BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kaidah Asasiyah tentang Al-Masyaqqah Tajlib at-Taisir. Mengingat hukum Islam yang belum
atau tidak dijelaskan secara langsung oleh Al-Qur’an dan Al-Hadits dan baru
bisa diketahui setelah terjadi penggalian lewat ijtihad, maka dikenallah
sebutan dalam fiqih suatu istilah hukum dzanni atau hukum ijtihad
sehingga berpengaruh pada penerapan hukumnya (تطنيق الأحكام) yang harus
disesuaikan dengan situasi dan kondisi, bahkan harus sejalan dengan tuntutan
zaman beserta kemaslahatan-kemaslahatannya yang menjadi prinsip utama
disyari’atkannya syari’ah (maqashid
al-syari’ah) dalam menyelesaikan permasalahn hukum yang dijalani oleh
mukallaf. Kesukaran dan kesulitan yang menjadi problematika dan dilema yang
terjadi pada mukallaf menuntut adanya penetapan hukum untuk mencapai
kemaslahatan dan kepastian hukum guna menjawab permasalah yang terjadi.
Dalam makalah ini akan dibahas unsur-unsur yang
terkait dalam kaidah Al-Masyaqqah Tajlib
Al-Taisir/ المَشَقَةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْر. Hal tersebutlah yang menjadikan latar belakang bagi
penulis untuk menyusun makalah ini dan sebagai tugas dari mata kuliah Qawa’id Al-Fiqhiyah
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas maka diperoleh beberapa
pertanyaan sebagai berikut :
1.
Apa yang dimaksud dengan kaidah Al-Masyaqqah
Tajlib Al-Taisir ?
2.
Apa landasan hukum dari kaidah Al-Masyaqqah
Tajlib Al-Taisir ?
3.
Bagaimana hubungan antara kaidah asasi ketiga atau kaidah Al-Masyaqqah Tajlib Al-Taisir dengan Rukhshat ?
4.
Bagaimana turunan daripada kaidah Al-Masyaqqah
Tajlib Al-Taisir ?
BAB II
PEMBAHASAN
KAIDAH KEEMPAT
التَّيْسِيْر تَجْلِبُ المَشَقَةُ
“Kesulitan Mendatangkan Kemudahan”
A.
Pengertian Kaidah
Secara
bahasa, Al-masyaqqat berarti Al-ta’b (kelelahan, kepenatan, dan
keletihan). Sedangkan menurut termonologi kata Al- taysir adalah Al-subulat
(gampang, mudah, dan ringan).[1]
Adapun
makna termonologi kaidah asasi ketiga adalah:[2]
اِنَّ اْلَاحْكَامَ
الَّتِى يَنْشَاْ عَنْ تَطْبِيْقِهَا حَرَج عَلَى المُكَلَفِ وَمُشَقَّةُ فِي نَفْسِهِ
اَوْ مَالِهِ فَالشَّرِيْعَةُ تُخَفِّفُهُمَا بِمَا يَقَعُ تَحْتَ قُدْرَةِ المُكَلَّفِ
دُوْنُ عَسْرٍ اَوْ حَرَجٍ.
“Hukum yang
praktiknya menyulitkan mukallaf, dan pada diri dan sekitarnya terdapat
kesulitan, maka syariat meringankannya beban tersebut berada dibawah kemampuan
mukallaf tanpa kesulitan dan kesusahan”.
Dalam
kaidah ini ditegaskan, bahwa kesulitan-kesulitan yang dialami oleh seseorang
dalam melakukan ritual ibadah maupun sosial akan menarik adanya keringanan
hukum pada obyek yang dibebankan kepadanya. Jika seorang muslim dalam melakukan
ibadah menemui
suatu kendala, maka pada titik inilah Islam memberikan toleransi dengan
keringanan serta kemudahan.[3]
B.
Landasan Dasar Kaidah
1. Al-Qur’an
QS.
Al-Baqarah : 185
...يُرِيْدُ اللهُ بِكُمُ الْيُسْرَ
وَلَا يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ..
“..Allah
menghendaki terwujudnya kemudahan bagi kalian dan tidak menghendaki kesulitan
bagi kalian..”
QS. An- Nisaa : 28
... يُرِيْدُ اللهُ اْنْ يُخَفَّفَ عَنْكُمْ وَخُلِقَ اللْإِنْسَانُ
ظَعِيفًا...
“..Allah hendak meringankan kamu
karena manusia diciptakan bersifat lemah.”
Dua ayat
disajikan secara seimbang: ayat pertama dan kedua berisi tentang keringanan dan
kemudahan, sedangkan ayat ketiga dan keempat berisi tentang kesulitan.
Sesungguhnya
syari’at Islam dibangun di atas kelembutan, kasih sayang dan kemudahan. Allah
Ta’ala berfirman :
...وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمُ فِى الدَّيْنِ مِنْ حَرَجٍ...الية
“..dan Dia
sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan..” [QS. Al Hajj : 78].
QS. Al- Maidah : 6
..وَمَا يُرِيْدُ اللهَ ليجعل عَلَيْكُمُ مِنْ حَرَجٍ..
“Allah tidak hendak menyulitkanmu”
Perkara ada dua macam :
§ Pertama, perkara yang
tidak mampu dilakukan oleh seorang hamba, maka Allah tidak akan membebankan
padanya.
§ Kedua, perkara yang
mampu dilakukan oleh seorang hamba, dan ada hikmah dibaliknya, maka Allah
memerintahkannya.
Kemudian
apabila terdapat kesulitan di dalam pelaksanaannya maka ada keringanan dan
kemudahan, baik dengan digugurkan seluruhnya atau sekedar diberikan kemudahan.
Contoh
dalam ibadah : disyari’atkannya tayammum ketika ada kesulitan memakai air,
atau duduk ketika shalat fardhu apabila ada kesusahan apabila dilakukan dengan
berdiri, juga dibolehkan duduk pada shalat nafilah secara mutlak, atau menqashar
shalat dalam kondisi safar, atau menjamak dua shalat fardhu, dan lain-lainnya.
Contoh
lain : diperbolehkannya meninggalkan shalat jum’at dan shalat berjamaah
ketika ada udzur, menyegerakan zakat, dan keringanan-keringanan lainnya dalam
ibadah, muamalah, pernikahan dan pidana.
Ada pula
keringanan secara mutlak, seperti fardhu kifayah, sunnah, dan beramal atas
dasar persangkaan semata karena kesulitan mewujudkan dasar yang meyakinkan.
2. Hadits
Nabi Muhammad SAW bersabda:
بُعِثْتُ
بِالحَنَفِيَّةِ السَّمَحَةِ.
“Aku diutus dengan membawa ajaran yang benar dan mudah”
Imam Ahmad
At-Tabrani, dan Al- Bazzar meriwayatkan dari Ibn Abbas ra yang bertanya kepada
Nabi Muhammad SAW, tentang agama yang paling dicintai Allah. Nabi Muhammad SAW
menjawab :
الحَنِفِيَّةُ السَّمَحَةُ
“Agama yang benar dan mudah”
Hadits riwayat Bukhori dan Muslim
اِنَّمَا
بُعْثِتُمْ مُيَسِّيْرِيْنَ وَلَمْ تَبْعَثوا مُعَسِّرِيْنَ
“Kalian diutus untuk memberikann kemudahan (manusia) bukan untuk memyulitkan”.
Masih
riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim dari Aisyah ra bahwa ia berkata :
مَا
خَّيَرَ رسول الله صلى الله عليه وسلم بَيْنَ شَيْئَيْنِ اِلَّا اِخْتَرَ اَيْسَرَهُمَا
مَا لَمْ يَكُن اِثْمَا.
“Ketika memilih dau hal; Rasulullah SAW memilih yang
termudah selama tidak termasuk perbuatan dosa”.
Imam Al-Hakim dalam kitab Al-Mustadrak meriwayatkan
dari Ibn Abbas r.a dikatakan bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda:
اِنَّ
الله تعالى وَضَعَ عَنْ اُمَّتِى الخَطَاءَ والنِّسْيَان ومَا اسْتَكَرَ هُوَا
عليه.
“Allah
mengabaikan siksa perbuatan umatku ynag dilakukan karena kekeliruan, lupa, dan
pakasa.”
Hadits riwayat Ali Haidar.
يُسِرُوا
وَلَا تُعْسِيْرُوا
“Permudahlah
dan jangan menyulitkan”
Dari
akumulasi ayat dan hadits di atas, maka
tercetuslah sebuah kaidah المَشَقَةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْر yang
oleh Ali Haidar dijelaskan bahwa kesulitan yang terdapat pada sesuatu menjadi
penyebab adanya kemudahan dan keringanan, yang pada intinya menekankan besarnya
apresiasi syari’at pada bentuk-bentuk kemudahan dan keringanan hukum.
C.
Karakter Masyaqqah
Menurut Al-Suyuthi, karakter masyaqqah dibagi dalam dua kelompok, yaitu :
1.
Masyaqqah
yang tidak dapat menggugurkan kewajiban, yakni masyaqqah yang sudah menjaid
tabiat dasar dan konsekuensi logis dari pekerjaan yang dilakukan. Contoh rasa lelah ketika melakukan ibadah haji, rasa
capek dan takut ketika melakuan perang.
2.
Masyaqqah
yang dapat menggugurkan kewajiban, yakni masyaqqah dalam malakukan kewajiban
yang seandainya tidak mendapat keringanan maka akan menyebabkan timbulnya
akibat fatal yang justru akan membuat kewajiban itu menjadi terbengkalai.
Sedangkan menurut Prof. H. A. Djazuli dalam bukunya
Kaidah-kaidah Fikih, terdapat tiga karakter masyaqqah:[4]
1.
Al-Masyaqqah al-‘Azimmah
(kesulitan yang sangat berat), seperti kekhawatiran akan hilangnya jiwa
dan/atau rusaknya anggota badan.
2.
Al-Masyaqqah al-Mutawasithah
(kesulitan yang pertengahan, tidak sangat berat juga tidak sangat ringan).
Masyaqqah ini harus dipertimbangkan, apabila lebih dekat kepada masyaqqah yang
sangat berat, maka ada kemudahan dan apabila lebih dekat kepada masyaqqah yang
ringan maka tidak ada kemudahan di situ.
3.
Al-Masyaqqah al-Khafifah (kesulitan
yang ringan), seperti terasa lapar waktu puasa, terasa capek pada waktu wukuf
dan sebagainya. Dalam hal ini ibadah lebih diutamakan daripada masyaqqah yang
ringan.
Dalam
ilmu fikih, kesulitan yang membawa kepada kemudahan itu setidaknya ada tujuh
macam, yaitu:[5]
a.
Sedang dalam perjalanan (al-safar)
b.
Keadaan sakit (al-mardh)
c.
Terpaksa (al-ikrab)
d.
Lupa (al-nisyan)
e.
Ketidaktahuan (al-jahl)
f.
Kebolehan (umum al-balwa)
g.
Kekurangmampuan bertindak hukum (al-naqsh)
Kesulitan
mengerjakan sesuatu bisa terjadi secara insidentil dan juga secara kontinyu.
Orang menderita sakit berdasarkan perkiraan medis yang tidak memungkinkan
sembuh seperti biasa, akan mengalami kesulitan dalam melaksanakan beberapa
kewajiban. Oleh karena itu, kesulitan tersebut diatasi dengan cara memberikan
dispensasi: mengganti dan mengubahnya. Sedangkan orang yang bepergian jauh
berdasarkn kebiasaan mengalami kelelahan dan karenanya merasa berat dalam
melaksanakan kewajiban. Itupun diatasi dengna cara memberikan keringanan.[6]
Untuk membedakan kesulitan yang bisa
berpengaruh dalam tataran hukum Al-Syathibi memberikan batasan, jika pekerjaan
tersebut dilakukan secara terus menerus, justru akan membuatnya ditinggalkan
secara total atau sebagian saja. Atau jika menyebabkan salah satu bagian dari
pelaku menjadi tidak beres. Kesulitan yang seperti inilah yang nantinya akan mempengaruhi
formulasi hukum yang telah dihasilkan. Sedangkan apabila tidak sampai pada
kondisi demikian, maka tidak dapat berpengaruh pada tataran hukum kaidah tentang
kesulitan mendatangkan kemudahan.[7]
Adapun keringanan atau kemudahan karena adanya
masyaqqah setidaknya ada tujuh macam, yaitu:[8]
1.
Menghilangkan kewajiban (isqath),
seperti meninggalkan salat jum’at, haji, umrah, dan jihad ketika ada udzur.
2.
Mengurangi beban (tanqish),
umpamanya qashar shalat.
3.
Penggantian (ibdal), seperti
mengganti wudhu dan mandi dengan tayamum.
4.
Mendahulukan (taqdim), seperti
mendahulukan zakat harta sebelum genap satu tahun, dan mendahulukan pembayaran
zakat fitrah di bulan ramadhan.
5.
Menangguhkan hingga waktu tertentu (ta’khir),
seperti kebolehan mengganti puasa ramadhan
pada hari lain bagi ynag sakit dan dalam perjalanan.
6.
Kemurahan (tarkhis), seperti
kebolehan memakan benda najis untuk dijadikan penawar racun.
7.
Perubahan (taghyir), seperti
mengubah susunan shalat dalam keadaan perang (shalat khawf).
D.
Hubungan Kaidah Asasi Ketiga Dengan Rukhsoh
Secara bahasa rukhsoh
adalah:
التَّشْهِيْلُ فِى اْلَاَمْرِ وَالتَّيْسِيْرِ.
“Keringanan dalam mengerjakan
suatu urusan.”
Rukhsoh secara istilah menurut ulama yakni Al-Ghazali dalam
Al-Mustashfa, Al-Bazdawi dalam Ushul Al-Bazdawi, Al-Syatibi dalam Al-Muwafaqat
fi Ushul Al-Ahkam, Al-Baidhawi dalam Minjhaj Al-Baidhawi, adalah:
اَلْحُكْمُ
الثَابِتُ عَلَى خِلَافِ الدَّلِيْلِ لَعُذْرٌ.
“Hukum tetap yang menyalahi dalil (azimah) karena terdapat
udzur.”
Dengan demikian rukhsoh
adalah hukum alternatif yang telah ditentukan syara yang dapat dilakukan dalam
keadaan tertentu. Oleh karena itu, rukhsoh berarti menyimpang dari hukum.
Al-Lahji Al-Hadhrami Al-Syahari telah menjelaskan
sebab-sebab rukhsoh. Sebab- sebab rukhsoh tersebut adalah:
h.
Melakukan perjalanan (Al-safar)
i.
Sakit (Al-mardh)
j.
Terpaksa (Al-ikrab)
k.
Lupa (Al-nisyan)
l.
Ketidaktahuan (Al-jahl)
m.
Kesulitan (Al-usr wa umum Al-balwa)
Bentuk-bentuk keringanan dalam fiqh adalah:
Ulama berbeda pendapat tentang hukum pemanfaatan rukhsoh. Pendapat yang dianggap paling
kuat adalah jumhur yang menentukan kaidah:
الرُّخْصَةُ يَتَرَتَّبُ عَلَيْهَا الِابَاحَةُ.
“Hukum
keringanan adalah boleh.”
Akan tetapi, Jalal Al-Din Abd Al-Rahman Ibn Abi Bakr
Al-Suyuthi merinci hukum pemanfaatan rukhsoh sebagai berikut:
1.
Keringan yang wajib dilakukan, seperti kebolehan memakan bangkai dalam
keadaan paceklik dan memakan (meminum) benda najis untuk menyembuhkan penyakit.
2.
Keringanan yang sunat dilakukan, seperti menyederhanakan shalat dalam
perjalanan, berbuka puasa bagi yang sakit dan dalam perjalanan, dan melihat
wajah perempuan yang dipinang.
3.
Keringanan yang mudah (boleh) dilakukan, seperti jual beli dengan cara
salam (bay’Al-salam).
4.
Keringanan yang lebih baik ditinggalkan, seperti mengusap sepatu, dan
berbuka puasa bagi musafir secara fisik memungkinkan melanjutkan puasa.
5.
Keringanan yang makruh dilakukan, seperti menyederhanakan shalat bagi
musafir yang perjalanannya kurang dari tiga marhalat.
Beberapa dhabith yang berkaitan dengan keringan
adalah:
الرُّخْصُ لَا تُنَاط بِالمَعَاصِى.
“Keringanan
tidak dikaitkan dengan maksiat.”
Kaidah ini digunakan untuk menjaga agar
keringana-keringan didalam hukum tidak disalahkangunakan melakukan maksiat (kejahatan
atau dosa). Seperti: orang yang bepergian untuk melakukan maksiat, misalnya
untuk membunuh orang, atau berjudi atau berdagang barang-barang yang
diharamkan, maka orang semacam ini tidak boleh menggunakan keringanan didalam
hukum islam. Misalnya, orang yang bepergian untuk berjudi kehabisan uang dan
kelaparan kemudian ia makan daging babi. Maka ia tidak dipandang sebagai orang
yang menggunakan rukhsah, tetapi tetap berdosa dengan makan daging babi
tersebut.
Lain halnya dengan orang yang bepergian dengan tujuan
yang dibolehkan seperti untuk kasbu
Al-halal (usaha yang halal), kemudian kehabisan uang dan kelaparan, serta
tidak ada makanan kecuali yang diharamkan, maka memakannya dibolehkan.
الرُخْصُ لَا تُنَاطُ بِالشَّكِ.
“Keringanan
tidak diakaitkan dengan keraguan.”
E. Hukum
dan Bentuk Rukhshoh
Ditinjau dari segi hukumnya, rukhsoh dibagi menjadi
lima yaitu :
1. Rukhsoh wajib, yaitu bentuk rukhsoh yang harus
dikerjakan. Contoh memakan bangkai bagi orang yang kelaparan yang akan
menyebabkan kematian.
2. Rukhsoh sunnah, yaitu bentuk rukhsoh yang sunnah untuk
dikerjakan, seperti melakukan sholat qashar bagi musafir yang telah melakukan
perjalanan sejauh tiga markhalah atau lebih.
3. Rukhsoh mubah, yaitu bentuk rukhsoh yang mubah untuk
dilakukan, seperti transaksi pesan-memesan, sewa-menyewa yang pada dasarnya
tidak diperbolehkan.
4. Rukhsoh khilaf Al-aula,
yaitu bentuk rukhsoh yang lebih baik ditinggalkan, seperti menjama’ shalat bagi
musafir yang dalam perjalanannya tidak mendapatkan masyaqqah.
5. Rukhsoh makruh, yaitu bentuk rukhsoh yang makruh
dikerjakan, seperti mengqahar shalat dalam perjalanan yang belum mencapai jarak
tempuh tiga marhalah.
Jika ditinjau dari segi bentuknya rukhsoh dibagi
menjadi enam, yaitu :
1.
Takhfif Isqath,
yaitu keringanan yang berbentuk pengguguran kewajiban, seperti udzur melakukan
shalat jum’at.
2.
Takhfif Tanqish,
yaitu keringanan yang berupa pengurangan kuantitas pekerjaan, sperti
diperbolehkannya melakukan qashar sholat.
3.
Takhfif Ibdal,
yaitu keringanan yang berupa penggantian ibadah dengan yang lain, seperti wudlu
dan mandi jinabat yang boleh diganti dengan tayammum.
4.
Takhfif Taqdim,
yaitu keringanan dengan mendahulukan, seperti jama’ taqdim, membayar zakat
sebelum datangnya haul.
5.
Takhfif Ta’khir,
yaitu keringanan yang berupa penundaan aktivitas, seperti shalat jama’ ta’khir.
6.
Takhfif Tarkhish, keringanan yang berupa peringanan ibadah, seperti memakan bangkai saat
kelaparan.
F.
Obyek Rukhshoh
1.
Ikrah (paksaan), dalam hal
ini Al-Suyuthi memberikan tujuh syarat pokok pemaksaan yang dapat menyebabkan
adanya rukhsoh, yaitu :
a. Pemaksa mampu merealisasikan paksaannya
b. Orang yang dipaksa tidak dapat menghindari paksaan itu
c. Orang yang dipaksa memiliki dugaan kuat seandainya
paksaan itu tidak dikerjakan maka, pemaksa akan menjatuhkan ancamannya
d. Ancaman itu merupakan sesuatu yang dapat dilakukan
secara langsung
e. Ancamannya jelas, bukan sesuatu yang abstrak
f. Orang yang dipaksa hanya bisa selamat jika ia
melakukan paksaan itu.
2.
Nisyan
(lupa), dalam hal ini dubagi menjadi tiga perincian, yaitu:
a. Jika berupa meninggalakn kewajiabn, maka kewajiban itu
pada hakikatnya belum gugur, sehingga ketika ia telah tersadar maka ia harus
mengerjakan kewajiban itu.
b. Jika berhubungan dengan pelanggaran yang berhubungan
dengan harta benda orang lain, maka ia tidak berdosa, akan tetapi wajib
menggantinya.
c. Terjadi pada sesuatu yang berakibat fatal, sepreti
menyebabkan hukuman dera, maka kealpan tersebut dianggap sebagai sesuatu yang
tidak jelas sehingga dapat menggugurkan hukuman tersebut.
3.
Jahl
(ketidaktahuan), dalam hal ini yang dapat memberikan ruhksoh adalah;
a. Ketidaktahuan sebab baru masuk Islam, maka Islam
memberikan toleransi yang sangat rasional dan manusiawi.
b. Ketidaktahuan karena keberadaan situasi dan kondisi
yang memang tidak memungkinkan, seperti orang yang tinggal di daerah terpencil.
4.
Al-‘Usru (kesulitan),
contohnya adalah percikan air yang bercampur dengan najis pada waktu musim
hujan ketika mengenai pakaian, maka dihukumi sebagai najis ma’fuw.
5.
Safar
(bepergian), terdapat sekurang-kurangnya delapan rukhsoh yang diperoleh ketika
sedang bepergian, yaitu qashr shalat, ifthar, membasuh muzah, meninggalkan
shalat jum’at, memakan bangkai, men-jama’ shalat, shalat sunat di atas
kendaraan tanpa menghadap kiblat, dan gugurnya kewajiban shalat jika telah
bersuci dengan cara tayammum.
6.
Maradl
(sakit), jika sebuah penyakit menimbulkan dampak yang sangat fatal pada
penderita seandainya tetap melakukan ibadah maka ia akan mendapatkan
keringanan.
7.
Al-Naqshu
(nilai kurang), yang dimaksud disini adalah nilai minus yang berkaitan dengan
tabiat-kejiwaan manusia. Sedangkan yang termasuk dalam kategori ini adalah kaum
wanita, anak-anak, orang gila, idiot, buak dan orang yang sakit.
Dari kaidah asasi tersebut di atas (Al-Masyaqqah
Tajlib Al-Taisir) kemudian di munculkan
kaidah-kaidah cabangnya dan bisa disebut dhabit karena hanya berlaku
pada bab-bab tertentu,
diantaranya:[10]
1.
اِذَا ضَاقَ لاَمْرُ اِتَّسَعَ.
”Apabila suatu perkara
menjadi sempit maka hukumnya meluas”
Kaidah ini sesungguhnya yang
tepat merupakan cabang dari kaidah “al-masyaqqah tajlib al- taisir”, sebab Al-Masyaqqah itu adalah kesempitan
atau kesulitan maksudnya dalam
kaidah ini dijelaskan bahwa keringanan hukum akan diperoleh sebab adanya
kesulitan dan kesempitan. seperti boleh berbuka puasa pada bulan Ramadhan karena
sakit atau berpergian jauh. Sakit dan berpergian jauh merupakan suatu
kesempitan, maka hukumnya menjadi luas yaitu kebolehan berbuka.Akan tetapi,
bila orang sakit itu sembuh kembali, maka hukum wajib melakukan puasa itu kembali pula. Contoh yang lainnya yaitu wanita yang ingin menikah sedangkan berada jauh dari
rumahnya, maka ia diperbolehkan mengangkat seseorang untuk menjadi wali.
Oleh karena itu muncul pula
kaidah kedua:
اِذَا اِتَسَعَ اْلاَمْرُ ضَاقَ
“Apabila
suatu perkara menjadi sempit maka hukumnya menyempit”
Kaidah ini juga dimaksud untuk tidak meringankan yang
sudah ringan. Kaidah ini merupakan
antitesis dari kaidah diatas. Contoh dari kaidah ini adalah melakukan gerakan
yang banyak dalam sholat ketika tidak ada gangguan yang membahayakannya. Oleh karena itu kaidah ini gabungkan menjadi satu,
yaitu:
إِذَا ضَاقَ الأَمْرُ
إِتَّسَعَ وَ إِذَا إِتَّسَعَ ضَاقَ
“Apabila suatu perkara menjadi sempit maka hukumnya
meluas dan apabila suatu perkara menjadi meluas maka hukumnya menyempit”
Kaidah ini juga menunjukan fleksibilitas hukum islam
yang biasa diterapkan secara tepat pada setiap keadaan.
Semakna dengan kaidah di atas adalah kaidah:
كُلُّ مَا تَجَاوَزَ عَن
حَدَّهَ اِنْعَكَسَ اِلَى ضِدَّهِ.
“Setiap yang melampaui Batas maka
hukumnya berbalik kepada yang sebaliknya”.
Atau kaidah:
مَا
جَازَ لِعُذْرٍ بَطَلَ بزَوَالِهِ
“Apa yang dibolehkan karena uzur (halangan) maka batal (tidak
dibolehkan lagi) dengan hilangnya halangan tadi”
Contohnya:
wanita yang sedang menstruasi dilarang salat dan saum. Larangan tersebut
menjadi hilang bila menstruasinya berhenti. Kewajiban melaksanakan shalat fardhu dan saum Ramadhan kembali lagi dan boleh lagi melaksanakan
shalat sunnah dan puasa sunnah. [11]
2.
إِذَا تَعَذَرَ
الأَصْلُ يُصَارُ إِلَى الَبَدلِ
“Apabila yang asli sukar dikerjakan maka berpindah
kepada menggantinya”
Contohnya: tayamum sebagai pengganti wudhu. Seseorang yang
meminjam harta orang lain, wajib mengembalikan harta aslinya. Apabila harta
tersebut sudah rusak atau hilang sehingga tidak mungkin dikembalikan kepada
pemiliknya, maka dia wajib menggantinya dengan harga demikian juga dengan
halnya dengan orang yang meminjam suatu benda kemudian benda itu hilang
(misalnya, buku), maka penggantinya buku yang sama baik judul, penerbit, maupun
cetakannya, atau diganti dengan harga buku tersebut dengan harga dipasaran.
Dalam fiqh Siasah, kaidah di atas banyak diterapkan terutama dalam hal yang
berhubungan dengan tugas-tugas kepemimpinan misalnya, ada istilah PJMT (Pejabat
yang Melaksanakan Tugas) karena pejabat yang sesungguhnya berhalangan, maka
diganti oleh petugas yang lain sebagai penggantinya.
3.
مَا لَا يُمْكِنْ
التَحَرُزْ مِنْهُ مَعْفُوعَنهُ
“Apa yang tidak mungkin menjaganya
(menghindarakannya), maka hal itu dimaafkan”.
Contohnya: pada waktu sedang shaum, kita
berkumur-kumur maka tidak mungkin terhindar dari rasa air di mulut atau masih
ada sisa-sisa. Darah yang ada pada pakaian yang sulit dibersihkan dengan
cucian.
4.
الُرخْصَ لَا تُنَاطُ
بِالمَعَصِى
“Keringanan itu tidak dikaitkan dengan kemaksiatan”
Kaidah ini dugunakan untuk menjaga agar
keringanan-keringanan di dalam hukum tidak disalahgunakan untuk melakukan
maksiat (kejahatan atau dosa) seperti: orang bepergian dengan tujuan melakukan
maksiat, misalnya, untuk membunuh orang atau untuk berjudi atau berdagang
barang-barang yang diharamkan maka orang semacam ini tidak boleh menggunakan
keringanan-keringanan di dalam hukum Islam.
Misalnya, orang yang bepergian untuk berjudi lagi
kehabisan uang dan kelaparan dan kemudian ia makan daging babi. Maka ia tidak
dipandang sebagai orang yang menggunakan rusakhsah, tetapi tetap berdosa dengan
makan daging babi tersebut. Lain halnya dengan orang yang bepergian dengan
tujuan yang dibolehkan seperti untuk Kasbu
Al-Halal (usaha yang halal) kemudian kehabisan uang dan kelaparan, serta
tidak ada makanan kecuali yang diharamkan, maka memakannya dibolehkan.
5.
إذا تُعَذَرَتْ
الحَقِيْقَةُ يُصَارُ إلى المَجَازِ
“Apabila suatu kata sulit diartikan dengan arti yang sesungguhnya, maka
kata tersebut berpindah artinya kepada arti kiasannya”
Contohnya: seseorang berkata:
“saya wakafkan tanah saya ini kepada anak Kyai Anas”. Padahal tahu bahwa anak
Kyai Anas tersebut sudah lama meninggal, yang ada adalah cucunya. Maka dalam
hal ini, kata anak harus diartikan cucunya, yaitu kata kiasannya, bukan kata
sesungguhnya. Sebab, tidak mungkin mewakafkan harta kepada yang sudah meninggal
dunia .
6.
إذا تَعٍذَرَ إِعْمَالُ
الكَلاَمِ يُهْمَلُ
“Apabila sulit mengamalkan suatu perkataan, maka perkataan tersebut
ditinggalkan”
Contohnya: apabila seseorang menuntut warisan dan
mengaku bahwa dia adalah anak dari orang yang meninggal, kemudian setelah
diteliti dari akta kelahirannya, ternyata dia lebih tua dari orang yang
meninggal yang diakuinya sebagai ayahnya, maka perkataan orang tersebut
ditinggalkan dalam arti tidak diakui perkataannya.
7.
يُغْتَفَرُفِي
الدَّ وَامِ مَا لَا يُغْتَفَرُ فِي الِّإبْتِدَاءِ
“Bisa dimaafkan pada
kelanjutan perbuatan dan tidak bisa dimaafkan pada permulaannya”
Contohnya: orang yang menyewa rumah yang diharuskan bayar uang
muka oleh pemilik rumah. Apabila sudah habis pada waktu penyewaan dan dia ingin
memperbaharui sewanya dalam arti melanjutkan sewaannya, maka dia tidak perlu
membayar uang muka lagi. Demikian pula halnya untuk memperpanjang izin
perusahaan, seharusnya tidak diperlukan lagi persyaratan-persyaratan yang
lengkap seperti waktu mengurus izinnya pertama kali.
8.
يُغْتَفَرُ فِي
الّإِبْتِدَاءِ مَا لَا يُغْتَفَرُ فِي الدَّ وَامِ
“Dimaafkan
pada permulaan tapi tidak dimaafkan pada kelanjutannya”
Dhabith ini terjadi pada kasus tertentu yaitu orang yang
melakukan perbuatan hukum karena tidak tahu bahwa perbuatan tersebut dilarang. Contohnya:
pria dan wanita melakukan akad nikah karena tidak tahu bahwa di antara keduanya
dilarang melangsungkan akad nikah baik karena se-nasab, mushaharah (persemendaan),
maupun karena persusuan. Selang beberapa tahun, baru diketahui bahwa antara
pria dan wanita itu ada hubungan nasab atau hubungan persemendaan, atau
persusuan, yang menghalangi sahnya pernikahan. Maka pernikahan tersebut harus
dipisah dan dilarang melanjutkan kehidupan sebagai suami istri. Contoh lain:
seseorang yang baru masuk Islam minum miniman keras karena kebiasaannya sebelum
masuk Islam dan tidak tahu bahwa minuman semacamitu dilarang (haram). Maka
orang tersebut dimaafkan untuk permulaannya karena ketidaktahuannya.
Selanjutnya, setelah dia tahu bahwa perbuatan tersebut adalah haram, maka ia
harus menghentikan perbuatan tersebut.
9.
يُغْتَفَرُ فِي
التَّوَابِع مَا لَا يُغْتَفَرُفِي غَيْرِهَا
“Dapat dimaafkan pada hal yang mengikuti dan tidak dimaafkan
pada yang lainnya”
Contohnya: penjual boleh menjual kembali karung bekas tempat
beras, karena karung mengikuti kepada beras yang dijual. Demikian pula boleh
mewakafkan kebun yang sudah rusak tanamannya karena tanaman mengikuti tanah
yang diwakafkan.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan kepada pembahasan
BAB II maka dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
Kaidah Al-Masyaqqah Tajlib at-Taisir / المشقه تجلب
التيسيرialah kaidah
yang bermakna kesulitan menyebabkan adanya kemudahan atau kesulitan mendatangkan kemudahan bagi mukallaf (subjek
hukum), maka syari’ah meringankannya sehingga mukallaf dalam situasi dan
kondisi tertentu mampu menerapkan dan melaksakan hukum tanpa ada kesulitan dan
kesukaran. Kaidah Al-Masyaqqah Tajlib al-Taisir/ المشقه تجلب التيسير menunjukkan fleksibilitas hukum Islam yang bisa diterapkan
secara tepat pada setiap keadaan yang sulit atau sukar tetapi ada kemudahan di
dalamnya yang mampu menjawab berbagai permasalahan yang dihadapi oleh mukallaf
dengan menggunakan salah satu kaidah asasiyyah tersebut berdasarkan sub atau
pada bab-bab tertentu yang kondisional dan situasional pada prosedur yang tepat
berdasarkan kaidah fiqih.
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Buku :
Djazuli, A, Kaidah-kaidah Fikih (Kaidah-kaidah
Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah yang Praktis, Jakarta:
Kencana, 2006.
Ma’Shum Zein, Muhammad, Sistematika Teori Hukum
Islam (Qawa’id-Fiqhiyah), Jawa Jombang: Al-Syarifah Al-Khadijah, 2004.
Mubarok Jaih, Kaidah Fiqih, Jakarta : Rajawali Pers,
cetakan pertama, 2002.
Musbikin, Imam, Qawa’id Al-Fiqhiyah, Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2001.
Tim, Kamus Al-Munir (Kamus Lengkap Arab-Indonesia),
Surabaya: Kashiko, 2000.
Yasid, Abu, Aspek-aspek Penelitian Hukum (Hukum
Islam-Hukum Barat), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Sumber Website :
Abdul Helim, Kaidah Asasiyah tentang al-Masyaqqah Tajlib
at-Taisir, 2010, melalui : http. Kaidah
Asasiyah tentang al-Masyaqqah Tajlib at-Taisir _ Kajian dan Obrolan Hukum Islam
& Kemasyarakatan.htm, di akses pada tgl.
17-03-2013
Pustaka Abdissalam, Kaidah Ushul Fiqh, 2012, melalui : http// Kaidah Ushul Fiqh _
Pustaka Abdissalam.htm, di akses pada tgl.17-03-2013.
[9] Abdul Helim, Kaidah Asasiyah tentang al-Masyaqqah Tajlib
at-Taisir, 2010, melalui : http. Kaidah Asasiyah tentang al-Masyaqqah Tajlib
at-Taisir _ Kajian dan Obrolan Hukum Islam & Kemasyarakatan.htm, di akses pada tgl. 17-03-2013
[11] A.Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih (Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan
Masalah-Masalah yang Praktis, hlm. 62
Tidak ada komentar:
Posting Komentar