BAB I
PENDAHULUAN
a. Latar Belakang
Hukum Pidana Internasional telah diakui merupakan
disiplin baru dalam ilmu hukum sejak berakhirnya Perang Dunia Kedua (1945). Langkah-langkah
untuk menemukan disiplin hokum baru dimulai dengan beberapa hambatan diantaranya,
memepersoalkan pertanggungjawaban pidana kaisar Wilhelm II dari Rusia (setelah
berakhirnya perang dunia kesatu, tahun 1919) karena kebijakannya selaku kepala
negara yang telah diduga kuat melakukan kejahatan genosida. Upaya
ini mengalami kegagalan karena belum adanya kesepakatan di kalangan ahli hukum
Internasional mengenai masalah ini.
Hambatan utama lain adalah prinsip kedaulatan negara
yang menarik perhatian masyarakat Internasional. namun sejak berakhirnya perang
dunia ke-II, posisi hukum pidana internasional diakui semakin penting dan
relevan.
b. Deskripsi singkat.
Hukum Pidana Internasional dapat didefinisikan
sebagai, cabang ilmu hukum yang menguraikan dan menjelaskan persentuhan aspek
hukum nasional dan hukum internasional. akan tetapi tidak jelas “karakter” dan
“jenis kelamin” sesungguhnya dari hukum pidana internasional. jalinan aspek
hukum nasional dan hukum internasional merupakan keunikan hukum pidana
internasional.
Hukum Pidana Internasional ”International
Criminal Law” adalah cabang ilmu hukum baru yang memiliki aspek hukum
(pidana) nasional, dan aspek hukum internasional, kedua aspek hukum tersebut
bersifat komplementer satu sama lain.[1]
Hukum Pidana Internasional telah membuka wawasan
baru dalam perkembangan penerapan hukum pidana nasional, tidak ada ancaman
kejahatan transnasional dan kejahatan nasional yang tidak memiliki solusi dan
antisipasi. selain itu hukum pidana internasional telah membuka pandangan baru
mengenai pertanggungjawaban pidana seorang individu dalam hal kejahatan, dan
pandangan baru dari hukum pidana internasional adalah berkembangnya pendapat.
Hukum Pidana Internasional sebagai cabang disiplin
ilmu baru dalam ilmu hukum, merupakan disiplin ilmu yang paling lengkap karena
memiliki modal awal (modalities) yaitu: asas-asas hukum maupun kaidah
kaidahnya, termasuk ketentuan mengenai prosedur beracara dimuka pengadilan
pidana internasional, dan lembaga yang melaksanakan proses peradilan terhadap
pelanggaran HAM berat[2].
keseluruhan asas hukum, kaidah dan prosedur penegakan hukum tersebut telah
dimuat didalam statuta ICC (International Criminal Court) statuta Roma
tahun 1998.
Prospek disiplin hukum pidana internasional
berkaitan secara langsung dengan prinsip kedaulatan negara dan asas-asas
pemberlakuan hukum pidana nasional yang telah diakui secara universal. Didalam
sistem peraturan per Undang-undangan Indonesia,Undang-undang Dasar merupakan
hukum dasar (grondwet) yang menjadi sumber hukum seluruh peraturan per
Undang-undangan yang berlaku di Indonesia.
Undang-undang Dasar tidak memuat ketentuan lengkap
mengenai bagaimana hubungan internasional dan suatu perjanjian internasional
harus dilaksanakan, melainkan hanya memberikan landasan konstitusional presiden
selaku kepala negara atas persetujuan DPR RI, untuk membuat perjanjian
internasional. ketentuan pasal 9 Undang-undang hukum pidana (KUHP,1946) di
Indonesia, merupakan satu-satunya ketentuan hukum pidana Indonesia yang secara
eksplisit mengatur bagaimana hukum internasional seharusnya diberlakukan
kedalam hukum nasional yang menegaskan bahwa, penerapan pasal 2-5,7 dan 8
dibatasi oleh pengecualian-pengecualian yang diakui dalam hukum internasional.
Perkembangan saat ini merujuk pada praktik, hukum
pidana internasional memiliki arti yang luas. Otto Triffterer, mengemukakan
bahwa: ”Hukum Pidana Internasional termasuk sejumlah ketentuan internasional
yang menetapkan suatu perbuatan merupakan kejahatan menurut hukum internasional[3]”
.hukum pidana internasional dalam sudut pandang ini merupakan bagian-bagian
dari hukum bangsa-bangsa.
Terkait
dengan definisi Otto tersebut diatas maka dapat dikatakan bahwa, keberadaan
hukum pidana internasional, lebih tepat dikatakan, ”The bridging science” yang menghubungkan dua kepentingan, yaitu:
kepentingan (hukum) internasional (International
Interest) dan kepentingan (hukum) nasional (National Interest) dalam menghadapi satu objek yang sama yaitu
ancaman dari kejahatan transnasional dan kejahatan internasional, kedua
kepentingan tersebut merupakan “Pasangan Harmonis” dalam praktik penegakan
hukum pidana internasional.
BAB II
A.HUKUM
PIDANA INTERNASIONAL SEBAGAI CABANG ILMU HUKUM BARU
1. Beberapa pandangan tentang kejahatan
internasional dan eksistensi hukum pidana
internasional.
Hukum Pidana Internasional merupakan perpaduan antar dua
disiplin hukum yang berbeda yaitu aspek pidana dari hukum internasional dan
aspek internasional dalam hukum pidana. Hukum Pidana Internasional adalah hukum
yang menentukan hukum pidana nasional yang akan diterapkan terhadap
kejahatan-kejahatan yang nyata-nyata telah dilakukan bilamana terdapat
unsur-unsur internasional di dalamnya. International Criminal Law : “the law
which determines what national criminal law will apply to offence actually
committed if they contain an international element.”
Schwarzenberger
menyatakan bahwa hukum pidana internasional telah memasuki tahap pembentukan. Ia
menguraikan 6 (enam) makna dari hukum pidana internasional[4], yaitu:
1.Hukum pidana
internasional dalam arti lingkup territorial hukum pidana nasional,
2.Hukum pidana
internasional dalam arti aspek internasional dari hukum pidana nasional,
3.Hukum pidana
internasional dalam arti aspek internasionalisasi dari hukum pidana nasional,
4.Hukum pidan
internasional dalam arti hukum pidana nasional yang berlaku umum dalam
bangsa-bangsa beradab,
5.Hukum pidan
internasional dalam arti kerja sama internasional,
6.Hukum pidan internasional
dalam arti material.
Keenam arti hukum pidana internasional tersebut sangat
berkaitan.
Pengertian yang pertama dari Hukum Pidana Internasional
adalah Hukum Pidana Internasional yang memiliki lingkup kejahatan-kejahatan
yang melanggar kepentingan masyarakat internasional, akan tetapi kewenangan
melaksanakan penangkapan, penahanan dan peradilan atas pelaku-pelakunya
diserahkan sepenuhnya kepada yurisdiksi kriminal negara yang berkepentingan
dalam batas-batas teritorial negara tersebut.
Pengertian yang kedua
dari Hukum Pidana Internasional ini adalah menyangkut kejadian-kejadian dimana
suatu negara yang terikat pada hukum internasional berkewajiban memperhatikan
sanksi-sanksi atas tindakan perorangan sebagaimana ditetapkan di dalam hukum pidana
nasionalnya.
Pengertian yang ketiga dari Hukum Pidana Internasional
ini adalah ketentuan-ketentuan di dalam
hukum internasional yang memberikan
kewenangan atas negara nasional untuk mengambil tindakan atas tindak pidana
tertentu dalam batas yurisdiksi kriminalnya dan memberikan kewenangan pula
kepada negara nasional untuk menerapkan yurisdiksi kriminal di luar batas
teritorialnya terhadap tindak pidana tertentu, sesuai dengan
ketentuan-ketentuan di dalam hukum internasional.
Pengertian yang keempat
dari hukum pidana internasional adalah ketentuan-ketentuan di dalam hukum
pidana nasional yang dianggap sesuai atau sejalan dengan tuntutan kepentingan
masyarakat internasional.
Pengertian hukum pidana internasional yang kelima adalah
semua aktivitas atau kegiatan penegakan hukum pidana nasional yang memerlukan
kerjasama antar negara, baik bersifat bilateral
maupun multilateral.
Pengertian hukum pidana
internasional yang keenam adalah objek pembahasan dari hukum pidana
internasional yang telah ditetapkan oleh PBB sebagai kejahatan internasional
dan merupakan pelanggaran atas de iure gentium, seperti : pripasi,
genosida, agresi dan kejahatan perang.
Sarjana Hukum Internasional, Roxburgh dan Sir Arnold
McNair, mengakui pemisahan antara “international
delinquencies” dan “international
crimes”. pengertian istilah yang pertama diakui dalam hukum kebiasaan
internasional, akan tetapi pengertian istilah kedua tidak sejalan dengan
struktur hukum internasional yang menegaskan bahwa; ”Delinkuensi internasional bukan suatu kejahatan karena Negara yang
dekinkuen, sebagai negara yang berdaulat, tidak dapat dihukum, sekalipun dapat dilakukan
pemaksaan untuk menuntut ganti rugi atas kesalahan yang telah dilakukan oleh
negara. Lebih jauh, karakteristik Hukum Bangsa-Bangsa sebagai hukum antar,
bukan diatasnya; negara-negara berdaulat, telah mengesampingkan kemungkinan
menghukum negar karena suatu delinkuensi internasional[5]”.
Pernyataan
tersebut diperkuat oleh Sir Arnold McNair pada tahun 1944 dalam sebuah memo
yang ditujukan kepada komisi kejahatan perang PBB menegaskan sebagai berikut: “State cannot be the subject of criminal
lialibility[6].”yang
kemudian didukung oleh Sir John Fishcer Williams yang mengatakan bahwa selama
Negara adalah subjek hukum internasional, negara tidak dapat menjadi subjek
dari penghukuman atas tindakan yang salah.Dalam kenyataan kehidupan masyarakat
internasional, pendapat tersebut telah melakhirkan persepsi bahwa, hukuman atau
upaya untuk menghukum suatu negara itu sendiri merupakan kejahatan terhadap
ketertiban (hukum) internasional. Pendapat ini dikuatkan lagi oleh Lauterpacht.
Mueller dan Wise justru sebaliknya menyatakan bahwa tidak ada
alas an yang kuat mempersoalkan mengapa hukum internasional harus atau tidak
harus mengakui keberadaan kejahatan internasional. Bahkan menurut Mueller dan
Wise, jika sekalipun berdasarkan hukum kebiasaan internasional atau perjanjian
internasional, negara mengabaikan pengakuan atas tindakan warga negaranya atau
tindakan seorang warga negara lain, sebagai kejahatan internasional, maka cara
tersebut justru bertentangan dengan kedaulatannya (negara yang bersangkutan)
karena keberadaan kejahatan internasional tersebut justru (masih) berada di
dalam batas-batas berlakunya hukum internasional itu sendiri.
Pandangan kedua ahli
hukum pidana internasional tersebut menegaskan bahwa, karakter kolektif dan
subjek hukum internasional tidak mutlak mencerminkan pernyataan setuju atau
tidaknya atau menentang kmungkinan keberadaan hukum pidana internasional.
Hugo
Grotius mengemukakan dua pendekatan dalam menanggapi tanggung jawab negara
dalam masalah ekstradisi, yaitu:
1.Patentia, yaitu kegagalan suatu negara untuk mencegah tindakan yang
merugikan negara lain,
2.Receptus, yaitu negara yang (wajib) melindungi pelaku kejahatan.
Dalam dua keadaan tersebut maka negara
harus dapat mempertanggung jawabkan tindakannya[7].
Adapun cara untuk menentukan keberadaan
subjek dan objak hukum pidana internasional menurut Mueller dan Wise dapat
dilakukan dengan menelusuri dua peristiwa penting yaitu, pertama, melalui pandangan bahwa hukum pidana internasional sebagai bagian dari hukum kebiasaan internasional,
dan kedua, pandangan hukum pidana
internasional sebagai bagian dari perjanjian internasional.
Perbedaan pendapat antara Cassese dan
Bassiouni dalam menanggapi hukum
kebiasaan internasional sebagai tolak ukur untuk menetapkan suatu kejahatan internasional.
No
|
Cassese
|
Bassiouni
|
1
|
Pelakunya harus
selalu dalam kapasitas pemegang jabatan negara dan melakukan perbuatan
tertentu yang dpandang sebagai pelanggaran menurut hukum kebiasaan
internasional.
|
Memandang masalah kejahatan dari sisi legalistik positivistik,
karena telah diatur dalam suatu perjanjian internasional.
|
2
|
Mengutamakan hukum kebiasaan internasional dan
kepentimgan universal.
|
Mengutamakan doktrin dan perjanjian internasional.
|
3
|
Tidak menyinnggung pemberlakuan asa universal
terhadap kejahatan internasional sekalipun tidak secara eksplisit.
|
Tidak mengaitkan kejahatan internasional dan
pemberlakuan asa universal.
|
2.
Perkembangan (pengakuan) Hukum Pidana Iinternasional pasca Perang Dunia Kedua
Perkembangan
hukum pidana internasional merupakan kelanjutan perkembangan hukum pidana dalam
praktik hubungan internasional. Pada tahun 1800 dan awal tahun 1900-an focus
perkembangan hukum pidana internasional adalah mengenai konflik yurisdiksi
criminal, dan masalah perluasan yuridiksi criminal atau “extraterritorial jurisdiction”.
Setelah
berakhirnya Perang Dunia Ke-1, focus perhatian beralih pada masalh tanggung
jawab kepala negara (kaisar) dalam persoalan kejahatan perang.Yang melakhirkan
doktrin-doktrin mengenai “kejahatan terhadap hukum humaniter” (Crimes against the law of humanity)[8].
dan masalah ini baru dapat diselesaikan setelah berakhirnya Perang Dunia
kedua.
Sejak
dilaksanakan peradilan Nuremberg(1946), terbuka seluas-luasnya, bahwa setiap
individu dapat dipertanggungjawabkan secara pidana dalam konteks penegakan
hukum internasional.
Prinsip
Nurenberg yang sangat terkenal berasal dari pendapat Hakim Mahkamah Nurenberg
dari Amerika Serikat yang mengatakan bahwa:
“Kejahatan terhadap kemanusiaan dilakukan oleh manusia,
bukan oleh suatu pribadi yang abstrak, dan hanya dengan menghukum
individu-individu yang melakukan kejahatan tersebut, ketentuan hukum
internasional dapat diterapkan.[9]”
Dalam
kaitan ini semakin tampak jelas bahwa, hukum internasional memerlukan sanksi
pidana yang efektif di dalam hubungan antar negara dan hubungan antar negara
dan subjek hukum individu.
3.
Basis Hukum Pidana Internasional
Inti
dari hukum pidana internasional adalah
hukum pidana nasional yang mengatur kerja sama internasional dalam hal
pencegahan dan pemberantasan kejahatan transnasional dan kejahatan
internasional.
Basis
Hukum Pidana Internasional adalah hukum (pidana) nasional, bukan hukum
internasional.
Pernyataan
tersebut sejalan dengan pendapat Otto Triffterer.
Sekalipun
basis hukum pidana internasional adalah hukum pidana nasional akan tetapi
keterkaitan antara perkembangan hukum pidana nasional dan hukum internasional
tidak dapat diabaikan sama sekali. Hal ini terbukti dari 3 (tiga) peristiwa
penting yang dapat dijadikan rujukan dalam membahas asal usul dan perkembangan
hukum pidana internasional.
Pertama, ia
berasal dari sejarah hukum internasional itu sendiri dengan ditetapkannya,
pembajakan di laut (piracy) sebagai
kejahatan yang mengancam umat manusia (hostis
humanis generis) karena menghancurkan arus lalu lintas perdagangan bahan sandang dan pangan ke
berbagai penjuru dunia.
Kedua, berasal
dari praktik yang berkembang dalam implementasi hukum internasional.
Ketiga,
berasal dari perkembangan Hak Asasi Manusia. Merujuk kepada tiga peristiwa
penting diatas yang merupakan sumber hukum pidana internasional, semakin jelas
bagaimana kontribusi hukum pidana internasional terhadap perkembangan
masyarakat internasional di masa kini dan masa mendatang.
Peristilahan Hukum Pidana Internasional:
·
Hukum Pidana Transnasional.
(Transnational Criminal Law).
·
Hukum Pidana Supranasional.
(Supranational Criminal Law).
Pada dasarnya,
istilah-istilah itu memang mengandung perbedaan makna, meskipun perbedaannya
tidaklah begitu prinsip, sebab antara satu dengan yang lainnya masih ada
kaitannya sehingga sukar untuk dibedakan.
Istilah-istilah itu sendiri sudah menunjukkan adanya sekumpulan
kaidah-kaidah dan asas-asas hukum pidana yang mengatur tentang kejahatan
internasional atau lintas negara. Istilah ini menunjukkan, bahwa kaidah-kaidah
dan asas-asas hukum benar-benar internasional, jadi bukan nasional atau
domestik.
4.
Kegunaan dan relevansi Hukum Pidana Internasional dalam perkembangan hukum
pidana di Indonesia.
Peranan hukum pidana internasional dalam
melakukan kajian teoritik dan praktis pemberantasan kejahatan transnasional dan
kejahatan internasional. Kemampuan hukum pidana internasional secara implisit
telah teruji di dalam berbagai perundingan pembahasan perjanjian bilateral
maupun multilateral antara pemerintah
Indonesia dan pemerintah negara lain.
Selain kegunaan tersebut, pengajaran
hukum pidana internasional meghasilkan sumber daya manusia ahli yang tanggap
terhadap berbagai masalah nasional dan internasional.
5.
Kedudukan Hukum Pidana dalam Ilmu
Hukum
Hukum Pidana Internasional memiliki
karakteristik tertentu dan kahs berbeda dengan disiplin hukum lainnya,
khususnya hukum pidana nasional ataupun dengan hukum internasional.
Karakteristik hukum pidana internasional yang khas adalah kedudukan substansi
yang menjadi obyek pembahasannya memiliki ”kepribadian ganda” (double personality) dan aplikasi
penegakan hukum pidana internasional yang unik di antara penegakan hukum pidana
nasional dan hukum internasional di dalam masyarakat internasional modern
dewasa ini.
B. KARAKTERISTIK DAN
ASAS-ASAS HUKUM PIDANA INTERNASIONAL.
1. Karakteristik Hukum Pidana Internasional
Ada beberapa
karakteristik hukum pidana internasional yang perlu diketahui yaitu:
·
Hukum
pidana internasional terdiri dari kumpulan berbagai disiplin ilmu, seperti
hukum internasional, hukum pidana, perbandingan hukum pidana, dan kriminologi.
·
Hukum
pidana internasional sebagai cabang ilmu hukum baru yang sangat lengkap
memiliki asas-asas hukum, objek dan metoda keilmuan tersendiri serta memiliki
lembaga tersendiri (ICC) untuk menerapkan asas-asas hukum dan kaidah-kaidah
hukum pidana internasional ke dalam praktik hubungan dua negara atau lebih.
·
Hukum
pidana internasional tidak hanya memiliki fungsi deklaratif melainkan sekaligus
memiliki fungsi preventif dan fungsi represif di dalam penerapan yurisdiksi
kriminal terhadap kejahatan yang melampaui batas territorial.
·
Penegakan
hukum pidana internasional lebih diutamakan daripada penegakan hukum nasional dan
hukum nasional dengan segala “kekhususannya[10]”.
·
Implemasi
hukum pidana internasional dalam praktik, selalu berada di tengah-tengah
tarikan atau konflik kepentingan nasional dan kepentingan internasional,
sehingga tingkat kesulitan dan hambatan yang dihadapi lebih besar di bandingkan
dengan implementasi hukum nasional dan hukum internasional.
2. Asas-asas Hukum Pidana Internasional
Pengertian
Asas Hukum (AH) mencerminkan “landasan berpijak” dalam penerapan hukum,
sesangkan pengertian Kaidah Hukum (KH) mencerminkan “rambu-rambu” yang harus
ditaati di dalam menggunakan “landasan berpijak” tersebut. AH bukan suatu hal
yang bersifat fisik dan artificial, dapat diraba, melainkan hanyalah dapat
dirasakan. AH akan merupakan suatu hal yang nyata ketika KH diimplementasikan
ke dalam ruang-ruang penahanan, penyelidikan, penuntutan dan ruang siding
pengadilan.
Penerapan
KH tanpa AH, mengakibatkan penegakan hukum tanpa landasan moralitas yang kokoh
dan jauh dari tujuan mencapai kepastian hukum dan keadilan, apalagi mencapai
tujuan kemanfaatan.
Asas-asas
hukum pidana internasional berpedoman kepada asas-asas hukum pidana nasional
dan beberapa asas-asas hukum internasional.
Perkebangan asas-asas hukum pidana
internasional sangat dipengaruhi oleh perkembangan kebiasaan hukum
internasional dan yurisprudensi hukum internasional.
Macam-macam asas hukum
pidana internasional:
·
Asas
Komplementaritas
·
Asas
Legalitas
·
Asas
Pertanggungjawaban Individu
·
Asas
Pemberlakuan hukum pidana
·
Asas
Au dedere au punier
·
Asas Au dedere au judicare
3. Asas Komplementaris
Asas
Komplementaris merupakan asas hukum pidana internasional tersendiri yang lakhir dari perkembangan pembahasan draf
Starura ICC ketika mendiskusikan wewenang Mahkamah Permanen Pidana
Internasional (Permanent International Criminal Court) atas pelanggaran
HAM berat dalam hubungannya dengan pengadilan nasional.
Konsef
Komplementaris lakhir sejak Komisi Hukum Internasional menyusun draf Statuta
ICC tahun 1954. Perdebatan hangat tentang konsef tersebut muncul ketika dibahas
mekanisme implementaris Statuta ICC dalam konteks penerapan ke dalam sistem
hukum nasional.
Bassiouni
menerangkan bahwa ada 3 (tiga) makna tentang asas komplementaris, yaitu:
·
Asas
ini berkaitan dengan yurisdiksi, tetapi konsep tersebut bukan norma
semata-mata.
·
Asas
Komplementaris bermuatam substantif.
·
Asas
ini bersifat “civitas maxima”
Ketiga
makna dari asas komplementaris inilah yang menyebabkan Mahkamah Pidana
Internasional (ICC) menjadi suatu sistem peradilan pidana yang komprehensif
dalam menuntut dan mengadili kejahatan unternasional.
Kebijakan
pembentukan Mahkamah Pidana Internasional memasukan asas komplementaris
dipengaruhi 4 (empat) factor, yaitu:
1.
Kepentingan
yang sama (mutual interest),
2.
Kedaulatan
Negara (National sovereignty),
3.
Nilai-nilai
humanisme dan humanistis (humanistic-humanitarian values),
4.
Keperluan
adanya Dunia yang tertib (Needs of world order).
Asas
Komplementaris secara eksplisit dicantumkan dalam alinea Kesepuluh Mukadimah
Statuta ICC.
4.
Asas
pertanggungjawaban pidana individu
(Individul
Criminal Responsibility)
Asas pertanggungjawaban pidana individu
dari sudut hukum pidana internasional berbeda dengan sudut pandang hukum pidana
yang telah berlaku universal.
Masalah
pertanggungjawaban individu tidak dapat dilepaskan dari pertanggungjawaban
Negara.
Lakhirnya
asas pertanggungjawaban pidana individu dalam hukum pidana internasional
merupakan kekhususan dan kekecualian dari prinsip hukum internasional publik,
yang tidak mengakui individu sebagai subjek hukum internasional.
Berdasarkan
kesepakatan mengenai “tanggung jawab individu sebagai representasi Negara”
dalam versi Statuta ICC maka jaminan mengatasi konflik kedua instrument hukum
internasional tersebut, telah diakomodasi di dalam Pasal 98 Statuta ICC [11].
5.
Asas
Legalitas
Asas legalitas yang akan di bahas adalah
asas legalitas yang telah diakui secara universal dalam system hukum pidana
nasional yang dianut banyak Negara.
Ketidaksamaan
penafsiran atas asas legalitas yang diakui universal di dalam praktik hukum
pidana internasional diketahui dari beberapa hal sebagai berikut:
·
Bahwa
asas noella poena sine lege yang terdapat pada sistem hukum nasional tidk
dapat diterapkan dalam praktik hukum kebiasaan internasional.
·
Asas
legalitas di dalam hukum pidana internasional bersifat “sui generis” karena harus memelihara
keseimbangan, mempertahankan keadilan dan “fairness” bagi tertuduh dan
mempertahankan tertib dunia.
·
Penerapan
asas legalitas dalam praktik hukum pidana internasional menggunakan standar
minimum yang dikenal sebagai “the rule of Ejusdem generis”.
·
Penerapan
asas non-retroaktif dalam praktik hukum pidana internasional dapat dikecualikan
(disampingi).
6.
Asas
pemberlakuan hukum pidana
Pemberlakuan
hukum pidana dalam hubungan internasional sangat berhubungan dengan seberapa
jauh kewenangan Negara dapat menuntut dan mengadili kejahatn (pelakunya) baik
di dalam maupun di luar batas territorial Negara yang bersangkutan.
Dalam praktik hukum
internasional asas-asas berlakunya hukum sering di terjemahkan dengan istilah
yurisdiksi[12].
karena pengertian istilah yurisdiksi itu sendiri adalah menunjuk secara
langsung pada kewenangan suatu Negara untuk menuntut atau mengadili suatu
kejahatan tertentu atau tidak menuntut atau mengadilinya.
7.
Asas
Teritorial
Asas territorial merupakan
asas tertua dalam pemberlakuan Undang-undang pidana.
Asas ini menemukan
asal-usulnya pada teorikedaulatan Negara (J.Bodin), dan dikembangkan oleh C.
Beccaria.
Cassae, mengemukakan empat
keuntungan menggunakan asas territorial (yurisdiksi teritorial) sebagai
berikut:
1. Asas “lex locus deliciti” merupakan asas yang tepat untuk memudahkan
mengumpulkan bukti-bukti berkaitan dengan terjadinya tindak pidana,
2. Asas “lex locus deliciti” adalah
jaminan tempat dimana tertuduh dapat menggunakan haknya sesuai dengan hukum
yang berlaku di Negara setempat,
3. Terhadap kejahatan internasional, asas
“lex locus delicity” sangat berguna bagi masyarakat suatu Negara di mana
kejahatan tersebut dilakukan dan telah menjadi korban kejahatan tersebit.
Selain itu hakim, penuntut dan penasehat hukum adalah berasal dari Negara di
mana kejahatan itu terjadi sehingga dijamin objekvitas dari kebenaran suatu
perkara.
4. Penggunaan asas “lex locus deliciti”
telah mengukuhkan kewenangan administrasi peradilan di Negara tempat terjadinya
kejahatan dan Negara meneguhkan kedaulatannya terhadap setiap ancaman
perdamaian dan keamanan dalam batas territorial Negara yang bersangkutan, dan
diharapkan dapat mencegah kejahatan dimasa yang akan datang.
Di
dalam Sistem Hukum Pidana Nasional, asas penting pidana, dan terdapat di dalam
KUHP hampir di seluruh Negara.
8.
Asas
Nasionalitas
Asas Nasionalitas merupakan asas kedua
berlakunya hukum pidana nasional yang penting setelah asas territorial. Hal ini
masuk akal karena tidak mungkin ada suatu wilayah (teritorial) Negara tanpa
penduduk.
Di dalam hukum nasional wajib menuntut dan
menghukum orang asing yang melakukan kejahatan terhadap warga Negaranya di
manapun kejahatan tersebut di lakukan. Prinsip ini di kenal dengan asas
nasional.
Asas
nasional atau asas personal telah diatur di dalam kitab UU Hukum Pidana di
seluruh Negara.
Penerapan
asas nasional tidak mungkin dilaksanakan sepenuhnya jika seseorang warga Negara
setelah melakukan suatu tindakan pidana di Negara tertentu, berada di Negara
lain dan berganti kewarganegaraan. Dalam hal tersebut, penerapan asas nasional
tidak serta-merta berbenturan atau
bertentangan dengan prinsip kedaulatan (hukum) negara dan prinsip
non-intervensi.
Merujuk pada praktik penerapan asas
nasional dan penerapan asas territorial tampaknya saat ini akan semakin banyak
kasus-kasus kejahatan transnasional yang melibatkan dua Negara atau lebih atau
melibatkan dua kewarganegaraan atau lebih.
9.
Asas
Universal
Pengakuan asas universal
di dalam khasanah hukum internasional didasarkan pada dua pertimbangan, yaitu:
·
Bahwa
terjadinya peristiwa-peristiwa kejahatan yang memerlukan perhatian dan tindakan
yang bersifat universal (pendekatan normatif).
·
Asas-asas
yurisdiksi lain tidak mampu menuntut dan mengadili pelaku kejahatan dimaksud
yang melarikan diri ke Negara lain atau memang mendapat perlindungan dari
Negara lain (pendekatan pragmatis).
Pemberlakuan asas universal dalam
kejahatan-kejahatan yang menjadi “core crimes” Statuta ICC tidak serta
merta menganut asas universal.
Asas universal
dalam srti ada kewajiban untuk menuntut atau mengekstradisi, baru muncul satu
tahun kemudian di dalam empat konvensi jenewa tahun 1949. Di dalam konvensi ini
telah ada kewajiban semua Negara untuk memidana pelanggaran terhadap perdamaian
yang menuntut pertanggungjawaban individual.
Penerapan asas
universal dalam praktik peradilan atas kasus-kasus kejahatan jus cogens yang
melibatkan kepala negara sering mendapat reaksi politik yang keras dan
perdebatan yang hangat di antara para ahli hukum internasional dan hukum pidana
nasional.
Merujuk kepada
perkembangan pemberlakuan yurisdiksi kriminal, semakin terbukti bahwa model
pendakatan konvensional sejak dibentuknya Code
de Panale (1881) Prancis, dan Wetboek van Strafecht (1886) Belanda,
telah dipandang kurang memadai dalam praktik penegakan hukum pidana
internasional[13].
C.
MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL
(INTERNATIONAL
CRIMINAL COURT)
1.
Perkembangan pembahasan draft teks Statuta Mahkamah
Pidana Internasional
Draft
teks statute ICC yang dibahas dalam Konferensi Diplomatik di Roma, adalah yang
diusulkan oleh Komisi Hukum Internasional (International
Law Commission) dan pembahasan telah melalui 7 (tujuh) Resolusi Sidang
Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa / Resolusi SMU berikut:
1. Resolusi SMU PBB 47/33 tanggal 25
November 1992,
2. Resolusi SMU PBB 48/31 tngga 9 Desember
1993,
3. Resolusi SMU PBB 49/53 tnggal 9 Desember
1994,
4. Resolusi SMU PBB 50/46 tanggal 11
Desember 1995,
5. Resolusi SMU PBB 51/207 tanggal 17
Desember 1996,
6. Resolusi SMU PBB 52/160 tanggal 15
Desember 1997[14].
Konferensi
Diplomatik untuk melaksanakan pembahasan terakhir dan untuk mengadopsi Statuta
ICC berlangsung sejak tanggal 15 Juni 1998 sampai tanggal 17 Juli 1998.
Pembukaan
Konferensi di pimpin oleh Kofi Annan, Sekretaris Jendral PBB selaku Presiden
Tetap Konperensi, Giovanni Conso dari Italia. Di dalam sambutan pembukaan
konferensi diplomatik di Roma, Kofi Annan menguraikan tentang peristiwa yang
paling kejam sebagai contoh dari kejahatan yang sering disebut dengan kebijakan
Negara secara sistematis. Kelanjutan dari hal tersebut, telah dibentuk Mahkamah
Adhoc untuk menuntut dan mengadili peristiwa genosida dan kejahatan manusia.
2.
Statuta
Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court)
Mukadimah
dalam statuta memiliki arti penting baik secara hukum maupun secara politis.
Dari sisi relevansi hukum, keberadaan mukadimah tersebut ditunjukan untuk
membantu penafsiran dan penerapan statuta, dan secara khusus mengenai wewenang
ICC berdasarkan pasal 35 yang berhubungan dengan isu mengenai “admissibility” atau penerimaan yurisdiksi
ICC ke dalam sistem peradilan nasional.
Merujuk
kepada Konvensi Wina tentang Perjanjian Internasional (1961) Pasal 31
menegaskan bahwa, mukadimah dalam suatu perjanjian merupakan bagian dari
substansi yang merupakan rujukan untuk menafsirkan suatu perjanjian[15].
Secara
politis, keberadaan suatu mukadimah dalam Statuta Mahkamah Pidana
Internasional, karena berkaitan dengan kredibilitas negara peratifikasi untuk
menjadi pihak dalam statuta sangat tergantung dari apresiasi dan komitmen
negara-nagara tersebut terhadap prinsip-prinsip yang dicantumkan di dalam
Mahkamah Statuta.
3.
Makna tiap alinea dalam Mukadimah Statuta Mahkamah
Pidana Internasional.
Alinea kesatu:
“Conscious that all people are united by
common bonds, their culture pieced together in a shared heritage, and concerned
that this delicate mosaic may be shattered at any time”.
Alinea
kesatu di atas mencerminkan bahwa pembentukan Mahkamah Pidana Internasional
adalah dalam konteks global. Pembentukan
Mahkamah bukanlah semata-mata penegakan keadilan internasional melainkan
mencerminkan bahwa prinsip dasar dan kepentingan yang meatarbelakangi
pembentukan mahkamah ini tidaklah dibentuk dalam keadaan kekosongan hukum akan
tetapi memiliki gaungnya di dalam hubungan internasional.
Alinea kedua: “Mindful that during
this century millions of children, women and men have been victims of
unimaginable atrocities that deeply shock the conscience of humanity”.
Alinea
kedua, mengingatkan masyarakat interbasinal terhadap korban-korban yang
diakibatkan oleh peperangan atau kekejaman kekuasaan negara yang seharusnya
memperolah perindungan.
Pembentukan Mahkamah bukan hanya bertujuan
menuntut dan menghukum pelaku kajahatan saja melainkan juga merupakan bentuk
perindungan hukum terhadap para korban kejahatan tersebut.
Alinea ketiga: “Recognizing that such
grave crimes threaten the peace, security and well-being of the world”.
Alinea
ketiga mecerminkan pengakuan landasan
teoritik justifikasi keberadaan hukum pidana internasional dengan menunjukkan
apa yang harus diproteksi, yaitu melindungi niai-nilai kemanusiaan universal
terhadap kejahatan serius yang mengancam.
Alinea keempat; “Affirming that the
most serious crimes of concern to the international community as awhole must
not go unpunished and their effective prosecution must be ensure by taking
measures at the national level and by enchancing international cooperation”.
Alinea
keempat, menegaskan tujuan praktis dari hukum pidana internasional, yaitu “The most serious crimes” alinea ini
juga mencerminkan terhadap perbedaan antara “the
serious crime “ yang menjadi perhatian masyarakat internasional, dan “ordinary crimes” yang tidak menjadi
perhatian masyarakat internasional.
Alinea kelima: “Determined to put an
end to impunity for the perpetrators of these crimes and thus to contribute to
the prevention if such crimes”.
Alinea
ini mengandung prinsip “non-impunity”.alinae
ini juga menuntut agar penegakan hukum pidana internasional (langsung atau
tidak langsung) harus dapat berlaku efektif.agar dapat mencegah terjadinya
kejahatan serius di masa yang akan datang.
Alinea keenama: “Recalling that it is
the duty of every State to exercise its criminal jurisdiction over thos
responsible for international crimes”.
Aliea
ini meminta semua negara untuk melaksanakan kewajibannya menuntut dan menghukum
mereka yang bertanggung jawab atas kejahatan serius yang menjadi yurisdiksi
ICC.
Alinea ketujuh: “Reaffirming the
purpose and principles of the Charter of the United Nations, and in particular
that all State shall refrain from the threat or use of force against the
territorial integrity or political independence of any state, or in any other
manner inconsistens with the purposes of the United Nations”.
Alinea
ketujuh ini, mengungatkan agar tidak melakukan tindakan-tindakan yang dapat
mengancam terhadap keamanan dan perdamaian internasional.
Alinea kedelapan: “Emphasizing in this
connection that noting in this Statute shall be taken as authorizing any State
Party to intervence in armed conflict or in the internal affairs of any State”.
Di
dalam alinea ini, mengingatkan semua negara agar di dalam menjalankan
yurisdiksinya tidak melakukan interversi dengan alasan melaksanakan Statuta
ICC.
Alinea kesembilan: “Determinated to these
ends and for the sake of present and future generations, to establish an
independent permanent International Criminal Court in relationship with the
United Nations system, with jurisdictions over the mostserious crimes of
concern to the international community as a whole”.
Alinea
kesembilan mengingatkan bahwa hanya kejahatan-kejahatan serius yang memperoleh
perhatian masyarakat internasional yang menjadi yurisdiksi ICC.
Alinea kesepuluh: “Emphasizing that the International Criminal
Court established under this Statute shall be complementary to national
criminal jurisdiction”.
Alinea
kesepuluh merupakan kualitas karakter yang bersifat esensial dan sistem
yurisdiksi ICC.
Alinea kesebelas: Menekankan
bahwa pembentukan ICC merupakan apresiasi tentang pelaksanaan keadilan
internasional.
4.
Lingkup Yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional
Lingkup
yurisdiksi Mahkamah ini meliputi 4 (empat) jenis kejahatan yang termasuk
kejahatan serius dan menjadi perhatian masyarakat internasional karena
merupakan ancaman terhadap perdamaian dan keamanan internasional.
Adapun
4(empat) kejahatan itu adalah:
·
Genosida
·
Kejahatan
kemanusiaan
·
Kejahatan
perang
·
Agresi
Selain
kejahatan yang memiliki karakter di atas, dalam kenyataan praktik, masyarakat internasional
juga masih diresahkan oleh kejahatan serius lainnya seperti, kejahatan yang
telah di atur dalam perjanjian internasional (treaty-based crimes)[16],
terorisme, peredaran gelap narkotika, dan penggunaan tentara bayaran (mercenarisem).
Merujuk
kepada Statuta Mahkamah Pidana Internasional (statuta Roma) Pasal 5, maka
yurisdiksi Mahkamah telah disepakati hamya 4 (empat) jenis kejahatan
internasional, yaitu: genosida, kejahatan kemanusiaan, kejahatan perang dan
agresi. Dimasa yang akan datang masih terbuka kemungkinan memasukan jenis
kejahatan internasional lainnya (yang belum menjadi yurisdiksi Mahkamah)
menjadi yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional. Jenis kejahatan dimaksud
antara lain, terorisme, perdagangan orang, kejahatan lingkungan, korupsi.
BAB III
PEMBAHASAN DAN APLIKASI
1.
Aspek
Hukum Piana Nasional terhadap Hukum Internasional
Aspek
hukum pidana nasional terhadap hukum internasional merujuk kepada
konvensi-konvensi internasional tentang kejahatan, aspek hukum internasional
terhadap hukum pidana nasional merujuk kepada prosedur penerapan konvensi
internasional ke dalam hukum nasional atau penegakan hukum pidana
internasional.
Keterkaitan
dua aspek tersebut di atas dalam pembahasan objek yang sama menyebabkan
Bassiouni mengatakan bahwa, hukum pidana internasional sebagai, “ a complex
legal discipline” yang terdiri dari beberapa komponen yang terikat oleh
hubungan fungsional masing-masing disiplin tersebut di dalam mencapai satu
nilai bersama. Selanjutnya disebutkan oleh Bassiouni, disiplin hukum tersebut
adalah, hukum pidana internasional[17].
Aspek
pidana dari hukum internasional bersumber pada kebiasaan internasional dan
prinsip-prinsip umum hukum internasional sebagaimana dimuat dalam Pasal 38 International
Court of Justice (ICJ) termasuk kejahatan internasional, unsur-unsur
pertanggungjawaban pidana internasional, aspek prosedur penegakan hukum
langsung (direct enforcement system), dan aspek prosedur penegakan hukum
tidak langsung (indirect enforcement system).
Aspek
internasional dari hukum pidana nasional meliputi:
·
Norma-norma
yurisdiksi ekstrateritorial,
·
Konflik yurisdiksi kriminal baik antar negara
maupun antara negara dan badan-badan internasional di bawah naungan PBB dan,
·
Penegakan
hukum tidak langsung.
Bassiouni
mennyimpulkan karena begitu kompleknya karakter hukum pidana internasional maka
disiplin hukum ini pada intinya merupakan “cross fertilization” aspek
pidana dari hukum internasional dan aspek internasional dari hukum pidana
nasional.
Remmelink
mengemukakan pendapat yang berbeda dengan Bassiouni dengan mengatakan sebagai
berikut:
“Karena
dalam hal seperti ini (pemberlakuan hukum pidana atau yurisdiksi berurusan
dengan pemberlakuan hukum pada persoalan yang mengandung unsur asing, bagian
hukum ini kita dapat kualifikasikan sebagai hukum pidana internasional,
sekalipun tidak berurusan dengan penjatuhan pidana dan secara substansial
sebenarnya bagian dari hukum nasional, Hanya objek kajiannya yang bersifat
internasional”.
Sealain
hukum pidana yang membahas tentang yuridiksi Negara lain (unsur asing) juga ada
bagian hukum pidan yang membahas tentang implementasi sanksi norma-norma
perjanjian internasional yang dikatakan Remmelink sebagai hukum supranasional
atau bagian hukum pidana internasional substantif.
Bassiouni
berpendapat bahwa, aspek substantif dari hukum pidana internasional adalah
mengkaji konvensi-konvensi internasional tentang kejahatan transnasional dan
internasional.
2.
Hukum
Pidana Internasional dan Hukum Hak Asasi Manusia.
Hukum
pidana internasional sebagai cabang ilmu baru dalam sejarah perkembangannya
tidak terlepas dan bahkan berkaitan erat dengan sejarah perkembangan Hak Asasi
Manusia (HAM). Keterkaitan erat tersebut dapat digambarkan sebagai dua saudara
kembar, memiliki ketergantungan yang kuat (interdependency), sinergis, dan
berkesinambungan.
Penegakan
Hak Asasi Manusia dalam internasional tidak seefektif yang diperkirakan banyak
pihak sekalipun sudah ada Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Dewan Keamanan serta
Komisi Hak Asasi Manusia di dalamnya. Tidak efektifnya perangkat organisasi di
bawah naungan PBB menunjukkan kelemahan mendasar dalam mewujdukan kehendak
masyarakat internasional untuk memperjuangkan perlindungan HAM. Bahkan
sebaliknya, telah terjadi, di mana negara-negara miskin dan berkembang menjadi
ajang objek eksperimen untuk suatu proses peradilan HAM yang dituntut oleh
negara maju.
Hukum pidana internasional dalam konteks
hukum tentang Hak Asasi Manusia memiliki peranan strategis dan signifikan untuk
melakukan analisis hukum terhadap suatu pelanggaran hak asasi manusia tertentu
dan kejahatan transnasional dan internasional tertentu yang bersifat universal
atau melibatkan kepentingan nasional maupun kepentingan internasional, Hukum
pidana internasional dalam konteks praktis, tidak akan sepenuhnya menggunakan
pisau analisa hukum, melainkan juga menggabungkan dengan pisau analisa
diplomatik (politik) karena hukum pidana internasional dalam teoritik dan
praktik berfungsi sebagai ilmu terapan yang dapat membedah kompleksitas masalah
yang menyentuh kepentingan dua Negara atau
lebih baik kepentingan hukum, politik, ekonomi, sosial dan budaya.
3.
Fungsi Hukum Pidana Internasional
dihubungkan dengan Kejahatan
Transnasional Khususnya terhadap Tindak Pidana Korupsi.
Sebagaimana apa yang
telah diterangkan di atas maka eksistensi Hukum Pidana Internasional hakikatnya
teramat penting khususnya apabila
dihubungkan dengan kejahatan transnasional.
Apabila dijabarkan
lebih lanjut maka pada
pokoknya sebenarnya ada 4 (empat) fungsi dari Hukum Pidana Internasional.
Adapun keempat fungsi
tersebut adalah sebagai berikut:
1. Agar hukum nasional di
masing-masing Negara dipandang dari sudut
hukum pidana internasional sama derajatnya. Dari aspek
ini, maka menempatkan negara-negara di dunia ini
tanpa memandang besar atau kecil, kuat atau lemah,
maju atau tidaknya, memiliki kedudukan yang sama
antara satu dengan lainnya. Oleh karena itu, maka hukum masing-masing diantara negara-negara mempunyai kedudukan yang
sama.
2. Agar tidak ada intervensi hukum antara negara
satu dengan yang lain. Tegasnya, agar negara besar tidak melakukan intervensi
hukum terhadap negara
yang lebih kecil. Apabila dijabarkan lebih jauh maka fungsi kedua dari Hukum Pidana Internasional ini merupakan
penjabaran dari asas non intervensi. Menurut asas ini,
maka suatu negara tidak boleh campur tangan atas
masalah dalam negeri Negara lain, kecuali negara
itu sendiri menyetujui secara tegas. Jika suatu
negara, misalnya dengan menggunakan kekuatan bersenjata berusaha memadamkan ataupun mendukung pemberontakan bersenjata yang terjadi di dalam suatu negara lain tanpa persetujuan negara yang bersangkutan, tindakan ini jelas melanggar asas non intervensi.
negara, misalnya dengan menggunakan kekuatan bersenjata berusaha memadamkan ataupun mendukung pemberontakan bersenjata yang terjadi di dalam suatu negara lain tanpa persetujuan negara yang bersangkutan, tindakan ini jelas melanggar asas non intervensi.
3. Hukum Pidana
Internasional juga mempunyai fungsi sebagai
“jembatan” atau “jalan keluar” bagi negara-negara yang
berkonflik untuk menjadikan Mahkamah Internasional
sebagai jalan keluar. Pada dasarnya, Mahkamah
Internasional merupakan sebuah lembaga peradilan
yang bersifat independen dan tidak memihak yang memutus serta mengadili suatu perkara yang dipersengketakan oleh
negara-negara yang berkonflik. Oleh karena itu maka
Hukum Pidana Internasional inilah yang merupakan
“jembatan” atau “jalan keluar” bagi negara-negara
yang berkonflik.
4. Hukum Pidana
Internasional juga berfungsi untuk dijadikan landasan
agar penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional
relative menjadi lebih baik. Dari perspektif Hukum
Pidana Internasional maka asas ini lazim disebut
sebagai Asas “penghormatan dan perlindungan
terhadap hak-hak asasi manusia”. Asas ini membebani kewajiban kepada negara-negara bahkan kepada siapapun untuk menghormati dan melindungi hak asasi manusia dalam situasi dan kondisi apapun juga. Berdasarkan asas ini, tindakan apapun yang dilakukan oleh Keempat fungsi Hukum Pidana Internasional tersebut merupakan fungsi yang bersifat elementer dan krusial.
terhadap hak-hak asasi manusia”. Asas ini membebani kewajiban kepada negara-negara bahkan kepada siapapun untuk menghormati dan melindungi hak asasi manusia dalam situasi dan kondisi apapun juga. Berdasarkan asas ini, tindakan apapun yang dilakukan oleh Keempat fungsi Hukum Pidana Internasional tersebut merupakan fungsi yang bersifat elementer dan krusial.
Apabila dijabarkan,
maka keempat fungsi
tersebut berhubungan erat dan dapat diaplikasikan terhadap
kejahatan transnasional khususnya terhadap tindak pidan korupsi.
Tindak pidana korupsi
merupakan salah satu bagian dari hukum
pidana khusus. Apabila dijabarkan, tindak pidana korupsi
mempunyai spesifikasi tertentu yang berbeda dengan
hukum pidana umum, seperti penyimpangan hukum acara dan materi yang diatur
dimaksud menekan seminimal mungkin terjadinya kebocoran serta penyimpangan
terhadap keuangan dan perekonomian negara.
Konvensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) Anti Korupsi 2003 (United Nations
Convention Against Corruption (UNCAC) ),2003 mendiskripsikan masalah korupsi sudah merupakan ancaman serius terhadap stabilitas, keamanan
masyarakat nasional dan internasional, telah
melemahkan institusi, nilai-nilai demokrasi dan
keadilan serta membahayakan pembangunan berkelanjutan
maupun penegakan hukum.
Selain itu, dikaji dari
perspektif internasional pada dasarnya korupsi
merupakan salah satu kejahatan dalam klasifikasi White
Collar Crime dan mempunyai akibat kompleksitas
serta menjadi atensi masyarakat internasional.
Konggres Perserikatan Bangsa-Bangsa ke-8 mengenai “Prevention
of Crime and Treatment of Offenders” yang mengesahkan resolusi “Corruption in Goverment” di Havana tahun 1990 merumuskan
tentang akibat korupsi, berupa:
Korupsi dikalangan
pejabat publik (corrupt activities of public
official):
a. Dapat menghancurkan
efektivitas potensial dari semua jenis
program pemerintah (“can destroy the potential effectiveeness of
all types of govermental programmes”)
b. Dapat menghambat
pembangunan (“hinder development”)
c. Menimbulkan korban
individual kelompok masyarakat (“victimize individuals and groups”).
Membentuk Ius
Constituendum Pasca Ratifikasi Konvensi PBB Menentang Korupsi Tahun
Asumsi di atas menyebutkan tindak pidana korupsi bersifat sistemik, terorganisasi, transnasional dan multidimensional dalam arti berkorelasi dengan aspek sistem, yurisdis, sosiologis, budaya, ekonomi antar Negara dan lain sebagainya.
Asumsi di atas menyebutkan tindak pidana korupsi bersifat sistemik, terorganisasi, transnasional dan multidimensional dalam arti berkorelasi dengan aspek sistem, yurisdis, sosiologis, budaya, ekonomi antar Negara dan lain sebagainya.
Dikaji dari perspektif
yurisdis, maka tindak pidana korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa (extra ordinary
crimes) sebagaimana dikemukakan Romli
Atmasasmita, bahwa: “Dengan memperhatikan
perkembangan tindak pidana korupsi, baik
dari sisi kuantitas maupun dari sisi kualitas, dan setelah mengkajinya secara mendalam, maka tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa korupsi di Indonesia bukan merupakan kejahatan biasa (ordinary crimes) melainkan sudah merupakan kejahatan yang sangat luar biasa (extra-ordinary crimes)”.
dari sisi kuantitas maupun dari sisi kualitas, dan setelah mengkajinya secara mendalam, maka tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa korupsi di Indonesia bukan merupakan kejahatan biasa (ordinary crimes) melainkan sudah merupakan kejahatan yang sangat luar biasa (extra-ordinary crimes)”.
Selanjutnya jika dikaji
dari sisi akibat atau
dampak negatif yang sangat merusak tatanan kehidupan bangsa Indonesia sejak pemerintahan Orde Baru sampai saat ini, jelas
bahwa perbuatan korupsi merupakan perampasan hak
ekonomi dan hak sosial rakyat Indonesia. Selain itu, dari dimensi lain maka Penjelasan Umum UU Nomor 30
Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, menegaskan pula:
“Meningkatnya tindak pidana
korupsi yang tidak terkendali akan
membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan perekonomian
nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan
bernegara pada
umumnya.Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, dan karena itu semua maka tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa. Begitupun dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa. Penegakan hukum untuk memberantas tindak pidana korupsi yang dilakukan secara konvensional selama ini terbukti mengalami berbagai hambatan. Untuk itu diperlukan metode penegakan hukum secara luar biasa melalui pembentukan suatu badan khusus yang mempunyai kewenangan luas, independen serta bebas dari kekuasaan manapun dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, yang pelaksanaannya dilakukan secara optimal, intensif, efektif, profesional serta berkesinambungan.”
umumnya.Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, dan karena itu semua maka tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa. Begitupun dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa. Penegakan hukum untuk memberantas tindak pidana korupsi yang dilakukan secara konvensional selama ini terbukti mengalami berbagai hambatan. Untuk itu diperlukan metode penegakan hukum secara luar biasa melalui pembentukan suatu badan khusus yang mempunyai kewenangan luas, independen serta bebas dari kekuasaan manapun dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, yang pelaksanaannya dilakukan secara optimal, intensif, efektif, profesional serta berkesinambungan.”
Tindak pidana korupsi
merupakan extra ordinary crimes sehingga
diperlukan penanggulangan yang bersifat luar biasa (extra
ordinary enforcement) dan tindakan-tindakan yang luar biasa pula (extra ordinary
measures).
Dari dimensi ini maka
fungsi Hukum Pidana Internasional adalah
sangat penting. Sebagai kejahatan yang bersifat
transnasional maka kebijakan legislasi di Indonesia
haruslah mengacu kepada tindak pidana korupsi yang terdapat
di negara lain sepanjang hal tersebut relatif sesuai dengan kondisi sosial, budaya dan kultur orang Indonesia.
Oleh karena korupsi
kejahatan yang bersifat
transnasional maka Hukum Pidana Internasional merupakan jembatan yang mempunyai fungsi untuk adanya interaksi antara
satu Negara dengan negara lainnya. Dalam praktik
hal ini telah dilaksanakan misalnya seperti apa
yang telah dilakukan oleh Indonesia dengan menandatangani perjanjian ekstradisi dengan negara Singapura yang salah satu
kesepakatannya adalah dalam rangka memulangkan koruptor
yang bersembunyi di negara tersebut. Selain itu, dengan dilakukannya perjanjian ekstradiksi tersebut
membawa dampak terhadap fungsi Hukum Pidana Internasional
yang kedua yaitu tidak adanya intervensi hukum
antara satu negara dengan Negara lainnya. Aspek ini
disebabkan, oleh karena antara negara satu dan Negara lainnya telah melakukan perjanjian yang dilakukan secara
sukarela dan saling menguntungkan kedua belah
pihak. Negara pihak atau negara korban korupsi
dapat meminta secara baik-baik dengan melalui saluran hukum ekstradiksi kepada negara ketempatan tempat koruptor maupun
asetnya disembunyikan.
Oleh karena itu, melalui
saluran ekstradiksi ini relatif dapat
lebih memulangkan koruptor maupun asetnya kembali kepada
Negara korban. Kebalikan
dari apa yang telah diuraikan di atas maka apabila Negara korban maupun negara ketempatan tidak ada penjanjian ekstradiksi
maka para koruptor maupun aset relatif tidak dapat
dilakukan negosiasi untuk memulangkan koruptor
beserta asetnya. Atau dapat juga apabila Negara korban
maupun negara ketempatan terjadi konflik terhadap para koruptor maupun asetnya. Maka terhadap aspek ini, fungsi Hukum Pidana
Internasional sangat berperan di dalamnya.Para negara
korban melalui jalur hukum internasional dapat
meminta kepada Mahkamah Internasional untuk mengadili
negara yang bersangkutan agar dapat memberi jalan keluar baik kepada negara korban maupun kepada negara ketempatan agar
memutus secara adil perkara yang bersangkutan. Oleh
karena yang memutus adalah Mahkamah Internsional
yang bersifat independen maka diharapkan konflik yang
terjadi diharapkan selesai serta diputus berdasarkan asas keadilan yang relatif dapat diterima baik oleh negara korban maupun negara
ketempatan.
Berhubungan dengan apa
yang telah diuraikan di atas yaitu fungsi
Hukum Pidana Internasional sebagai jembatan agar hukum
nasional di masing-masing negara dipandang dari
sudut hukum pidana internasional sama derajatnya,
kemudian fungsi kedua sebagai mencegah tidak ada intervensi
hukum antara negara satu dengan yang lain (asas non-intervensi), dan fungsi ketiga yaitu Hukum Pidana Internasional juga
mempunyai fungsi sebagai “jembatan” atau “jalan
keluar” bagi negara-negara yang berkonflik untuk
menjadikan Mahkamah Internasional sebagai jalan keluar maka semua itu bermuara kepada fungsi keempat yaitu Hukum Pidana
Internasional juga berfungsi untuk dijadikan
landasan agar penegakan Hak Asasi Manusia (HAM)
Internasional relatif menjadi lebih baik. Fungsi keempat ini merupakan “kunci” bagi penegakan hukum khususnya terhadap Tindak
Pidana Korupsi. Pada asasnya,
Hak Asasi Manusia menurut Bab I Pasal I angka 1 Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia disebutkan
merupakan seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan
merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati,
dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum
dan Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Oleh karena itu maka
pada dasarnya menurut
Paul Sieghart secara global HAM terdiri dari tiga generasi,
yaitu generasi pertama (Sipil dan Politik), generasi kedua (Ekonomi, Sosial dan Budaya), generasi ketiga (Hak Kelompok) yang
kesemuanya itu sesungguhnya merupakan hak individu.
Oleh karena tindak
pidana korupsi merupakan
tindak pidana yang bersifat extra ordinary crimes sehingga diperlukan penanggulangan yang bersifat luar biasa (extra
ordinary enforcement) dan tindakan-tindakan yang luar biasa pula (extra ordinary
measures) maka Hukum
Pidana Internasional merupakan katalisator dan pengaman
yang dapat berfungsi agar penindakan dan penegakan hukum tindak pidana korupsi sesuai dengan koridor hukum dan dengan
demikian diharapkan penegakan Hak Asasi Manusia
Internasional relatif menjadi lebih baik sebagaimana
fungsi keempat dari Hukum Pidana Internasional.
BAB IV
PENUTUP
a.
Kesimpulan
Hukum internasional adalah bagian hukum yang mengatur
aktivitas entitas berskala internasional. Hukum internasional adalah hukum
bangsa-bangsa, hukum antarbangsa atau hukum antarnegara.
Sedangkan
secara ringkas, hukum pidana internasional dapat didefinbisikan sebagai berikut:
hukum pidana internasional adalah
sekumpulan kaidah-kaidah dan asas-asas hukum yang mengatur tentang kejahatan
internasional.
Ada
dua hal yang secara eksplisit dapat ditemukan dalam definisi ini.
- hukum pidana internasional itu
merupakan sekumpulan kaidah-kaidah atau asas-asas hukum.
- objek yang diaturnya adalah
tentang kejahatan satau tindak pidana internasional.
Disamping
dua hal yang eksplisit, masih ada lagi hal yang secara implisit terkandung
didalamnya yang pada umunya merupakan hal yang sudah biasa dalam suatu ilmu
hukum, tetapi tidak dimunculkan didalamnya yakni, tentang subjek-subjek hukum
dan apa tujuannya. tegasnya, siapakah yang merupakan subyek dari hukum
internasional itu dan tujuan apa yang dikehendaki atau diwujudkannya.
Definisi
yang lebih lengkap tentang hukum pidana internasional, sebagai berikut:
Hukum Pidana Internasional adalah
sekumpulan kaidah-kaidah dari asas-asas hukum yang mengatur tentang kejahatan
internasional yang dilakukan oleh subyek-subyek hukumnya, untuk mencapai suatu
tujuan tertentu[18].
Berdasarkan
definisi ini dapatlah ditarik adanya 4 unsur yang secara terpadu atau saling
kait antara satu dengan lainnya, yaitu:
- hukum pidana internasional itu
merupakan sekumpulan kaidah-kaidah dan asas-asas hukum,
- hal atau objek yang diaturnya,
yaitu kejahatan atau tindak pidana internasional,
- subjek-subjek hukumnya, yaitu,
pelaku-pelaku yang melakukan kejahatan atau tindak pidana internasional.
Tujuan
yang hendak dicapai atau diwujudkan oleh hukum pidana internasional itu
sendiri. Peranan hukum pidana internasional
dalam melakukan kajian teoritik dan praktis pemberantasan kejahatan transnasional
dan kejahatan internasional. Kemampuan hukum pidana internasional secara
implisit telah teruji di dalam berbagai perundingan pembahasan perjanjian
bilateral maupun multilateral antara
pemerintah Indonesia dan pemerintah negara lain.
Selain kegunaan tersebut, pengajaran
hukum pidana internasional meghasilkan sumber daya manusia ahli yang tanggap
terhadap berbagai masalah nasional dan internasional. Khususnya di Insdonesia
yang terkait dengan masalah pertahanan dan keamanan bangsa Indonesia serta
dapat memperkuat implementasi politik luar negri dalam bidang diplomasi.
Hukum Pidana Internasional sebagai
cabang disiplin ilmu baru dalam ilmu hukum, merupakan disiplin ilmu yang paling
lengkap karena memiliki modal awal (modalities)
yaitu: asas-asas hukum maupun kaidah kaidahnya, termasuk ketentuan mengenai
prosedur beracara dimuka pengadilan pidana internasional, dan lembaga yang
melaksanakan proses peradilan terhadap pelanggaran HAM berat. keseluruhan asas
hukum, kaidah dan prosedur penegakan hukum tersebut telah dimuat didalam
statute ICC (International Criminal Court) statuta Roma tahun 1998.
Amerika Serikat dan Negara pemegang Hak Veto lain beranggapan bahwa ICC
merupakan “ancaman” terhadap kedaulatan Negara dan dipandang bukan merupakan
sarana yang efektif untuk menciptakan keamanan dan perdamaian dunia. Hal ini
terbukti, Pemerintahan amerika Serikat telah membuat perjanjian bilateral
dengan hampir 50 (lima puluh) Negara lain, termasuk negara peratifikasi ICC,
untuk tidak menyerahkan pelaku pelanggaran Statuta ICC kepada ICC yang
berdomisili di Den Haag, Belanda.
Namun jika merujuk kepada sumber hukum
penerapan Statuta ICC sebagaimana diuraikan da atas mencerminkan bahwa hukum
pidana internasional telah diterima sebagai disiplin hukum baru yang memiliki
kegunaan teoritik dan praktis.
b.
Tindak lanjut
hukum pidana internasional adalah
sekumpulan kaidah-kaidah dan asas-asas hukum yang mengatur tentang kejahatan
internasional. yang telah diterima sebagai disiplin hukum baru yang memiliki
kegunaan teoritik dan praktis.
Selain memiliki kegunaan, pengajaran
hukum pidana internasional di berbagai fakultas hukum dan di berbagai
pendidikan khusus, seperti Sespim Polri dan Sespati, serta Lemhanas dan
pendidikan dan latihan kejaksaan, telah menghasilkan sumber daya manusia ahli
yang tanggap terhadap berbagai masalah nasional dan internasional yang terkait
dengan masalah pertahanan dan keamanan bangsa Indonesia serta dapat memperkuat
implementasi politik luar negri dalam bidang diplomasi.
DAFTAR PUSTAKA
Atmasasmita, Romli. 2010. Hukum
Pidana Internasional, Jakarta: PT Fikahati Aneska.
Atmasasmita, Romli.
2003. Pengantar Hukum Pidana Internasional, Bandung: Refika
Aditama.
Parthiana,I Wayan. 2006. Hukum Pidana Internasional, Bandung: CV
Yrama Widya.
Sosrokusumo, Sumaryo. 2007. Studi
Kasus Hukum Internasional, Jakarta: PT Tata Nusa Jakarta.
[1] Bassiouni, memberikan batas lingkup pengertian “hukum pidana
internasional”dengan membedakan antara aspek hukum intrnasional dari hukum
pidana (nasional).
[2] Istilah “pelanggaran HAM berat”
merupakan alih bahasa dari,”Gross violation of human right” Pengertian
istilah tersebut tidak sam dengan istilah, “pelanggaran HAM yang berat” karena
pengertian istilah terakhir memiliki konotasi adnya perbedaan pelanggaran HAM
yang ringan, sedangkan untuk istilah ini, tidak ada padanannya dalam kejahatan
selain dengan yng diatur dalam KUHP, yang termasuk kedalam kejahatan
konvensional.Selain itu,KUHP ditujukan kepada setia orang,sedangkan Statuta ICC
ditujukan terhadap Penyelenggara negara atau suatu Organisasi yang di sponsori
oleh suatu kekuasaan.
[3] Otto Triffterer,”Commentary on the Rome Statute of the
International Criminal Court: Observer’s Notem Article by Article;second
edition,C.H.Beck,Heart, Nomos;2008;hal 22,
[4] Mueller and Wise, op.cip,hal 4-13. Lihat Romli Asasmita, “Pengantar
Hukum Pidana Internasional”;Refika Aditama; 2003;hal 21.
[5] Mueller dan Wise, op.cip, hal 13-19
[6] Mueller dan Wise,ibid
[7] Bassiouni,op.cipt,hal 340. Pendekatan Grotius di atas melkhirkan
asas,”aud dedere au punere”(setiap negara berkewajiban untuk menerahkan pelaku
kejahatan kepada negara peminta yang telah diperiksa oleh negara yang diminta)
[8]Bassiouni, introduction
[9] Penegasan tanggung jawab idividu ini dikuatkan di dalam Statuta ICC
(1988),Pasal 25,”Individual Criminal Responsibility”;diperkuat dengan ketentuan
mengenal “Irrelevance of Official Capacity”,Pasal 27,dan ketentun
mengenai,”Responsibility of Commanders and other Supersiors “,(Pasal 28)
[10] Yang dimaksud dengan “kekhususannya”adalah, asas retroaktif,
Pembentukan Mahkamah Adhoc,pembentukan “Hybrid Court”(mixed Court
system);non-kadaluwarsa; dan non-reserved trrety “non-impunity”dari pelakunya
[11] William A.Schabas,”An Introduction to the International Criminal
Court”,CambridgeUniversity Press,2001,Page 68
[12] Marjanne Termorshuizen,”Kamus Hukum Belanda
Indonesia”,Jambatan,2002,hal189;Balck’s Law Dictionary;second pocket
ed;2001;hal383
[13] Romli Atmasasmita,”Tindak Pidana Narkotika Transnasional dalam
Sistem Hukum Pidana Indonesia”;disertasoi UGM (1996)
[14] UN Doc.Official Record,Volume II,page 3
[16] Bassiouni;”Introduction to Criminal Law”;TRANSNASIONAL
PUBLISHERS;2003 HAL 116-123
[17] www.wikipedia.com
[18] www.hukum.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar