang bukan hukuman mati kemudian lagi
hukuman mati.
c. Teori
Percampuran (al Mukhtalath)
Teori
percampuran ini dimaksudkan untuk mengatasi kelemahan-kelemahan dari dua metode
sebelumnya yaitu teori al jabbu (penyerapan) dan teori al tadaahul
(saling memasuki), yaitu dengan cara menggabungkan keduanya dan mencari jalan
tengahnya.
Sebagaimana
yang telah disebutkan di awal bahwa hukum Islam dalam menggunakan kedua teori
tersebut tidak secara mutlak. Dalam teori percampuran ini langkah yang dilakukan
yakni dengan membatasi kemutlakan dari dua teori sebelumnya. Penggabungan
hukuman boleh dilakukan namun tidak boleh melampaui batas tertentu. Tujuan
daripada pemberian batas akhir ini bagi hukuman ialah untuk mencegah hukuman
yang terlalu berlebihan.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dalam
islam mempunyai berbagai syari’at yang tidak dapat dipisahkan dari diri seorang
muslim, dimanapun ia berada. Salah satunya gabungan hukuman yang artinya
serangkai saksi yang diterapkan kepada seseorang apabila ia benar-benar telah
melakukan tidakan pidana secara berulang-ulang diantara perbuatan perbuatannya
tersebut antara yang satu dengan yang lain belum ada keputusan.
Dalam
hukum pidana, hukum pidana indonesia, dan hukum pidana islam memiliki teori
yang berbeda-beda. Seperti dalam teori hukum pidana terdapat tiga teori
mengenai gabungan hukuman, yaitu teori berganda, penyerapan, dan campuran.
Dalam hukum pidana Indonesia terdapat empat teori mengenai gabungan hukuman
yaitu, teori penyerapan keras, penyerapan biasa, berganda yang dikurangi,
berganda biasa. Sedangkan dalam hukum pidana Islam, teori gabungan hukuman ada
tiga, yaitu teori saling melengkapi, teori penyerapan dan pencampuran.
Dalam
gabungan hukuman terdapat perbedaan pendapat antara para fuqaha diantaranya
pendapat imam maliki, hanafi, dan ahmad menyatakan apabila gabungan hukuman itu
berupa hukuman mati, maka dengan sendirinya jarimah-jarimah yang telah di
lakukannya terhadapus, berbeda dengan pendapat imam syafi`i yang mengemukakan
semua jarimah di hukum satu-persatu, dan cara pelaksanaan hukumannya
didahulukan hak adami kemudian baru hak Allah.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad,
Hanafi. 1968. Asas-Asas Hukum Pidana Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Djazuli.
2007. Fiqih Jarimah. Ed. 2. Cet III. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Kanter,
E.Y. dan S.R. 2002. Sianturi. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan
Penerapannya. Jakarta: Storia Grafika.
Mahrus
Munajad, 2004. Dekontruksi Hukum Pidana Islam. Djogjakarta: Logung
Pustaka.
Muslich,
Ahmad Wardi. 2004. Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam. Cet I. Jakarta:
Sinar Grafik.
Moeljatno.
1987. Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia, Jakarta: Bina Aksara.
Rahmat,
Hakim. 2000. Hukum Pidana Islam. Bandung: Pusataka Setia.
R.
Soesilo. 1987. Kitab Undang – Undang Hukum Pidana serta Komentar –
Komentarnja Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor: Politeia.
[1] Moeljatno. Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia, Jakarta : Bina Aksara,
1987, hlm. 50
[2] R. Soesilo, Kitab Undang – Undang Hukum Pidana serta Komentar –
Komentarnja Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor, Politeia, 1973, hlm. 68-69
[4] Ibid, hlm. 71
[5] Kanter, E.Y. dan S.R. Sianturi. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia
dan Penerapannya. Jakarta: Storia
Grafika, 2002.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar