Kamis, 24 Oktober 2013

pajak penghasilan (Pph)

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
            Pajak merupakan sumber penerimaan Negara yang digunakan untuk membiayai kepentingan umum yang akhirnya juga mencakup kepentingan pribadi individu seperti kepentingan rakyat, pendidikan, kesejahteraan rakyat, kemakmuran rakyat dan sebagainya. Sehingga pajak merupakan salah satu alat untuk mencapai tujuan Negara.
            Pemungutan pajak yang dilakukan oleh pemerintah merupakan sumber terpenting dari penerimaan Negara. Lagipula penerimaan Negara dari pajak dapat dijadikan indikator atas peran serta masyarakat (sebagai subjek pajak) dalam kontribusinya melakukan kewajiban perpajakan, karena pembayaran pajak yang dilakukan akan dikembalikan lagi kepada masyarakat dalam bentuk tidak langsung, dan berupa pengeluaran rutin dan pembangunan yang berguna bagi rakyat.
            Pajak penghasilan adalah pajak yang dibebankan pada penghasilan perorangan, perusahaan atau badan hukum lainnya. Pajak penghasilan bisa diberlakukan progresif, proporsional, atau regresif.

B.     Rumusan Masalah
            Berdasarkan latar belakang di atas maka yang menjadi permasalahan pada makalah ini adalah:
1.      Seperti apa Sejarah Pajak Penghasilan?
2.      Seperti apa pajak penghasilan di Indonesia?
3.      Apa yang dimaksud dengan pajak penghasilan?
4.      Apa Fungsi, Manfaat dan jenis-jenis Pajak?
5.      Apa Dasar Hukum, Dasar Pengenaan Pajak, Teori dan Asas Pemungutannya?
6.      Seperti apa Tata Cara pemungutan pajak ?
7.      Siapa yang menjadi Subjek Pajak dan Wajib Pajak?
8.      Bagaimana Kewajiban Pajak Subjektif?
9.      Apa yang menjadi Objek Pajak dan Bukan Objek Pajak?
10.  Bagaimana Tarif Pajak penghasilan?
11.  Bagaimana Cara Menghitung Penghasilan Kena Pajak dan Penghasilan Tidak Kena Pajak ?
12.  Bagaimana Pemotongan Atau Pemungutan Pajak Penghasilan Yang Bersifat Final?
13.  Bagaimana Cara Melunasi Pajak?
14.  Bagaimana Perlakuan PPh atas pengalihan tanah?
15.  Bagaimana Perlakuan PPh atas kerugian yang timbul akibat terjadinya bencana alam?
16.  Bagaimana PPh atas Koperasi?

C.    Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
1.      Mengetahui Sejarah Pajak Penghasilan
2.      Mengetahui pajak penghasilan di Indonesia
3.      Mengetahui yang dimaksud dengan pajak penghasilan
4.      Mengetahui Fungsi, Manfaat dan jenis-jenis Pajak
5.      Mengetahui Dasar Hukum, Dasar Pengenaan Pajak, Teori dan Asas Pemungutannya
6.      Mengetahui Tata Cara pemungutan pajak
7.      Mengetahui Subjek Pajak dan Wajib Pajak
8.      Mengetahui Kewajiban Pajak Subjektif
9.      Mengetahui Objek Pajak dan Bukan Objek Pajak
10.  Mengetahui Tarif Pajak penghasilan
11.  Mengetahui Cara Menghitung Penghasilan Kena Pajak dan Penghasilan Tidak Kena Pajak
12.  Mengetahui Pemotongan Atau Pemungutan Pajak Penghasilan Yang Bersifat Final
13.  Mengetahui Cara Melunasi Pajak
14.  Mengetahui Perlakuan PPh atas pengalihan tanah
15.  Mengetahui Perlakuan PPh atas kerugian yang timbul akibat terjadinya bencana alam
16.  Mengetahui PPh atas Koperasi





























BAB II
PEMBAHASAN

A.    Sejarah Pajak Penghasilan
Pengenaan pajak langsung sebagai cikal bakal dari pajak penghasilan sudah terdapat pada zaman Romawi Kuno, antara lain dengan adanya pungutan yang bernama tributum yang berlaku sampai dengan tahun 167 Sebelum Masehi. Pengenaan pajak pajak penghasilan secara eksplisit yang diatur dalam suatu Undang-undang sebagai Income Tax baru dapat ditemukan di Inggris pada tahun 1799. Di Amerika Serikat, pajak penghasilan untuk pertama kali dikenal di New Plymouth pada tahun 1643, dimana dasar pengenaan pajak adalah " a person's  faculty, personal faculties and abilitites", Pada tahun 1646 di Massachusett dasar pengenaan pajak didasarkan pada "returns and gain". “Tersonal faculty and abilities" secara implisit adalah pengenaan pajak pengahasilan atas orang pribadi, sedangkan "Returns and gain" berkonotasi pada pajak penghasilan badan. Tonggak-tonggak penting dalam sejarah pajak di Amerika Serikat adalah Undang-Undang Pajak Federal tahun 1861 yang selanjutnya telah beberapa kali mengalami tax reform, terakhir dengan Tax Reform Act tahun 1986. Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan (tax return) yang dibuat pada tahun 1860-an berdasarkan Undang-Undang Pajak Federal tersebut telah dipergunakan sampai dengan tahun 1962.[1]

B.     Pajak Penghasilan di Indonesia
Sejarah pengenaan Pajak Penghasilan di Indonesia dimulai dengan adanya tenement tax (huistaks) pada tahun 1816, yakni sejenis pajak yang dikenakan sebagai sewa terhadap mereka yang menggunakan bumi sebagai tempat berdirinya rumah atau bangunan. Pada periode sampai dengan tahun 1908 terdapat perbedaan perlakuan perpajakan antara penduduk pribumi dengan orang Asia dan Eropa, dengan kata lain dapat dikatakan bahwa terdapat banyak perbedaan dan tidak ada uniformitas dalam perlakuan perpajakan Tercatat beberapa jenis pajak yang hanya diperlakukan kepada orang Eropa seperti "patent duty". sebaliknya Business Tax atau Bedrijfsbelasting untuk orang pribumi. Di samping itu, sejak tahun 1882 hingga 1916 dikenal adanya Poll Tax yang pengenaannya berdasarkan status pribadi, pemilikan rumah dan tanah.
Pada 1908 terdapat Ordonansi Pajak Pendapatan yang diperlakukan untuk orang Eropa, dan badan-badan yang melakukan usaha bisnis tanpa memperhatikan kebangsaan pemegang sahamnya. Dasar pengenaan pajaknya penghasilan yang berasal dari barang bergerak maupun barang tak gerak, penghasilan dari usaha, penghasilan pejabat pemerintah, pensiun dan pembayaran berkala. Tarifnya bersifat proporsional dari 1%, 2% dan 3% atas dasar kriteria tertentu. Selanjutnya, tahun 1920 dianggap sebagai tahun unifikasi, dimana dualistik yang selama ini ada, dihilangkan dengan diperkenalkannya General Income Tax yakni Ordonansi Pajak Pendapatan Yang Dibaharui tahun 1920 (Ordonantie op de Herziene Inkomstenbelasting 1920, Staatsblad 1920 1921, No.312) yang berlaku baik bagi penduduk pribumi, orang Asia maupun orang Eropa. Dalam Ordonansi Pajak Pendapatan ini telah diterapkan asas-asas pajak penghasilan yakni asas keadilan domisili dan asas sumber.
Karena desakan kebutuhan dengan makin banyaknya perusahaan yang didirikan di Indonesia seperti perkebunan-perkebunan (ondememing), pada tahun 1925 ditetapkanlah Ordonansi Pajak Perseroan tahun 1925 (Ordonantie op de Vennootschapbelasting) yakni pajak yang dikenakan tethadap laba perseroan, yang terkenal dengan nama PPs (Pajak Perseroan). Ordonansi ini telah mengalami beberapa kali perubahan dan penyempurnaan antara lain dengan UU No. 8 tahun 1967 tentang Psnibahan dan Penyempurnaan Tatacara Pcmungitan Pajak Pendapatan 1944, Pajak Kekayaan 1932 dan Pajak Perseroan tahun 1925 yang dalam praktck lebih dikenal dengan UU MPO dan MPS. Perubahan penting lainnya adalah dengan UU No. 8 tahun 1970 dimana fungsi pajak mengatur/regulerend dimasukkan ke dalam Ordonansi PPs 1925., khususnya tentang ketentuan "tax holiday".
Ordonasi PPs 1925 berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 1983, yakni pada saat diadakannya tax reform, Pada awal tahun 1925-an yakni dengan mulai berlakunya Ordonansi Pajak Perseroan 1925 dan dengan perkembangan pajak pendapatan di Negeri Belanda, maka timbul kebutuhan untuk merevisi Ordonansi Pajak Pendapatan 1920, yakni dengan ditetapkannnya Ordonasi Pajak Pendapatan tahun 1932 (Ordonantie op de Incomstenbelasting 1932, Staatsblad 1932, No.111) yang dikenakan kepada orang pribadi (Personal Income Tax). Asas-asas pajak penghasilan telah diterapkan kepada penduduk Indonesia; kepada bukan penduduk Indonesia hanya dikenakan pajak atas penghasilan yang dihasilkannnya di Indonesia; Ordonansi ini juga telah mengenal asas sumber dan asas domisili.
Dengan makin banyak perusahaan-perusahaan di Indonesia, maka kebutuhan akan mengenakan pajak terhadap pendapatan karyawan perusahaan muncul. Maka pada tahun 1935 ditetapkanlah Ordonansi Pajak Pajak Upah (loonbelasting) yang memberi kewajiban kepada majikan untuk memotong Pajak Upah/gaji pegawai yang mempunyai tarif progresif dari 0% sampai dengan 15%. Pada zaman Perang Dunia II diberlakukan Oorlogsbelasting (Pajak Perang) menggantikan ordonansi yang ada dan pada tahun 1946 diganti dengan nama Overgangsbelasting (Pajak Peralihan). Dengan UU Nomor 21 tahun 1957 nama Pajak Peralihan diganti dengan nama Pajak Pendapatan tahun 1944 yang disingkat dengan Ord. PPd. 1944. Pajak Pendapatan sendiri disingkat dengan PPd. Saja.
Ord. PPd. 1944 setelah beberapa kali mengalami perubahan terutama dengan perubahan tahun 1968 yakni dengan adanya UU No. 8 tahun 1968 tentang Perubahan dan Penyempurnaan Tata cara Pemungutan Pajak Pendapatan 1944, Pajak Kekayaan 1932 dan Pajak Perseroan 1925, yang lebih terkenal dengan "UU MPO dan MPS". Perubahan lainnya adalah dengan UU No. 9 tahun 1970 yang berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 1983, yakni dengan diadakannya tax reform di Indonesia.[2]

C.    Pengertian pajak penghasilan
Sebelum kita membahas tentang Pajak Penghasilan, ada baiknya kita mengatahui tentang 'Pajak' itu sendiri. Karena dengan memahami tentang 'Pajak', kita akan mudah mempelajari dan mengerti tentang seluk-beluk perpajakan di Indonesia.  
Berikut pengertian pajak menurut beberapa ahli:[3]
1.      Menurut Prof. Dr. Rochmat Sumitro, S.H., adalah sebagai berikut : “pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontra prestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum dan surplusnya digunakan untuk “public saving” yang merupakan sumber utama untuk membiayai “public investment”.
2.      Menurut Prof. Dr. P. J. A. Adriani adalah sebagai berikut : “pajak adalah iuran masyarakat kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan umum (undang-undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan”.
3.      Menurut Ray M. Sommer adalah sebagai berikut : “pajak adalah pengalihan sumber-sumber dari sektor swasta ke sektor pemerintah, yang wajib dilaksanakan berdasarkan ketentuan yang telah ditetapkan lebih dahulu dan tanpa mendapatkan imbalan yang langsung, sehingga daripadanya pemerintah dapat melaksanakan tugasnya untuk mencapai tujuan ekonomi dan sosial”.
4.      Menurut Remsky K. Judisseno adalah sebagai berikut: “Pajak adalah suatu kewjiban kenegaraan dan pengapdiaan peran aktif warga negara dan anggota masyarakat lainnya untuk membiayai berbagai keperluan negara berupa pembangunan nasional yang pelaksanaannya diatur dalam Undang-Undang dan peraturan-peraturan untuk tujuan kesejahteraan dan negara”.
5.      Menurut Pasal 1 angka 1 UU No 6 Tahun 1983 sebagaimana telah disempurnakan terakhir dengan UU No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP)  adalah “kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang Undang, dengan tidak mendapat timbal balik secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”

Lima unsur pokok dalam defenisi pajak :
1.      Iuran wajib yang dikenakan kepada masyarakat wajib pajak.
2.      Iuran wajib yang ditetapkan dengan norma-norma atau aturan hukum.
3.      Dipergunakan untuk membiayai kepentingan umum.
4.      Bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
5.      Balas jasanya tidak diterima secara langsung.
Selain pajak, pemerintah juga melakukan pungutan resmi yang berupa retribusi. Retribusi merupakan pungutan yang dikenakan kepada masyarakat yang menggunakan fasilitas yang disediakan negara. Pungutan tentang retribusi diatur melalui UU No. 19 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi.[4]

Pengertian Pajak Penghasilan (PPh)
Pajak penghasilan adalah pajak yang dibebankan pada penghasilan perorangan, perusahaan atau badan hukum lainnya. Pajak penghasilan bisa diberlakukan progresif, proporsional, atau regresif.
Pajak yang dikenakan terhadap Subjek Pajak Penghasilan atas Penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak.
Pajak Penghasilan merupakan jenis pajak subjektif yang kewajiban pajaknya melekat pada Subjek Pajak yang bersangkutan, artinya kewajiban pajak tersebut dimaksudkan untuk tidak dilimpahkan kepada Subjek Pajak lainnya. Oleh karena itu dalam rangka memberikan kepastian hukum, penentuan saat mulai dan berakhirnya kewajiban pajak subjektif menjadi penting.[5]


D.    Fungsi, Manfaat dan jenis-jenis Pajak
Fungsi Pajak
Fungsi pajak secara sederhana adalah untuk menyelenggarakan kepentingan bersama para warga masyarakat. Berdasarkan ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak dari berbagai definisi, terdapat 2 (dua) fungsi pajak yaitu:[6]
a.       Fungsi Penerimaan (Budgetair)
Pajak sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluarannya.
Contoh: dimasukkannya pajak dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagai penerimaan dalam negeri.
b.      Fungsi Mengatur (Regulerend)
Pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijaksanaan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi.
Contoh: dikenakannya pajak yang lebih tinggi terhadap minuman keras dapat ditekan serta demikian pula dengan barang mewah.

Secara umum pajak memiliki empat peranan / fungsi dalam pembangunan, yaitu :
1.      Sebagai Sumber pendapatan Negara
Dengan pembayaran pajak, negara akan memiliki dana yang cukup untuk melakukan penyelenggaraan pemerintahan dan melakukan pembangunan.
2.      Sebagai Alat pemerataan Ekonomi
Melalui pajak, pemerintah dapat melakukan subsidi kepada rakyat-rakyat kecil.
3.      Sebagai Pengatur Kegiatan Ekonomi
Melalui pajak, pemerintah dapat mengatur kegiatan konsumsi, distribusi, produksi, ekspor dan impor.
4.      Sebagai Alat Stabilitas Perekonomian
Dengan pajak, pemerintah dapat mendorong pertumbuhan industri baru dengan cara menurunkan atau membesarkan pajak bagi industri – industri yang langka, tetapi banyak dibutuhkan masyarakat, sehingga dapat menjaga stabilitas ekonomi.

Bentuk kebijakan pemerintah dalam mengatur kegiatan ekonomi melalui pajak, dapat dilakukan :
1.      Menaikkan pajak impor dan membebaskan pajak ekspor dengan tujuan melindungi dan meningkatkan daya saing produksi dalam negeri.
2.      Melakukan pungutan pajak penghasilan atas golongan yang berpenghasilan tinggi untuk meningkatkan keadilan sosial dengan jalan pemerataan pendapatan.
3.      Memungut tarif pajak rendah bagi perusahaan yang baru berdiri dan industri kecil untuk meningkatkan kemampuan memperluas usaha dan menyerap tenaga kerja.

Manfaat Pajak
Sebagaimana halnya perekonomian dalam suatu rumah tangga atau keluarga, perekonomian negara juga mengenal sumber-sumber penerimaan dan pos-pos pengeluaran. Pajak merupakan sumber utama penerimaan negara. Tanpa pajak, sebagian besar kegiatan negara sulit untuk dapat dilaksanakan. Penggunaan uang pajak meliputi mulai dari belanja pegawai sampai dengan pembiayaan berbagai proyek pembangunan. Pembangunan sarana umum seperti jalan-jalan, jembatan, sekolah, rumah sakit/puskesmas, kantor polisi dibiayai dengan menggunakan uang yang berasal dari pajak. Uang pajak juga digunakan untuk pembiayaan dalam rangka memberikan rasa aman bagi seluruh lapisan masyarakat. Setiap warga negara mulai saat dilahirkan sampai dengan meninggal dunia, menikmati fasilitas atau pelayanan dari pemerintah yang semuanya dibiayai dengan uang yang berasal dari pajak. Dengan demikian jelas bahwa peranan penerimaan pajak bagi suatu negara menjadi sangat dominan dalam menunjang jalannya roda pemerintahan dan pembiayaan pembangunan.
Disamping fungsi budgeter (fungsi penerimaan) di atas, pajak juga melaksanakan fungsi redistribusi pendapatan dari masyarakat yang mempunyai kemampuan ekonomi yang lebih tinggi kepada masyarakat yang kemampuannya lebih rendah. Oleh karena itu tingkat kepatuhan Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya secara baik dan benar merupakan syarat mutlak untuk tercapainya fungsi redistribusi pendapatan. Sehingga pada akhirnya kesenjangan ekonomi dan sosial yang ada dalam masyarakat dapat dikurangi secara maksimal.[7]

Jenis-jenis Pajak
Secara umum, pajak yang berlaku di Indonesia dapat dibedakan menjadi Pajak Pusat dan Pajak Daerah. Pajak Pusat adalah pajak-pajak yang dikelola oleh Pemerintah Pusat yang dalam hal ini sebagian dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak - Departemen Keuangan. Sedangkan Pajak Daerah adalah pajak-pajak yang dikelola oleh Pemerintah Daerah baik di tingkat Propinsi maupun Kabupaten/Kota.
1.      Secara umum Beberapa jenis pajak dapat dibagi menjadi :[8]
a)      Pajak Penghasilan (PPh) : PPH adalah pajak langsung dari pemerintah pusat yang dipungut atas penghasilan dari semua orang yang berada di wilayah Republik Indonesia .
b)      Pajak Pertambahan Nilai (PPN) PPN adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean. Orang Pribadi, perusahaan, maupun pemerintah yang mengkonsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dikenakan PPN. Pada dasarnya, setiap barang dan jasa adalah Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, kecuali ditentukan lain oleh Undang-undang PPN.
c)      PajakPenjualan atas Barang Mewah (PPn BM) Selain dikenakan PPN, atas barang-barang kena pajak tertentu yang tergolong mewah, juga dikenakan PPn BM. Yang dimaksud dengan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah adalah :
·         barang tersebut bukan merupakan barang kebutuhan pokok.
·         Barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tertentu
·         Pada umumnya barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi
·         Barang tersebut dikonsumsi untuk menunjukkan status
·         Apabila dikonsumsi dapat merusak kesehatan dan moral masyarakat, serta mengganggu ketertiban masyarakat.
d)     Bea Meterai Bea Meterai adalah pajak yang dikenakan atas dokumen, dengan menggunakan benda materai atau benda lainya contohnya dengan menggunakan mesin teraan, pemeteraian, kemudian dan surat setoran pajak bentuk KPU 35 Kode 006.
e)      Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) PBB adalah atas harta tak bergerak yang terdiri atas tanah dan bangunan (property tax).
f)       Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) BPHTB adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Seperti halnya PBB, walaupun BPHTB dikelola oleh Pemerintah Pusat namun realisasi penerimaan BPHTB seluruhnya diserahkan kepada Pemerintah Daerah baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan.
Khusus jenis pajak Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) mulai tahun 2012 pengelolaannya disebagian dialihkan kepada Pemerintah Daerah (Pemda).[9]
2.      Berdasarkan pihak yang menanggung
Berdasarkan pihak yang menanggung, ada dua macam pajak, yaitu :
a)      Pajak Langsung
Misalnya : Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Bumi Bangunan (PBB).
b)      Pajak Tidak Langsung
Misalnya : Pajak Penjualan (PPn), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Bea Materai,  Bea Cukai, Pajak Penjualan Barang Mewah (PPn-BM).
3.      Berdasarkan Pihak yang Memungut
Berdasarkan pihak yang memungut, pajak dibedakan menjadi :
a)      Pajak Negara
Misalnya : Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Bumi Bangunan (PBB), Pajak Penjualan (PPn), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Bea Materai, Bea Cukai, Pajak Penjualan Barang Mewah (PPn-BM).
b)      Pajak Daerah
Misalnya : Retribusi Parkir, Pajak tontonan, pajak Reklame, Retribusi Terminal.
4.      Berdasarkan Sifatnya
Berdasarkan sifatnya, pajak dibedakan menjadi :
a)      Pajak Objektif
Misalnya : Pajak Penghasilan (PPh).
b)      Pajak Subjektif
Misalnya : Pajak Bumi Bangunan (PBB), pajak Penjualan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak penjualan Barang Mewah (PPn-BM).[10]

Selain pajak-pajak yang dikelola pemerintah daerah diatas juga terdapat pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota antara lain:[11]
1.      Pajak Propinsi
a.       Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Diatas Air,
b.      Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Diatas Air,
c.        Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor,
d.      Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan,
2.      Pajak Kabupaten Kota
a.       Pajak Hotel,
b.      Pajak Restoran,
c.       Pajak Hiburan,
d.      Pajak Reklame
e.       Pajak Penerangan Jalan,
f.       Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C,
g.      Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan,

Selain yang dibahas diatas, dalam parktek sering dikenakan pungutan yang disebut sumbangan wajib. Sumbangan wajib biasanya tidak memiliki kejelasan balas jasa maupun imabalanya. Sumbangan atau sumangan wajib yang didasarkan atas ketentuan yang sah dan hasilnya masuk ke kas negara maka pungutan tersebut merupakan pungutan yang legal.

E.     Dasar Hukum, Dasar Pengenaan Pajak, Teori dan Asas Pemungutannya
Dasar Hukum
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan:
§  Pasal 4 (2) yang mengatur tentang penghasilan yang dapat dikenai pajak yang bersifat final yang cara pemotongannya melalui pihak ketiga
§  Pasal 20 (1) yang berisi tentang pelunasan pajak dalam tahun berjalan melalui pemotongan dan pemungutan pajak oleh pihak lain, serta pembayaran pajak oleh Wajib Pajak sendiri
§  Pasal 21 yang mengatur tentang pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan jasa atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diterima orang pribadi dalam negeri yang dilakukan oleh pemberi kerja, bendahara pemerintah, atau penyelenggara kegiatan
§  Pasal 22 yang mengatur tentang pemungutan pajak atas penghasilan dari usaha yang dilakukan oleh bendahara pemerintah, badan-badan tertentu dan Wajib Pajak badan tertentu yang  telah ditunjuk dan ditetapkan olehh Menteri Keuangan
§  Pasal 23 yang mengatur tentang pemotongan pajak atas penghasilan dari modal, jasa, dan kegiatan tertentu yang dilakukan yang dilakukan leh badan pemerintah, subjek badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, BUT, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya
§  Pasal 24 yang mengatur tentang pemotongan pajak atas penghasilan yang diterima dan diperoleh dari luar negeri
§  Pasal 26 yang mengatur tentang pemotongan pajak atas dalam bentuk apapun yang diterima orang pribadi luar negeri selain BUT di Indonesia yang dilakukan oleh subjek pajak dalam negeri, bendahara pemerintah, atau penyelenggara kegiatan.
b.      PER-70/PJ./2007

Dasar Pengenaan Pajak
Untuk menghitung PPh, terlebih dahulu harus diketahui dasar pengenaan pajaknya. Untuk wajib pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT) yang menjadi dasar pengenaan pajak adalah Penghasilan Kena Pajak. Sedangkan untuk wajib pajak luar negeri adalah penghasilan bruto. Dalam bab ini yang akan dibahas hanya wajib pajak dalam negeri saja. Untuk wajib pajak luar negeri akan dibahas pada bab PPh pasal 26. Besarnya penghasilan kena pajak untuk wajib pajak badan dihitung sebesar penghasilan netto. Sedangkan untuk wajib pajak orang pribadi dihitung sebesar penghasilan netto dikurangi dengan Panghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Secara singkat dapat dirumuskan sebagai berikut :[12]
Penghasilan kena pajak (WP Badan)              =Penghasilan netto (PN)
Penghasilan kena pajak (WP Orang Pribadi) = PN-PTKP

Teori Pemungutan Pajak
1.      Teori asuransi: Pajak dianggap sama dengan premi yang harus dibayar rakyat karena negara yang mempunyai tugas menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat dan lingkungan di seluruh wilayah negara.
2.      Teori Kepentingan: Teori kepentingan hanya memperhatikan pembagian beban pajak yang harus dipungut pemerintah kepada rakyat yang disesuaikan dengan kepentingan masing-masing dalam tugas-tugas pemerintah yang bermanfaat baginya termasuk perlindungan atas jiwa beserta harta bendanya.
3.      Teori Daya Pikul: Pajak harus dibayar menurut daya pikul atau kemampuan seseorang.
4.      Teori Bakti: teori yang berdasar atas paham organisasi negara yang mengajarkan bahwa negara negara sebagai organisasi mempunyai tugas untuk menyelenggarakan kepentingan umum. Dengan organisasi dan tindakan negara seperti itu, di satu sisi negara mempunyai hak untuk memungut pajak.
5.      Teori Gaya Beli: penyelenggaraan kepentingan rakyat dapat dapat dianggap sebagai dasar keadilan pemungutan pajak, bukan kepentingan individu dan juga bukan kepentingan negara melainkan kepentingan masyarakat yang meliputi keduanya.[13]

Asas Pemungutan Pajak
1.      Asas Domisisli: Asas ini didasarkan pada domisili atau tempat tinggal wajib pajak di suatu negara. Negara tempat tinggal seseorang berhak mengenakan pajak terhadap seseorang tersebut tanpa melihat darimana sumber penghasilan atau pendapatanya diperoleh dan tanpa melohat kebangsaan atau kewarga negarann wajib pajak tersebut.
2.      Asas Sumber: Dalam asas ini pemungutan didasarkan pada adanya sumber pendapatan alam suatu negara. Negara menjadi tempat sumber pendapatan tersebut  berhak memungut pajak tanpa memperhatikan domisili dan kewarganegaraan wajib pajak.
3.      Asas Kebangsaan: Pada asas inivpemungutan pajak didasarkan pada kebangsaan seseorang. Yang berhak memungut pajak seseorang adalah negara yang menjadi kebangsaan orang tersebut.[14]

F.     Tata Cara pemungutan
Sistem Pemungutan Pajak
1.      Official Assesment System: adalah sistem pemungutan pajak yang menyatakan bahwa jumlah pajak yang dilunasi atau terhutang oleh wajib pajak  dihitung dan ditetapkan oleh aparat pajak atau fiscus.[15]
Ciri-cirinya:[16]
·         Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang berada pada pemerintah (fiskus).
·         Wajib Pajak (WP) bersifat pasif.
·         Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak  oleh pemerintah (fiskus).
2.      Self Assesment System: adalah sistem pemungutan pajak yang menyatakan bahwa jumlah pajak yang dilunasi atau terhutang oleh wajib pajak dihitung sendiri oleh wajib pajak.[17]
Ciri-cirinya:[18]
·         Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada Wajib Pajak (WP) sendiri.
·         Wajib Pajak (WP) aktif mulai dari menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri pajak terutang.
·         Pemerintah (fiskus) tidak ikut campur dan hanya mengawasi.
3.      Withholding System: adalah adalah sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga untuk memotong atau memungut besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak (WP).[19] sistem perpajakan dimana pihak ketiga baik Wajib Pajak Orang Pribadi maupun Wajib Pajak Badan Dalam Negeri diberi kepercayaan oleh peraturan perundang-undangan untuk melaksanakan kewajiban memotong atau memungut pajak atas penghasilan yang dibayarkan kepada penerimaan penghasilan. Pihak ketiga tersebut memiliki peran aktif dalam sistem ini, dan fiskus berperan dalam pemeriksaan pajak, penagihan, maupun tindakan penyitaan apabila ada indikasi pelanggran perpajakan, seperti halnya pada self assessment system. [20]
Ciri-cirinya:[21]
·         Wewenang menetukan besarnya pajak yang terutang ada pada pihak ketiga, pihak selain pemerintah (fiskus) dan Wajib Pajak (WP).

Stelsel Pajak
Pemungutan pajak dapat dilakukan berdasarkan 3 (tiga) stelsel yaitu:[22]
1.      Stelsel Nyata (Riel Stelsel)
Pengenaan pajak didasarkan pada objek pajak (penghasilan yang nyata) sehingga pemungutannya baru dapat dilakukan pada akhir tahun pajak, yakni setelah penghasilan yang sesungguhnya telah dapat diketahui.
2.      Stelsel Anggapan (Fictieve Stelsel)
Pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh Undang-undang, misalnya penghasilan suatu tahun dianggap sama dengan tahun sebelumnya sehingga pada awal tahun pajak telah dapat ditetapkan besarnya pajak terutang.
3.      Stelsel Campuran
Stelsel ini merupakan kombinasi antara stelsel nyata dengan stelsel anggapan pada awal tahun, besarnya pajak dihitung berdasarkan suatu anggapan, kemudian pada akhir tahun besar pajak disesuaikan dengan keadaan yang sebenarnya. Sehingga pada stelsel ini adanya perhitungan dan pembayaran pajak yang kurang bayar dan lebih bayar

G.    Subjek Pajak dan Wajib Pajak
Subjek Pajak
Menurut Undang Undang no.36 tahun 2008 tentang pajak penghasilan, subyek pajak penghasilan adalah sebagai berikut:[23]
1.      Subyek pajak pribadi yaitu orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.
2.      Subyek pajak harta warisan belum dibagi yaitu warisan dari seseorang yang sudah meninggal dan belum dibagi tetapi menghasilkan pendapatan, maka pendapatan itu dikenakan pajak.
3.      Subyek pajak badan badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria:
·           Pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang undangan;
·           Pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
·           Penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah; dan pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara; dan
·           Bentuk usaha tetap yaitu bentuk usaha yang digunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu dua belas bulan, atau badan yang tidak didirikan dan berkedudukan di Indonesia, yang melakukan kegiatan di Indonesia.

Pajak penghasilan dikenakan terhadap Subjek Pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam Tahun Pajak. Seperti yang telah diuraikan diatas jelasnya yaitu:[24]
1.       -Orang pribadi
 -Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikanyang berhak.
2.      Badan, teridi dari PT, CV, Perseroan lainnya, BUMN/BUMD dengan nama dan bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisani massa politik, atau organisasi yang sejejenis, lembaga, dan bentuk badan lainnya.
3.      Bentuk Usaha Tetap (BUT)

Subjek Pajak dapat dibedakan menjadi :
1.      Subjek Pajak dalam negeri yang terdiri dari :
a.       Subjek Pajak orang pribadi, yaitu :
·         Orang pribadi yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia lebih dari 183 hari (tidak harus berturut-turut) dalam jangka waktu 12 bulan, atau
·         Orang pribadi yang dalam satu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat bertempat tinggal di Indonesia.
b.      Subjek Pajak badan, yaitu :
Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia. Kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria:
·         Pembentukannya berdassarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
·         Pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
·         Penerimaanyya dimasukkan dalam anggaran Pemerinta Pusat atau Pemerintah Daerah; dan
·         Pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara.
c.       Subjek Pajak Warisan, yaitu :
Warisan yang belum dibagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak.
2.      Subjek Pajak luar negeri yang terdiri dari :
a.       Subjek Pajak orang pribadi, yaitu Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, yang:
·         Menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia
·         Dapat menerima atau memperoleh penghsiland dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atu melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indinesia.
b.      Subjek Pajak badan, yaitu Badan yang didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang :
·         Menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
·         Dapat menerima atau memperoleh panghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atu melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.

Subek Pajak dalam negeri menjadi Wajib Pajak apabila telah menerima atau memperoleh panghasilan. Sedangkan Subjek Pajak luar negeri sekaligus menjadi wajib pajak, sehubungan dengan penghasilan yang diterima dari sumber penghasilan di Indonesia atau memperoleh melalui bentuk usaha tetap di Indonesia. Dengan kata lain, Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang telah memenuhi kewajiban subjektif dan objektif.
Subjek pajak tersebut dikenai pajak apabila menerima atau memperoleh penghasilan. Subjek pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan, dalam Undang-Undang No. 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (PPh) disebut Wajib Pajak. Wajib Pajak dikenai pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya selama satu tahun pajak atau dapat pula dikenai pajak untuk penghasilan dalam bagian tahun pajak apabila kewajiban pajak subjektifnya dimulai atau berakhir dalam tahun pajak.

Wajib Pajak Dalam Negeri Wajib Pajak Luar Negeri
Dikenakan pajak atas penghasilan baik yang diterima atau diiperoleh dari Indonesia dan luar Indonesia
a.       Dekenakan pajak berdasarkan penghasilan netto
b.      Tarif pajak yang digunakan adalah tariff umum (Tarif UU PPh pasal 17).
c.       Wajib menyampaikan SPT 1.Dikenakan pajak hanya atas penghasilan yang berasal dari sumber penghasilan di Indonesia.
d.      Dikenakan pajak berdasarkan penghsasilan bruto.
e.       Tarif pajak yang digunakan adalah tariff sepadan (tariff UU PPh pasal 26).
f.       Tidak wajib meny ampaikan SPT.

Perbedaan Wajib Pajak dalam negeri dan Wajib Pajak luar negeri, antara lain adalah:[25]
Wajib Pajak Dalam Negeri
Wajib Pajak Luar Negeri
·         Dikenakan pajak atas penghasilan baik yang diterima atau diperoleh dari Indonesia dan dari luar Indonesia
·         Dikenakan pajak berdasarkan Penghasilan Netto
·         Tarif pajak yang digunakan adalah tarif umum (tarif UU pph pasal 17)
·         Wajib menyampaikan SPT
·         Dikenakan pajak hanya atas penghasilan yang berasal dari sumber penghasilan di Indonesia

·         Dikenakan pajak berdasarkan Penghasilan Netto
·         Tarif pajak yang digunakan adalah tarif sepadan (tarif UU PPh pasal 26)
·         Tidak wajib menyampaikan SPT

H.    Kewajiban Pajak Subjektif[26]
Untuk lebih memperjelas pengertian, kapan mulai dan berakhirnya sebagai subjek pajak dalam negeri maupun subjek pajak luar negeri, berikut ini diberikan table mulai dan berakhirnya kewajiban pajak subjektif.

MULAI
BERAKHIR
Subjek Pajak Dalam Negeri Orang Pribadi:
·         Saat dilakhirkan
·         Saat berada di Indonesia atau bertempat tinggal di Indonesia
Subjek Pajak Dalam Negeri Badan:
·         Saat didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia
Subjek Pajak Dalam Negeri Orang Pribadi Di Indonesia:
·         Saat meninggal
·         Saat meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya
Subjek Pajak Dalm Negeri Badan:
·         Saat dibubarkan atau tidak lagi bertempat kedudukan di Indonesia
Subjek Pajak Luar Negeri Melalui BUT:
·         Saat menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia
Subjek Pajak Luar Negeri Melalui BUT:
·         Saat tidak lagi menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia
Subjek Pajak Luar Negeri Tidak Melalui BUT:
·         Saat menerima atau memperoleh panghasilan di Indonesia
Subjek Pajak Luar Negeri Tidak Melalui BUT:
·         Saat tidak lagi menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia
Warisan Belum Terbagi:
·         Saat timbulnya warisan yang belum terbagi
Warisan Belum Terbagi:
·         Saat warisan telah selesai di bagikan

I.       Bukan subyek pajak penghasilan
Undang Undang No. 17 tahun 2000 menjelaskan tentang apa yang tidak termasuk obyek pajak sebagai berikut:[27]
1.   Badan perwakilan negara asing.
2.   Pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat - pejabat lain dari negara asing dan orang - orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama mereka dengan syarat :
·         Bukan warga negara indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatannya di Indonesia.
·         Negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik.
3.      Organisasi internasional sebagai mana dimaksud dalam keputusan menteri keuangan no 661/KMK.04./1994 tanggal 23 Desember 1994 sebagai mana telah diubah terkhir dengan keputusan Menteri Keuangan nomor 314/KMK.04/1998 tanggal 15 juni 1998, dengan syarat :
·         Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut.
·         Tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untnuk memperoleh penghasilan dari Indonesia selain pemberian pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran
Para anggota.yang ditetapkan oleh keputusan menteri keuangan dengan syarat Indonesia ikut dalam organisasi tersebut dan organisasi tersebut tidak melakukan kegiatan usaha di Indonesia. Contoh: WTO, FAO, UNICEF.
4.      Pejabat perwakilan oraganisasi internasional sebagai mana dimaksud dalam keputusan Menteri Keuangan no 611/KMK.04/1994 tanggal 23 Desember 1994 sebagaimana telah diubah dengan keputusan Menteri Keuangan nomor 314/KMK.04/1998 tanggal 15 juni 1998, dengan syarat :
·         Bukan warga Negara Indonesia
·         Tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan atau pekerjaan lain untuk     memperoleh penghasilan di Indonesia.
Pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan oleh keputusan menteri keuangan dengan syarat bukan warga negara indonesia dan tidak memperoleh penghasilan dari Indonesia.

J.      Objek Pajak dan Bukan Objek Pajak
Objek Pajak
Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan. Penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dari bentuk apapun.
Yang termasuk dalam pengertian penghasilan adalah :[28]
1.      Imbalan berkenaan dengan pakerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini.
2.      Hadiah dari undian pekerjaan atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan.
3.      Laba usaha
4.      Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk :
·         Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal.
·         Keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan dan badan lainnya karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota.
·         Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peluburan, pemekaran, pemecahan, atau pengambilalihan usaha.
·         Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan, kecuali diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tiada ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasa antara pihak-pihak yang bersangkutan.
5.      Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya
6.      Bunga termasuk premium, diskontom dan imbalan lain karena jaminan pengembalian utang.
7.      Dividen, dengan nama dan bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi
8.      Royalty
9.      Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta.
10.  Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala.
11.  Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
12.  Keuntungan karena selisih penilaian kembali aktiva.
13.  Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva.
14.  Premi asuransi.
15.  Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari wajib pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas.
16.  Tambahan kekayaan netto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak.
Penghasilan tersebut dapat dikelompokan menjadi :
a)      Penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas, seperti gaji, honorarium, penghasilan dan praktik dokter, notaris, aktuaris, akuntan, pengacara, dan sebagainya.
b)      Penghasilan dari usaha atau kegiatan.
c)      Penghasilan dari modal atau penggunaan harta, seperti sewa, bunga, dividen, royalty, keuntungan dari penjualan harta yang tidak digunakan, dan sebagainya.
d)     Penghasilan lain-lain, yaitu penghasilan yang tidak dapat di klasifikasikan ke dalama salah satu dari tiga kelompok penghasilan di atas, seperti :
·         Keuntungan karena pembebasan utang.
·         Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing.
·         Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva.
·         Hadiah undian.
Yang menjadi Objek Pajak adalah penghasilan yaitu setiap Tambahan Kemampuan Ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, Bagi Wajib Pajak Dalam Negeri, yang menjadi objek pajak adalah penghasilan baik yang berasal dari Indonesia maupun luar Indonesia. Sedangkan bagi Wajib Pajak Luar Negeri, yang menjadi objek pajak hanya penghasilan yang berasal dari Indonesia saja.
Undang-undang Pajak Penghasilan Indonesia menganut prinsip pemajakan atas penghasilan dalam pengertian yang luas, yaitu bahwa pajak dikenakan atas setiap tambahan kemampuan ekonomis yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak dari manapun asalnya yang dapat dipergunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan Wajib Pajak tersebut.
Pengertian penghasilan dalam Undang-undang PPh tidak memperhatikan adanya penghasilan dari sumber tertentu, tetapi pada adanya tambahan kemampuan ekonomis. Tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak merupakan ukuran terbaik mengenai kemampuan Wajib Pajak tersebut untuk ikut bersama-sama memikul biaya yang diperlukan pemerintah untuk kegiatan rutin dan pembangunan.
Dilihat dari penggunaannya, penghasilan dapat dipakai untuk konsumsi dan dapat pula ditabung untuk menambah kekayaan Wajib Pajak.
Karena Undang-undang PPh menganut pengertian penghasilan yang luas maka semua jenis penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu tahun pajak digabungkan untuk mendapatkan dasar pengenaan pajak. Dengan demikian, apabila dalam satu Tahun Pajak suatu usaha atau kegiatan menderita kerugian, maka kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan lainnya (Kompensasi Horisontal), kecuali kerugian yang diderita di luar negeri. Namun demikian, apabila suatu jenis penghasilan dikenakan pajak dengan tarif yang bersifat final atau dikecualikan dari Objek Pajak, maka penghasilan tersebut tidak boleh digabungkan dengan penghasilan lain yang dikenakan tarif umum.[29]

Bukan Objek Pajak
1.      Tidak termasuk sebagai objek pajak adalah :[30]
a.       Bantuan sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan para penerima zakat yang berhak atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima sumbangan yang berhak, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah; dan
b.      Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keuntungan lurus satu derajat, dan oleh badan keagamaan atau bandan pendidikan atau badan social atau pengusaha kecil, termasuk koperasi yang ditetapkan oleh menteri keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan;
2.      Warisan;
3.      Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;
4.      Penggaian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan atau kenikmatan dari wajib pajak atau pemerintah, kecuali yang diberikan oleh bukan wajib pajak, Wajib Pajak yang dikenakan pajak secara final atau Wajib Pajak yang menggunakan norma penghitungan khusus (deemed profit);
5.      Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa;
6.      Dividen atau pembagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai wajib pajak dalam negeri, koperasi, BUMN, atau BUMD, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat :
·         Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan.
·         Bagi perseoan terbatas, BUMN dan BUMD yang menerima dividen paling rendah 25% dari jumlah modal yang disetor dan harus mempunyai usaha aktif diluar kepemilikan saham tersebut.
7.      Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh menteri keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai.
8.      Penghsailan dari modal uang ditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana dimaksud pada angka 7, dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan pleh menteri keuangan.
9.      Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif;
10.  Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalanjan usaha atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut :
·         Merupakan perusahaan kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam sector-sektor usaha y ang ditetapkan dengan keputusan menteri keuangan.
·         Sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.
11.  Beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
12.  Sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi yang membudanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan, dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; dan
13.  Bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial kepada Wajib Pajak tertentu, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
14.  Bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan raksadana selama 5 tahun pertama sejak pemberian ijin usaha.

K.    Kronologi Perubahan Undang-undang yang mengatur Pajak Penghasilan
Pajak Penghasilan (PPh) di Indonesia diatur pertama kali dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 dengan penjelasan pada Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50. Selanjutnya berturut-turut peraturan ini diamandemen oleh :[31]
1.   Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991,
2.   Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994, dan
3.   Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000.
4.   Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
Mulai Juli 2003 sampai Desember 2004, pemerintah menerapkan sistem pajak yang ditanggung pemerintah yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2003 dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 486/KMK.03/2003.
Perubahan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) telah disesuaikan juga beberapa kali dalam:
1.   Peraturan Menteri Keuangan Nomor 564/KMK.03/2004, berlaku untuk tahun pajak 2005 (sekaligus meniadakan pajak yang ditanggung pemerintah).
2.   Peraturan Menteri Keuangan Nomor 137/PMK.03/2005, berlaku untuk tahun pajak 2006.

L.     Tarif Pajak penghasilan atau PPh
Tarif Pajak penghasilan atau PPh dibagi atas:
1.      Untuk WP orang pribadi sebagai berikut:
·         Rp. 0 s.d. Rp 50 juta, tarifnya 5%
·         Rp. 50 juta s.d. Rp 250 juta, tarifnya 15%
·         Rp. 250 juta s.d. Rp 500 juta, tarifnya 25%
·         >Rp.500 juta, tarifnya 30%
2.      Untuk WP berbentuk badan usaha sebagai berikut:
·         WP Badan Dalam Negeri BUT 28% -Berlaku mulai sejak tahun 2010
·         PT 40% dari jumlahkeseluruhan saham yang disetor diperdagangkan di BEI (Bursa Efak Indonesia) dan memenuhi persayaratan tertentu lainnya dapat memperoleh tarif sebesar 5% lebih rendah dari pada tarif yang berlaku.
·         WP Badan Dalam Negeri dengan Peredaran Bruto samapai dengan Rp. 50.000.000.000.00 mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% yang dikenakan atas PKP dari bagian Peredaran Bruto samapai dengan Rp.4.800.000.000.00

Tarif Pajak penghasilan atau PPh dibagi atas adalah tarif progresif. Artinya setiap lapisan Penghasilan Kena Pajak dikenakan sesuai tarifnya, tidak diakumulasi terlebih dahulu, baru dikenakan tarif. Sebelum dikenakan tarif, Penghasilan Kena Pajak dibulatkan dulu sampai ribuan ke bawah.
contoh :
Penghasilan Kena Pajak WP orang pribadi = Rp 300.000.950
Penghasilan Kena Pajak dibulatkan : Rp 300.000.000
PPh nya adalah :
5% x Rp 50.000.000           = Rp   2.500.000
15% x Rp 200.000.000       = Rp 30.000.000
Total                                   = Rp 32.500.000.

M.   Cara Menghitung Penghasilan Kena Pajak
Pajak penghasilan (bagi wajib pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap) setahun dihitung dengan cara mengalihkan Penghasilan Kena Pajak dengan tariff pajak sebagaimana diatur dalam UU PPh pasal 17. Untuk menghitung PPh dapat digunakan rumus sebagai berikut :[32]
Pajak penghasilan (wajib pajak badan)
·         Penghasilan kena pajak x tariff pasal 17
·         (Penghasilan netto – PTKP) x tariff pasal 17
·         (Penghasilan bruto – biaya yang diperkenankan UU PPh) x tariff pasal 17
Pajak Penghasilan (WP orang pribadi)
·         Penghasilan kena pajak x tariff pasal 17
·         (Penghasilan netto – PTKP) x pasal 17 [(Penghasilan bruto – biaya yang diperkenankan UU PPh)-PTKP] x tariff pasal 17
Catatan :
Untuk keperluan penghitungan PPh yang terutang pada akhir tahun, penghasilan kena pajak dibulatkan ke bawah hingga ribuan penuh.

Contoh:
·         PT Cahaya, sepanjang tahun 2010 mempunyai penghasilan kena pajak sebesar Rp.4.500.000.000,00. Dengan PKP sebesar Rp.500.000.000,00 perhitungan pajak terutang:
Seluruh PKP yang diperoleh dari peredaran bruto tersebut dikenai tarif sebesar 50% dari tarif pajak penghasilan badan yang berlaku karena jumlah peredaran bruto PT. Cahaya tidak melebihi Rp. 4.800.000.000,00.
Pajak penghasilan yang terutang:
(50%x25%)x Rp. 500.000.000,00 = Rp.62.500.000,00

·         Predaran bruto PT. Marwa dalam tahun pajak 2010 sebesar Rp.30.000.000.000,00 dengan PKP sebesar Rp.3.000.000.000,00. Penghitungan pajak penghasilan yang terutang:
Jumlah PKP dari bagian PB (peredaran bruto) yang memperoleh fasilitas:
(Rp. 4.800.000.000,00  : Rp.30.000.000.000,00) x Rp.3.000.000.000,00
= Rp. 480.000.000,00.
Jumlah PKP dari bagian PB yang tidak memperoleh fasilitas:
Rp.3.000.000.000,00 - Rp. 480.000.000,00 = Rp.2.520.000.000,00
Pajak penghasilan yang terutang:
-(50%x28%) x Rp. 480.000.000,00                            = Rp.  67.200.000,00
-28% x Rp.2.520.000.000,00.                                     = Rp.705.600.000,00
Jumlah pajak penghasilan yang terutang                     = Rp.772.800.000,00

·         Gunawan pada tahun 2010 mempunyai Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp.241.850.600,00. Besarnya pajak penghasilan yang harus dibayar atau terutang oleh Gunawan adalah:
Penghasilan kena pajak (PKP)            = Rp. 241.850.600,00.
(dibulatkan ke bawah hingga ribuan penuh)
Pajak penghasilan yang harus dibayar:
5%   x Rp.50.000.000,00                    = Rp.  2.500.000,00
15% x Rp.191.850.000,00                  = Rp.28.777.500,00
Jumlah                                                 = Rp.31.277.500,00

Penghitungan besarnya Penghasilan Netto bagi Wajib Pajak Dalam Negeri dan bentuk usaha tetap dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu :
            1. Menggunakan pembukuan
2. Menggunakan norma perhitungan
Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan, dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi pada setiap tahun pajak berakhir. Wajib pajak badan dan wajib pajak pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas diwajibkan menyelenggarakan pembukuan.
Dikecualikan dari kewajiban menyelenggarakan pembukuan tetapi wajib melakukan pencatatan adalah wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atu pekerjaan bebas yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan :
·         Diperbolehkan menghitung penghasilan netto dengan menggunakan norma penghitungan penghasilan netto.
·         Wajib pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.
Pencatatan oleh wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha dan pekerjaan bebas meliputi peredaran atau penerimaan bruto dan penerimaan penghasilan lainnya. Sedangkan bagi mereka yang semata-mata menerima penghasilan dari luar usaha dan pekerjaan bebas pancatatan hanya mengenai panghasilan bruto, pengurang, dan penghasilan netto yang merupakan objek pajak penghasilan. Di samping itu pencatatan meliputi pula penghasilan yang bukan objek pajak atau yang dikenakan pajak yang bersifat final.
Pembukuan atau pencatatan harus :
·         Diselenggarakan dengan memperhatikan itikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya.
·         Diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf latin, angka arab, satuan mata uang rupiah.
·         Disusun dalam bahasa Indonesia atau dalam bahasa asing yang diizinkan oleh menteri keuangan (misalnya, bahasa inggris ).

Mengitung Penghasilan Kena Pajak dengan Menggunakan Pembukuan
Untuk wajib pajak badan besarnya penghasilan kena pajak sama dengan penghasilan netto, yaitu penghasilan bruto dikurangi dengan biaya-biaya yang diperkenankan oleh undang-undang PPh. Sedangkan untuk wajib pajak orang pribadi besarnya penghasilan kena pajak sama dengan penghasilan netto dirumuskan sebagai berikut :

Penghasilan Kena Pajak (WP Orang Pribadi):
Penghasilan netto (PN) = (Penghasilan bruto – biaya yang diperkenankan UU PPh) – PTKP
Penghasilan Kena Pajak (WP Badan)
= Penghasilan netto (PN)
= Penghasilan bruto – biaya yang diperkenankan UU PPh

Menurut ketentuan undang-undang PPh, biaya-biaya (pengeluaran) dapat digolongkan menjadi dua, yaitu :
1. Yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.
2. Yang tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.
Biaya-biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto adalah sebagai berikut :
a)      Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk:
·         biaya pembelian bahan,
·         biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang,
·         bunga, sewa, royalty,
·         biaya perjalanan,
·         biaya pengolahan limbah,
·         premi asuransi,
·         biaya administrasi, dan
·         pajak, kecuali pajak penghasilan.
b)      Penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai Masa manfaat lebih dari satu tahun.
c)      Iuran dengan dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh menteri keuangan.
d)     Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan.
e)      Kerugian atas selisih kurs mata uang asing.
f)       Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia.
g)      Biaya beasiswa, magang, pelatihan
h)      Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), khusus bagi wajib pajak dalam negeri orang pribadi.
i)        Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih, dengan syarat :
·         Telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan keuangan komersial.
·         Telah diserahkan perkara penagihannya kepada pengadilan negeri atas Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN) atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan,
·         Telah dipublikasikan dalam pererbitan umum atau khusus, atau adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah uang tertentu;
·         Wajib pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada Direktorat Jendral Pajak, yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan keputusan Direktorat Jendral Pajak.
·         Syarat sebagaimana yang dimaksud pada Point dua dan tiga tidak berlaku untuk penghapusan piutang tak tertagih debitur kecil.
j)        Pembentukan atau pemupukan dana cadangan berupa candangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan sewa guna usaha dengan hak opsi, cadangan untuk usaha asuransi, dan cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan, yang ketentuan dan syarat-syaratnya ditetapkan dengan keputusan menteri keuangan.
k)      Premi asuransi keuangan, asuransi kecelekaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa yang dibayar oleh pemberi kerja dan premi asuransi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi wajib pajak orang pribadi yang bersangkutan.
l)        Panggatian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan berupa penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai
m)    Panggatian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan :
·         Di daerah tertentu (misalnya: daerah terpencil)
·         Berkaitan dengan palaksanaan pekerjaan, yang ditetapkan dengan keputusan menteri keuangan.
n)      Kompensasi kerugian fiscal tahun sebelumnya (max 5 tahun).
Sedangkan biaya-biaya yang tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto menurut undang-undang PPh adalah :
1)      Pembagian dengan nama dan bentuk apapun seperti dividen, termasuk dividen yang dibagikan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi.
2)      Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu, atau anggota.
3)      Pembentukan atau pemupukan dana cadangan kecuali:
·         Cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan pembiayaan konsumen, dan perusahaan ajak piutang;
·         Cadangan untuk usaha asuransi, termasuk cadangan bantuan sosial yang dibentuk oleh badan penyelenggara jaminan sosial;
·         Cadangan penjaminan untuk lembaga penjaminan simpanan;
·         Cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan, yang ketentuan dan syarat-syaratnya ditetapkan dengan keputusan menteri keuangan.
·         Cadangan penanaman kembali untuk usaha kehutanan; dan
·         Cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah industri untuk usaha pengelolaan limbah industri, yang ketentuan dan syarat-syaratnya diatur dengan atau berdasarkan peratuaran menteri keuanagan.
4)      Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa, yang dibayar oleh wajib pajak orang pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi asuransi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi wajib pajak yang bersangkutan.
5)      Panggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dana minuman bagi seluruh pegawai serta;
6)      Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan :
·         Di daerah tertentu.
·         Berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan.
·         Yang ditetapkan dengan keputusan menteri keuangan.
7)      Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan.
8)      Harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan dan warisan, kecuali zakat atas penghasilan yang nyata-nyata dibayarkan oleh wajib pajak orang pribadi pemeluk agama islam dan atau wajib pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah.
9)      Pajak penghasilan.
10)  Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi wajib pajak atau orang yang menjadi tanggungannya.
11)  Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham.
12)  Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di bidang perpakajan.
13)  Biaya-biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang :
·         Dikenakan PPh yang bersifat final.
·         Bukan objek PPh.
14)  Biaya-biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang PPh-nya dihitung dengan menggunakan norma perhitungan penghasilan netto.

Mengitung Penghasilan Kena Pajak Dengan Menggunakan
Norma Penghitungan Penghasilan Netto. [33]
Apabila dalam menghitung penghasilan kena pajaknya wajib pajak menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Netto, besarnya penghasilan netto adalah sama besarnya dengan besarnya (persentase) Norma Penghitungan Penghasilan Netto dikalikan dengan jumlah peredaran usaha atau penerimaan bruto pekerjaan bebas setahun.
Pedoman untuk menentukan penghasilan netto, dibuat dan disempurnakan terus-menerus serta diterbitkan oleh direktur jendral pajak berdasarkan pegangan yang ditetapkan oleh menteri keuangan.

Wajib pajak yang boleh menggunakan norma penghitungan adalah wajib pajak orang pribadi yang memenuhi syarat sebagai berikut :
1.      Peredaran bruto kurang dari Rp 4.800.000.000,00 per tahun
2.      Mengajukan permohonan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama dari tahun buku
3.      Menyelenggarakan pencatatan

Berikut ini adalah contoh penghitungan pajak yang terutang dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Netto.
Wajib pajak Anto kawin (istri tidak bekerja) dan meempunyai 3 orang anak. Ia seorang dokter bertempat tinggal di Jakarta yang juga memiliki industri rotan di Cirebon. Misalnya besarnya persentase norma untuk industri rotan di Cirebon 12,5% dan dokter di Jakarta 45%.
            Peredaran usaha dari industri rotan di Cirebon setahun Rp.400.000.000,00
            Peredaran bruto seorang dokter di Jakarta setahaun Rp. 100.000.000,00
Penghasilan netto (PN) dihitung sebagai berikut :
Industri rotan                          : 12,5% (Rp.400.000.000,00) = Rp.50.000.000,00
Sebagai seorang dokter           : 45% (Rp 100.000.000,00)     = Rp.45.000.000,00
Jumlah PN                                                                               = Rp.95.000.000,00
PTKP                                                                                      = Rp.21.120.000,00
PKP                                                                                         = Rp.73.880.000,00

N.    Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
Besarnya PTKP setahun yang berlaku saat ini adalah :[34]
·         Rp.15.840.000,00 untuk wajib pajak orang pribadi.
·         Rp.1.320.000,00 tambahan untuk wajib pajak yang kawin.
·         Rp.15.840.000,00 tambahan untuk seorang istri yang penghasilannya di gabung dengan penghasilan suami, dengan syarat:
1.      Penghasilan istri tidak semata-mata diterima atau diperoleh dari satu pemberi kerja yang telah dipotong pajak berdasarkan ketentuan dalam Undang-undang dalam pasal 21.
2.      Pekerjaan istri tidak ada hubungannya dengan usaha atau pekerjaan bebas suami atau anggota keluarga lain.
·         Rp.1.320.000,00 tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus satu derajat serta anak angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya (max 3 orang).

Pengitungan PTKP ditentukan menurut keadaan pada awal tahun pajak atau awal bagian tahun pajak. Penghitungan PTKP untuk pegawai lama (tahun sebelumnya sudah bekerja di Indonesia) dilakukan dengan melihat keadaan pada awal tahun takwim (1 januari). Bagi pegawai yang baru datang dan menetap di Indonesia dalam bagian tahun takwim, besarnya PTKP tersebut berdasarkan keadaan pada awal bulan dari bagian tahun takwim yang bersangkutan.
Dalam hal karyawati kawin, PTKP yang dikurangkan adalah hanya untuk dirinya sendiri, dalam hal karyawati tidak kawin, pengurangan PTKP selain untuk dirinya sendiri juga PTKP untuk keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya.

Contoh penghitungan PTKP:
1.      Joko sudah menikah dengan mempunyai seorang anak. PTKP Joko selain Joko adalah:
PTKP setahun :
Untuk wajib pajak sendiri                   = Rp.15.840.000,00
Tambahan WP kawin                          = Rp.  1.320.000,00
Tambahan satu anak                            = Rp.  1.320.000,00
Jumlah                                                 = Rp.18.480.000,00
2.      John (warga Negara asing) bekerja di Indonesia pada tanggal 1 Oktober 2002 dengan kontrak kerja selama 2 tahu. John mempunyai 3 anak. PTKP John adalah:
PTKP setahun:
Untuk WP sendiri                               = Rp.15.840.000,00
Untuk WP kawin                                = Rp.  1.320.000,00
Tambahan 3 anak                                = Rp.  3.960.000,00
Jumlah                                                 = Rp.21.120.000,00

O.    Pemotongan Atau Pemungutan Pajak Penghasilan Yang Bersifat Final
Dalam ketentuan mengenai pajak penghasilan yang berlaku saat ini, ada bebarapa jenis penghasilan (objek pajak) yang dikenekan pemotongan atau pemungutan pajak yang bersifat final. Penghasilan yang dikenakan pemotongan atau pemungutan PPh yang bersifat final, tetap dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT), hanya saja jumlahnya tidak di jumlahkan dengan penghasilan lainnya.[35]

P.     Cara Melunasi Pajak
Pada dasarnya, wajib pajak dapat menghitung dan melunasi pajak penghasilan melalui dua cara, yaitu :[36]
1.      Pelunasan pajak tahun berjalan, yaitu pelunasan pajak dalam masa pajak yang meliputi:
a.       Pembayaran sendiri oleh wajib pajak (PPh pasal 25) untuk setiap masa pajak.
b.      Pembayaran pajak melalui pemotongan/pemungutan pihak ketiga (orang pribadi atau badan baik swasta maupun pemerintah) berupa kredit pajak yang dapat diperhitungkan dengan jumlah pajak terutang selama tahun pajak, yaitu:
·         Pemotongan PPh atas penghasilan dari pekerjaan, jasa, atau, kegiatan (PPh pasal 21)
·         Pemungutan PPh atas penghasilan dari kegiatan usaha di bidang lain, dan pembayaran atas penyerahan barang kepada badan pemerinrtah (PPh pasal 22)
·         Pemotongan PPh atas penghasilan dari modal atau penggunaan harta oleh orang lain, hadiah, dan penghargaan (PPh pasal 23)
·         Pelunasan PPh diluar negeri atas penghasilan diluar negeri (PPh pasal 24)
·         Pemotongan PPh atas penghasilan yang terutang atas wajib pajak luar negeri (PPh pasal 26)
·         Pemotongan atas penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan-tabungan lainnya, penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek, penghasilan dari pengalihan harta berupatanah atau bangunan serta penghasilan tertentu lainnya (PPh Pasal 4 ayat 2)
2.      Pelunasan pajak sesudah akhir tahun.
Pelunasan lajak sesudah tahun pajak berakhir dilakukan dengan cara:
·         Membayar pajak yang kurang disetor yaitu menghitung sendiri jumlah pajak penghasilan terutang untuk suatu tahun pajak dikurang dengan jumlah kredit pajak tahun yang bersangkutan.
·         Membayar pajak yang kurang disetor berdasarkan surat ketetapan pajak atau surat tagihan pajak yang ditetapkan oleh Direktur Jendral Pajak, apabila terdapat bukti bahwa jumlah pajak penghasilan terutang tidak benar.

Q.    Perlakuan PPh atas pengalihan tanah.
Pengenaan PPh atas penghasilan dari pengalihan tanah dan/atau bangunan berdasarkan Undang-undang No. 10/1994 diatur pada Pasal 4 ayat (2). “Atas penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan-tabungan lainnya, penghasilan dari  transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek, penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan serta penghasilan tertentu lainnya, pengenaan pajaknya diatur dengan Peraturan Pemerintah.”
UU No. 10/1994 tersebut merupakan UU yang mengubah UU No. 7/1983. Dalam UU No.7/1983 pasal 4 ayat (2) hanya mencakup pengenaan PPh atas bunga deposito berjangka dan tabungan lainnya. Kemudian di dalam perubahan UU yang dituangkan dalam UU No.10/1994, cakupan Pasal 4 ayat (2) diperluas sehingga mencakup juga penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek, penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan serta penghasilan tertentu lainnya. Walaupun tidak ditegaskan penghasilan-penghasilan yang dicakup oleh Pasal 4 ayat (2) diperlakukan sebagai final, pada kenyataannya hampir semua penghasilan dimaksud dikenakan PPh final. Pengenaan pajak atas penghasilan-penghasilan yang dicakup di Pasal 4 ayat (2) tersebut diatur dengan peraturan pemerintah.
Perlakuan pajak atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan telah mengalami perubahan sejak diterbitkannya PP 48/1994 sampai yang terakhir yaitu PP 79/1999, khususnya yang menyangkut orang pribadi. Berdasarkan PP 48/1994 orang pribadi yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/bangunan dikenai PPh final sebesar 5% dari jumlah bruto. Perlakuan PPh tersebut diterapkan kepada semua orang pribadi, tanpa membedakan apakah orang yang bersangkutan mempunyai kegiatan usaha pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.
Perlakuan PPh ini kemudian diubah dengan PP 27/1996 yang membedakan antara orang pribadi yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, dengan orang pribadi selain yang mempunyai usaha tersebut.
Berdasarkan PP 27/1996 pengenaan PPh final diterapkan terhadap:
1.      orang pribadi yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, dan
2.      orang pribadi yang mempunyai penghasilan diatas PTKP, yang melakukan pengalihan hak dengan nilai kurang dari Rp60 juta.
PP 27/1996 tidak secara jelas mengatur perlakuan PPh atas pengalihan hak tersebut apabila dilakukan oleh orang pribadi yang mempunyai penghasilan di atas PTKP dan nilai pengalihannya melebihi Rp60 juta. Apabila disimak bunyi Pasal 8 dari PP dimaksud maka perlakuan PPh final hanya terbatas kepada dua kelompok wajib pajak sebagaimana disebutkan di atas.
Dengan demikian, apabila seorang wajib pajak orang pribadi yang usaha pokoknya bukan menjual hak atas tanah dan/atau bangunan, maka keuntungan dari pengalihan tersebut akan dikenakan PPh dengan tarif umum. Perlakuan ini sama dengan ketentuan dari PP 79/1999. Perlakuan PPh terhadap orang pribadi yang usaha pokoknya bukan jual beli hak atas tanah dan/atau bangunan memperoleh perlakuan yang kurang adil bila dibandingkan dengan orang pribadi yang mempunyai usaha pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan. Pengenaan PPh yang tidak final berarti bahwa PPh yang disetor sebesar 5% dari nilai pengalihan merupakan pembayaran pendahuluan dari seluruh PPh yang terutang dalam tahun yang bersangkutan.
Kesulitan akan timbul dalam menghitung keuntungan dari pengalihan tersebut, terutama untuk harta yang telah dimiliki dalam jangka waktu yang cukup lama. Hal ini akan menyebabkan ketidakadilan dari segi beban pajak yang ditanggung terutama untuk harta yang sudah dimiliki dalam kurun waktu yang lama. Harga perolehan yang relatif jauh lebih rendah dari harga peralihannya akan menyebabkan beban pajak yang lebih tinggi. Faktor penyebabnya adalah bahwa Undang-Undang Pajak Penghasilan tidak menerapkan indeksasi untuk harta tetap untuk menentukan harga perolehan dari harta tetap untuk keperluan perpajakan.
Di samping itu, wajib pajak orang pribadi yang tidak menjalankan usaha cenderung untuk tidak melakukan pencatatan sehingga kemungkinan besar sulit untuk mentrasir kembali harga perolehan dari harta dimaksud termasuk dokumen pendukungnya. Sebaliknya wajib pajak orang pribadi yang menjalankan usaha jual beli tanah dan bangunan diterapkan pengenaan pajak yang bersifat final, padahal wajib pajak kelompok ini seharusnya mempunyai catatan atau pembukuan, sehingga harga perolehannya seharusnya dapat diketahui.
PP 27/1996 kemudian diubah dengan PP 79/1999 yang sepanjang menyangkut orang pribadi, memberi penegasan bahwa wajib pajak orang pribadi yang usaha pokoknya bukan dari jual beli hak atas tanah dan/atau bangunan, keuntungan dari pengalihan dimaksud dikenai pajak tetapi tidak final.[37]

R.    Perlakuan PPh atas kerugian yang timbul akibat terjadinya bencana alam.
Pasal 6 Undang-undang PPh mengatur bahwa untuk menghitung Penghasilan Kena Pajak, penghasilan bruto dikurangi dengan biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan, termasuk biaya pembelian bahan, biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa seperti misalnya upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang, bunga, sewa, royalti, biaya perjalanan, biaya pengolahan limbah, premi asuransi, biaya administrasi, dan pajak kecuali PPh penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun, iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya disahkan oleh Menteri Keuangan, kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, kerugian dari selisih kurs mata uang asing, biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia, biaya bea siswa, magang, dan pelatihan, piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih, sepanjang memenuhi syarat-syarat tertentu;
Rincian dari biaya-biaya yang boleh dikurangkan sebagaimana disebutkan di atas yang menyangkut "kerugian" adalah: kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, kerugian dari selisih kurs mata uang asing. Salah satu jenis kerugian yang dapat dikurangkan sebagai biaya adalah kerugian karena penjualan harta yang dimiliki dan digunakan dalam usaha. Kerugian yang diderita karena harta yang dipergunakan dalam usaha menjadi rusak akibat bencana harus dibebankan melalui mekanisme yang diatur di dalam Pasal 11 ayat (8).
Pasal 11 ayat (8) mengatur dua hal, yaitu penarikan harta karena harta tersebut dijual atau dialihkan dan penarikan harta karena sebab lain Dalam hubungannya dengan bencana alam, maka penarikan harta karena sebab lain cocok untuk situasi tersebut. Jadi apabila harta tersebut adalah harta yang dapat disusutkan, maka jumlah nilai sisa bukunya dibebankan sebagai kerugian. Apabila harta dimaksud diasuransikan maka jumlah penggantian asuransinya dibukukan sebagai penghasilan.
Bagaimana perlakuannya terhadap harta yang tidak dapat disusutkan atau harta yang tidak dipakai dalam usaha? UU PPh secara umum memperlakukan semua jenis penghasilan sama artinya UU ini tidak menganut pemajakan berdasarkan jenis penghasilan seperti misalnya pengenaan pajak atas penghasilan dari usaha berbeda dengan capital gains. Atas dasar pemikiran yang demikian maka kerugian karena kehilangan harta yang disebabkan oleh bencana alam seharusnya juga dapat dibebankan sebagai biaya. Apabila dalam suatu bencana yang terjadi juga memusnahkan barang persediaan, seharusnya wajib pajak dapat membebankannya sebagai kerugian Masalahnya adalah menghitung besarnya kerugian yang diderita karena kehilangan persediaan barang tersebut.
UU PPh mengatur tentang penilaian persediaan barang di Pasal 10 ayat (8). Penjelasan dari pasal itu menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan persediaan barang meliputi tiga jenis barang, yaitu barang jadi atau barang dagangan, barang dalam proses produksi, bahan baku dan bahan pembantu. Ketentuan tersebut mengatur bahwa untuk keperluan penghitungan harga pokok, metode yang diperbolehkan adalah dengan cara rata-rata atau dengan cara mendahulukan persediaan yang didapat pertama. Sejalan dengan ketentuan tersebut, untuk menghitung kerugian yang diderita karena bencana cara yang sama juga sebaiknya diperbolehkan. Penerapan cara penilaian barang yang sama terhadap kerugian karena rusaknya persediaan barang akan memberikan perlakuan yang seimbang dan netral. Apabila ketentuan dalam UU PPh memungkinkan untuk memberi kesempatan mengklaim kerugian, masalah yang perlu dipikirkan adalah menentukan dokumen-dokumen yang harus disajikan sebagai bukti bahwa telah terjadi kerugian karena bencana. Dokumen yang menunjuk kan bahwa wajib pajak benar-benar merugi karena terjadinya bencana, diperlukan dalam beberapa hal, antara lain untuk: penyesuaian terhadap setoran PPh dalam tahun berjalan (PPh Pasal 25); kompensasi kerugian yang terjadi pada saat terjadinya bencana; bukti pada saat dilakukannya pemeriksaan pajak; dan penundaan pemasukan SPT Tahunan (bila diperlukan).[38]

S.      PPh atas Koperasi
Bagaimana dengan pajak koperasi? Menurut sudut pandang pajak koperasi adalah sesuai dengan pengertian koperasi secara spesifik kedudukan koperasi di mata hukum pajak adalah sebagai berikut.
Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000, koperasi merupakan badan usaha yang merupakan subjek pajak yang memiliki kewajiban dan hak perpajakan yang sama dengan badan usaha lainnya.yakni:
·         Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh koperasi adalah objek pajak.
·         Modal koperasi terdiri dari : modal sendiri dan modal pinjaman
·         Anggota koperasi tidak dibedakan antara orang pribadi dan badan hukum dalam negeri.

Jika koperasi adalah badan usaha yang terkena pajak lantas penghasilan apa saja yang menjadi objek Pajak penghasilan:
1.      Bunga Simpanan Koperasi
Bunga simpanan koperasi merupakan imbalan yang diberikan koperasi kepada anggota berdasarkan simpanan wajib dan sukarela yang disetorkan kepada koperasi. Bunga simpanan koperasi yang akan diterima oleh anggota sesuai dengan Ad/ART Koperasi :
·         Bunga simpanan koperasi yang diterima atau diperoleh anggota dipotong Pajak penghasilan atau PPh : Pasal 23 final oleh koperasi sebesar 15% dari jumlah bunga yang diterima sepanjang jumlah bunga simpanan yang diterima atau diperoleh anggota lebih dari Rp 240.000,00 setiap bulannya.
·         Dalam hal bunga simpanan yang diterima anggota tidak melebihi Rp 240.000,00 dalam sebulan, dikecualikan dari pemotongan PPh Pasal 23
2.      Sisa Hasil Usaha (SHU) Koperasi
·         Sisa Hasil Usaha (SHU) adalah pendapatan koperasi yang diperoleh dalam satu tahun buku dikurangi dengan biaya-biaya operasional dan kewajiban lainnya termasuk pajak dalam tahun buku yang bersangkutan.
·         SHU merupakan bagian laba yang diberikan kepada anggota atas simpanan pokoknya.
·         Pemberian SHU tidak dijanjikan di awal, tetapi tergantung pada laba yang diperoleh koperasi.
·         Berdasarkan pasal 4 ayat (1) huruf g Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000, SHU termasuk ke dalam pengertian dividen yang merupakan objek PPh sehingga harus dilaporkan dalam SPT Tahunnan penerima
·         Namun, pembagian SHU tersebut bukan merupakan objek PPh Pasal 23 oleh pihak lain (Lihat pasal 23 ayat (4) huruf f Undang-Undang nomor 17 Tahun 2000).

Kewajiban Koperasi sebagai Pemotong Pajak     
1.      Memotong PPh pada saat pembayaran atau terutangnya bunga dan memberikan bukti pemotongan kepada anggota yang menerima bunga simpanan koperasi.
2.      Menyetorkan secara kolektif PPh selambat-lambatnya tanggal 10 bulan berikutnya (menggunakan SSP dimana kolom nama dan NPWP SSP diisi dengan nama dan NPWP koperasi).
3.      Melaporkan ke KPP terkait selambat-lambatnya tanggal 20 bulan berikutnya (menggunakan SPT Masa PPh Pasal 23/26).

Penghasilan koperasi yang bukan objek pajak
1.      Bantuan atau sumbangan yang diterima oleh koperasi sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan (Lihat Pasal 4 ayat (3) huruf a Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000).
2.      Harta hibahan yang diterima oleh koperasi sepanjang antara pemberi hibah dengan koperasi tersebut tidak ada hubungan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan dengan syarat bahwa nilai aktiva (nilai kekayaan koperasi sebelum dikurangi dengan hutang) tidak termasuk tanah dan bangunan pada saat akan menerima hibah, tidak lebih dari Rp 600.000.000,00. Dividen atas bagian laba dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia (Lihat Pasal 4 ayat (3) huruf f)
3.      Sisa hasil usaha yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya.
4.      Bunga simpanan yang tidak melebihi Rp 240.000,00 setiap bulannya.

















BAB III
KESIMPULAN

Menurut Pasal 1 angka 1 UU No 6 Tahun 1983 sebagaimana telah disempurnakan terakhir dengan UU No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP)  adalah “kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang Undang, dengan tidak mendapat timbal balik secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”
Sehingga dapat kita ketahui dari definisi diatas bahwa unsur pajak itu meliputi: Iuran wajib yang dikenakan kepada masyarakat wajib pajak, ditetapkan dengan norma-norma atau aturan hukum, dipergunakan untuk membiayai kepentingan umum, bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, balas jasanya tidak dapat diterima secara langsung.
Pajak penghasilan adalah pajak yang dibebankan pada penghasilan perorangan, perusahaan atau badan hukum lainnya. Pajak penghasilan bisa diberlakukan progresif, proporsional, atau regresif.
Pajak Penghasilan merupakan jenis pajak subjektif yang kewajiban pajaknya melekat pada Subjek Pajak yang bersangkutan, artinya kewajiban pajak tersebut dimaksudkan untuk tidak dilimpahkan kepada Subjek Pajak lainnya. Oleh karena itu dalam rangka memberikan kepastian hukum, penentuan saat mulai dan berakhirnya kewajiban pajak subjektif menjadi penting.
Fungsi pajak secara sederhana adalah untuk menyelenggarakan kepentingan bersama para warga masyarakat. Yakni dalam bentuk Fungsi Penerimaan (Budgetair) dan Fungsi Mengatur (Regulerend) yang secara umum pajak merupakan suatu Sebagai Sumber pendapatan Negara, Sebagai Alat pemerataan Ekonomi, Sebagai Pengatur Kegiatan Ekonomi dan Sebagai Alat Stabilitas Perekonomian.
Dengan demikian jelas bahwa peranan penerimaan pajak bagi suatu negara menjadi sangat dominan dalam menunjang jalannya roda pemerintahan dan pembiayaan pembangunan.
Disamping fungsi budgeter (fungsi penerimaan) di atas, pajak juga melaksanakan fungsi redistribusi pendapatan dari masyarakat yang mempunyai kemampuan ekonomi yang lebih tinggi kepada masyarakat yang kemampuannya lebih rendah. Oleh karena itu tingkat kepatuhan Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya secara baik dan benar merupakan syarat mutlak untuk tercapainya fungsi redistribusi pendapatan. Sehingga pada akhirnya kesenjangan ekonomi dan sosial yang ada dalam masyarakat dapat dikurangi secara maksimal.
Sistem pemungutan pajak itu bisa dengan cara Official Assesment System yakni sistem pemungutan pajak yang menyatakan bahwa jumlah pajak yang dilunasi atau terhutang oleh wajib pajak  dihitung dan ditetapkan oleh aparat pajak atau fiscus, ada juga dengan cara Self Assesment System yakni sistem pemungutan pajak yang menyatakan bahwa jumlah pajak yang dilunasi atau terhutang oleh wajib pajak dihitung sendiri oleh wajib pajak, dan ada pula melalui cara Withholding System yakni sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga untuk memotong atau memungut besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak (WP), dimana pihak ketiga baik Wajib Pajak Orang Pribadi maupun Wajib Pajak Badan Dalam Negeri diberi kepercayaan oleh peraturan perundang-undangan untuk melaksanakan kewajiban memotong atau memungut pajak atas penghasilan yang dibayarkan kepada penerimaan penghasilan. Pihak ketiga tersebut memiliki peran aktif dalam sistem ini, dan fiskus berperan dalam pemeriksaan pajak, penagihan, maupun tindakan penyitaan apabila ada indikasi pelanggran perpajakan, seperti halnya pada self assessment system.
Pemungutan pajak dapat dilakukan berdasarkan 3 (tiga) stelsel yaitu: Stelsel Nyata (Riel Stelsel) yakni pajak yang dihitung dan di bayar pada akhir tahun sehingga sesuai dengan pendapatan pada saat ini. Stelsel Anggapan (Fictieve Stelsel) yaitu menganggap penghasilan sama dengan tahun lalu. Adapun yang menengahi keduanya, yakni pencampuran antara stelsel nyata dan anggapan yaitu Stelsel Campuran yang dimana pada stelsel ini besaran pajak dihitung berdasarkan anggapan dan pada akhir tahun di sesuaikan dengan pendapatan, sehingga pada stelsel ini ada istilah lebih dan kurang bayar.
Adapun yang dikenakan atas pajak (subjek pajak) yaitu:
1)      Orang pribadi dan Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikanyang berhak
2)      Badan, teridi dari PT, CV, Perseroan lainnya, BUMN/BUMD dengan nama dan bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisani massa politik, atau organisasi yang sejejenis, lembaga, dan bentuk badan lainnya.
3)      Bentuk Usaha Tetap (BUT)
Namun Subjek Pajak dapat dibedakan antara Subjek Pajak dalam negeri  dan subjek pajak Luar Negeri, karena ada beberapa hal yang membedakan keduanya dalam perhitungan pajak itu sendiri.

Subek Pajak dalam negeri menjadi Wajib Pajak apabila telah menerima atau memperoleh panghasilan. Sedangkan Subjek Pajak luar negeri sekaligus menjadi wajib pajak, sehubungan dengan penghasilan yang diterima dari sumber penghasilan di Indonesia atau memperoleh melalui bentuk usaha tetap di Indonesia. Dengan kata lain, Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang telah memenuhi kewajiban subjektif dan objektif.
Subjek pajak tersebut dikenai pajak apabila menerima atau memperoleh penghasilan. Subjek pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan, dalam Undang-Undang No. 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (PPh) disebut Wajib Pajak. Wajib Pajak dikenai pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya selama satu tahun pajak atau dapat pula dikenai pajak untuk penghasilan dalam bagian tahun pajak apabila kewajiban pajak subjektifnya dimulai atau berakhir dalam tahun pajak.
Kendati demikian ada pula yang tidak termasuk subjek pajak. Undang Undang No. 17 tahun 2000 menjelaskan tentang apa yang tidak termasuk obyek pajak sebagai berikut; Badan perwakilan negara asing, Pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat - pejabat lain dari negara asing dan orang - orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama mereka, Organisasi internasional sebagai mana dimaksud dalam keputusan menteri keuangan no 661/KMK.04./1994 tanggal 23 Desember 1994 sebagai mana telah diubah terkhir dengan keputusan Menteri Keuangan nomor 314/KMK.04/1998 tanggal 15 juni 1998, Para anggota.yang ditetapkan oleh keputusan menteri keuangan dengan syarat Indonesia ikut dalam organisasi tersebut dan organisasi tersebut tidak melakukan kegiatan usaha di Indonesia. Contoh: WTO, FAO, UNICEF, Pejabat perwakilan oraganisasi internasional sebagai mana dimaksud dalam keputusan Menteri Keuangan no 611/KMK.04/1994 tanggal 23 Desember 1994 sebagaimana telah diubah dengan keputusan Menteri Keuangan nomor 314/KMK.04/1998 tanggal 15 juni 1998, dan Pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan oleh keputusan menteri keuangan dengan syarat bukan warga negara indonesia dan tidak memperoleh penghasilan dari Indonesia.
Adapun objek pajak adalah penghasilan. Seperti;  Imbalan, Hadiah, Laba usaha, Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk, Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya, Bunga termasuk premium, diskontom dan imbalan lain karena jaminan pengembalian utang, Dividen, Royalty, Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta., Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala, Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah, Keuntungan karena selisih penilaian kembali aktiva, Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva, Premi asuransi, Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari wajib pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas, Tambahan kekayaan netto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak. Namun, zakat, beasiswa, santunan, warisan dan sejenisnya tidak termasuk objek pajak
Penghitungan besarnya Penghasilan Netto bagi Wajib Pajak Dalam Negeri dan bentuk usaha tetap dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu :
            1. Menggunakan pembukuan
2. Menggunakan norma perhitungan
Pada intinya Pajak merupakan sumber penerimaan Negara yang digunakan untuk membiayai kepentingan umum yang akhirnya juga mencakup kepentingan pribadi individu seperti kepentingan rakyat, pendidikan, kesejahteraan rakyat, kemakmuran rakyat dan sebagainya. Sehingga pajak merupakan salah satu alat untuk mencapai tujuan Negara.
            Pemungutan pajak yang dilakukan oleh pemerintah merupakan sumber terpenting dari penerimaan Negara. Lagipula penerimaan Negara dari pajak dapat dijadikan indikator atas peran serta masyarakat (sebagai subjek pajak) dalam kontribusinya melakukan kewajiban perpajakan, karena pembayaran pajak yang dilakukan akan dikembalikan lagi kepada masyarakat dalam bentuk tidak langsung, dan berupa pengeluaran rutin dan pembangunan yang berguna bagi rakyat.
           






















DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku:
Alrasid, Harun. Naskah UUD 1945, 2003. Universitas Indonesia: UII Press
Brotodiharjo Santoso R, 1993. Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Bandung: PT Eresco.
Burton, Richard dan Ilyas Wirawan B. 2001. Hukum Pajak, Jakarta: Salemba Empat.
Hostaritua, Situmorang. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan
Mardiasmo, 2011, Perpajakan Edisi Revisi 2011, Yogyakarta: Andi.
Muqodim, 2000. Perpajakan Buku Satu, , Jogyakarta: UII Press dan Ekonesia , Jogyakarta
Soemitro, Rocmat. 1991. Pajak Ditinjau Dari Segi Hukum, Bandung: PT Eresco,
Soemitro, Rochmat. 1992. Pengantar Singkat Hukum Pajak, Bandung: PT Eresco.

Sumber internet:
Ervina Nur Fajaria, contoh-makalah-ekonomi-pajak-penghasilan.html, 2012
Ikhsan Faizal, Makalah Pajak Penghasilan Umum _ tabalota. html WordPress.com 06 November 2011
Imran, makalah-hukum-pajak.html
Kompas Forum, pajak-penghasilan-pengertian-pajak-penghasilan-pph.html, 25-11-12, 12:50 PM
Pengertian-Fungsi-dan-Jenis-Jenis-Pajak- htm  www.Materisekolah.com., 26 February 2013
Sugeng, pengertian-pajak-fungsi-pengelompokan.htm 2012 Sarjanaku.com



[2] Ibid,
[3] Pengertian-Fungsi-dan-Jenis-Jenis-Pajak- htm  www.Materisekolah.com., 26 February 2013
[4] Pengertian-Fungsi-dan-Jenis-Jenis-Pajak- htm  www.Materisekolah.com., 26 February 2013
[5] Kompas Forum, pajak-penghasilan-pengertian-pajak-penghasilan-pph.html, 25-11-12, 12:50 PM
[6] Sugeng, pengertian-pajak-fungsi-pengelompokan.htm 2012 Sarjanaku.com
[7] Imran, makalah-hukum-pajak.html
[8] Ibid,
[9] Kompas Forum, pajak-penghasilan-pengertian-pajak-penghasilan-pph.html, 25-11-12, 12:50 PM
[10] Pengertian-Fungsi-dan-Jenis-Jenis-Pajak- htm  www.Materisekolah.com., 26 February 2013
[11] Imran, Op.Cit,
[12] Mardiasmo, Perpajakan Edisi Revisi 2011, Yogyakarta: Andi, 2011, hlm. 134
[13] Imran, makalah-hukum-pajak.html, 2012
[14] Ibid,
[15] Ibid,
[16] Sugeng, pengertian-pajak-fungsi-pengelompokan.htm 2012 Sarjanaku.com
[17] Imran, Op.Cit,
[18] Sugeng, lop.Cit,
[19] Imran, Op.Cit,
[20] Nur Fajaria Ervina, contoh-makalah-ekonomi-pajak-penghasilan.html, 2012
[21] Sugeng, Op.Cit,
[22] Ibid,
[24] Mardiasmo, Perpajakan Edisi Revisi 2011, Yogyakarta: Andi, 2011, hlm. 135-137
[25] Ibid, hlm.137
[26] Ibid, hlm. 137-138
[28] Mardiasmo, Op.Cit, hlm. 139-141
[30] Mardiasmo, Op.Cit, hlm.141-143
[32] Ikhsan Faizal, Makalah-Pajak-Penghasilan-Umum_tabalota.htm WordPress.com 06 November 2011
[33] Mardiasmo, Perpajakan Op.Cit, hlm. 148-149
[34] Ibid, hlm.149-150
[35] Ibid, hlm. 152
[36] Ibid, hlm. 153-154
[37] Imran, Op.Cit
[38] Imran, Op.Cit,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar