BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pajak merupakan sumber
penerimaan Negara yang digunakan untuk membiayai kepentingan umum yang akhirnya
juga mencakup kepentingan pribadi individu seperti kepentingan rakyat,
pendidikan, kesejahteraan rakyat, kemakmuran rakyat dan sebagainya. Sehingga
pajak merupakan salah satu alat untuk mencapai tujuan Negara.
Pemungutan pajak yang
dilakukan oleh pemerintah merupakan sumber terpenting dari penerimaan Negara.
Lagipula penerimaan Negara dari pajak dapat dijadikan indikator atas peran
serta masyarakat (sebagai subjek pajak) dalam kontribusinya melakukan kewajiban
perpajakan, karena pembayaran pajak yang dilakukan akan dikembalikan lagi
kepada masyarakat dalam bentuk tidak langsung, dan berupa pengeluaran rutin dan
pembangunan yang berguna bagi rakyat.
Pajak penghasilan adalah
pajak yang dibebankan pada penghasilan perorangan, perusahaan atau badan hukum
lainnya. Pajak penghasilan bisa diberlakukan progresif, proporsional, atau
regresif.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang
di atas maka yang menjadi permasalahan pada makalah ini adalah:
1. Seperti apa Sejarah
Pajak Penghasilan?
2. Seperti apa pajak
penghasilan di Indonesia?
3. Apa yang dimaksud
dengan pajak penghasilan?
4. Apa Fungsi, Manfaat dan
jenis-jenis Pajak?
5. Apa Dasar Hukum, Dasar
Pengenaan Pajak, Teori dan Asas Pemungutannya?
6. Seperti apa Tata Cara
pemungutan pajak ?
7. Siapa yang menjadi
Subjek Pajak dan Wajib Pajak?
8. Bagaimana Kewajiban
Pajak Subjektif?
9. Apa yang menjadi Objek
Pajak dan Bukan Objek Pajak?
10. Bagaimana Tarif Pajak
penghasilan?
11. Bagaimana Cara
Menghitung Penghasilan Kena Pajak dan Penghasilan Tidak Kena Pajak ?
12. Bagaimana Pemotongan
Atau Pemungutan Pajak Penghasilan Yang Bersifat Final?
13. Bagaimana Cara Melunasi
Pajak?
14. Bagaimana Perlakuan PPh
atas pengalihan tanah?
15. Bagaimana Perlakuan PPh
atas kerugian yang timbul akibat terjadinya bencana alam?
16. Bagaimana PPh atas
Koperasi?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
1. Mengetahui Sejarah
Pajak Penghasilan
2. Mengetahui pajak
penghasilan di Indonesia
3. Mengetahui yang
dimaksud dengan pajak penghasilan
4. Mengetahui Fungsi,
Manfaat dan jenis-jenis Pajak
5. Mengetahui Dasar Hukum,
Dasar Pengenaan Pajak, Teori dan Asas Pemungutannya
6. Mengetahui Tata Cara
pemungutan pajak
7. Mengetahui Subjek Pajak
dan Wajib Pajak
8. Mengetahui Kewajiban
Pajak Subjektif
9. Mengetahui Objek Pajak
dan Bukan Objek Pajak
10. Mengetahui Tarif Pajak
penghasilan
11. Mengetahui Cara
Menghitung Penghasilan Kena Pajak dan Penghasilan Tidak Kena Pajak
12. Mengetahui Pemotongan
Atau Pemungutan Pajak Penghasilan Yang Bersifat Final
13. Mengetahui Cara
Melunasi Pajak
14. Mengetahui Perlakuan
PPh atas pengalihan tanah
15. Mengetahui Perlakuan
PPh atas kerugian yang timbul akibat terjadinya bencana alam
16. Mengetahui PPh atas
Koperasi
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A. Sejarah Pajak
Penghasilan
Pengenaan pajak
langsung sebagai cikal bakal dari pajak penghasilan sudah terdapat pada zaman
Romawi Kuno, antara lain dengan adanya pungutan yang bernama tributum
yang berlaku sampai dengan tahun 167 Sebelum Masehi. Pengenaan pajak pajak
penghasilan secara eksplisit yang diatur dalam suatu Undang-undang sebagai Income
Tax baru dapat ditemukan di Inggris pada tahun 1799. Di Amerika Serikat,
pajak penghasilan untuk pertama kali dikenal di New Plymouth pada tahun 1643,
dimana dasar pengenaan pajak adalah " a person's faculty, personal faculties and
abilitites", Pada tahun 1646 di Massachusett dasar pengenaan pajak
didasarkan pada "returns and gain". “Tersonal faculty and
abilities" secara implisit adalah pengenaan pajak pengahasilan atas orang
pribadi, sedangkan "Returns and gain" berkonotasi pada pajak
penghasilan badan. Tonggak-tonggak penting dalam sejarah pajak di Amerika
Serikat adalah Undang-Undang Pajak Federal tahun 1861 yang selanjutnya telah
beberapa kali mengalami tax reform, terakhir dengan Tax Reform Act
tahun 1986. Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan (tax return) yang
dibuat pada tahun 1860-an berdasarkan Undang-Undang Pajak Federal tersebut
telah dipergunakan sampai dengan tahun 1962.[1]
B. Pajak Penghasilan di
Indonesia
Sejarah pengenaan Pajak
Penghasilan di Indonesia dimulai dengan adanya tenement tax (huistaks)
pada tahun 1816, yakni sejenis pajak yang dikenakan sebagai sewa terhadap
mereka yang menggunakan bumi sebagai tempat berdirinya rumah atau bangunan.
Pada periode sampai dengan tahun 1908 terdapat perbedaan perlakuan perpajakan
antara penduduk pribumi dengan orang Asia dan Eropa, dengan kata lain dapat
dikatakan bahwa terdapat banyak perbedaan dan tidak ada uniformitas
dalam perlakuan perpajakan Tercatat beberapa jenis pajak yang hanya
diperlakukan kepada orang Eropa seperti "patent duty". sebaliknya
Business Tax atau Bedrijfsbelasting untuk orang pribumi. Di
samping itu, sejak tahun 1882 hingga 1916 dikenal adanya Poll Tax yang pengenaannya
berdasarkan status pribadi, pemilikan rumah dan tanah.
Pada 1908 terdapat
Ordonansi Pajak Pendapatan yang diperlakukan untuk orang Eropa, dan badan-badan
yang melakukan usaha bisnis tanpa memperhatikan kebangsaan pemegang sahamnya.
Dasar pengenaan pajaknya penghasilan yang berasal dari barang bergerak maupun barang
tak gerak, penghasilan dari usaha, penghasilan pejabat pemerintah, pensiun dan
pembayaran berkala. Tarifnya bersifat proporsional dari 1%, 2% dan 3% atas
dasar kriteria tertentu. Selanjutnya, tahun 1920 dianggap sebagai tahun
unifikasi, dimana dualistik yang selama ini ada, dihilangkan dengan
diperkenalkannya General Income Tax yakni Ordonansi Pajak Pendapatan
Yang Dibaharui tahun 1920 (Ordonantie op de Herziene Inkomstenbelasting
1920, Staatsblad 1920 1921, No.312) yang berlaku baik bagi penduduk pribumi,
orang Asia maupun orang Eropa. Dalam Ordonansi Pajak Pendapatan ini telah
diterapkan asas-asas pajak penghasilan yakni asas keadilan domisili dan asas
sumber.
Karena desakan
kebutuhan dengan makin banyaknya perusahaan yang didirikan di Indonesia seperti
perkebunan-perkebunan (ondememing), pada tahun 1925 ditetapkanlah
Ordonansi Pajak Perseroan tahun 1925 (Ordonantie op de
Vennootschapbelasting) yakni pajak yang dikenakan tethadap laba perseroan,
yang terkenal dengan nama PPs (Pajak Perseroan). Ordonansi ini telah mengalami
beberapa kali perubahan dan penyempurnaan antara lain dengan UU No. 8 tahun
1967 tentang Psnibahan dan Penyempurnaan Tatacara Pcmungitan Pajak Pendapatan
1944, Pajak Kekayaan 1932 dan Pajak Perseroan tahun 1925 yang dalam praktck lebih
dikenal dengan UU MPO dan MPS. Perubahan penting lainnya adalah dengan UU No. 8
tahun 1970 dimana fungsi pajak mengatur/regulerend dimasukkan ke dalam
Ordonansi PPs 1925., khususnya tentang ketentuan "tax holiday".
Ordonasi PPs 1925
berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 1983, yakni pada saat diadakannya tax
reform, Pada awal tahun 1925-an yakni dengan mulai berlakunya Ordonansi
Pajak Perseroan 1925 dan dengan perkembangan pajak pendapatan di Negeri
Belanda, maka timbul kebutuhan untuk merevisi Ordonansi Pajak Pendapatan 1920,
yakni dengan ditetapkannnya Ordonasi Pajak Pendapatan tahun 1932 (Ordonantie
op de Incomstenbelasting 1932, Staatsblad 1932, No.111) yang
dikenakan kepada orang pribadi (Personal Income Tax). Asas-asas pajak
penghasilan telah diterapkan kepada penduduk Indonesia; kepada bukan penduduk
Indonesia hanya dikenakan pajak atas penghasilan yang dihasilkannnya di
Indonesia; Ordonansi ini juga telah mengenal asas sumber dan asas domisili.
Dengan makin banyak
perusahaan-perusahaan di Indonesia, maka kebutuhan akan mengenakan pajak
terhadap pendapatan karyawan perusahaan muncul. Maka pada tahun 1935
ditetapkanlah Ordonansi Pajak Pajak Upah (loonbelasting) yang memberi
kewajiban kepada majikan untuk memotong Pajak Upah/gaji pegawai yang mempunyai
tarif progresif dari 0% sampai dengan 15%. Pada zaman Perang Dunia II
diberlakukan Oorlogsbelasting (Pajak Perang) menggantikan ordonansi yang ada
dan pada tahun 1946 diganti dengan nama Overgangsbelasting (Pajak Peralihan).
Dengan UU Nomor 21 tahun 1957 nama Pajak Peralihan diganti dengan nama Pajak
Pendapatan tahun 1944 yang disingkat dengan Ord. PPd. 1944. Pajak
Pendapatan sendiri disingkat dengan PPd. Saja.
Ord. PPd. 1944 setelah
beberapa kali mengalami perubahan terutama dengan perubahan tahun 1968 yakni
dengan adanya UU No. 8 tahun 1968 tentang Perubahan dan Penyempurnaan Tata cara
Pemungutan Pajak Pendapatan 1944, Pajak Kekayaan 1932 dan Pajak Perseroan 1925,
yang lebih terkenal dengan "UU MPO dan MPS". Perubahan lainnya adalah
dengan UU No. 9 tahun 1970 yang berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 1983,
yakni dengan diadakannya tax reform di Indonesia.[2]
C. Pengertian pajak
penghasilan
Sebelum kita membahas
tentang Pajak Penghasilan, ada baiknya kita mengatahui tentang 'Pajak' itu
sendiri. Karena dengan memahami tentang 'Pajak', kita akan mudah mempelajari
dan mengerti tentang seluk-beluk perpajakan di Indonesia.
Berikut pengertian
pajak menurut beberapa ahli:[3]
1. Menurut Prof. Dr.
Rochmat Sumitro, S.H., adalah sebagai berikut : “pajak adalah iuran rakyat
kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan
tiada mendapat jasa timbal (kontra prestasi) yang langsung dapat ditunjukkan
dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum dan surplusnya digunakan
untuk “public saving” yang merupakan sumber utama untuk membiayai “public
investment”.
2. Menurut Prof. Dr. P.
J. A. Adriani adalah sebagai berikut : “pajak adalah iuran masyarakat
kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya
menurut peraturan-peraturan umum (undang-undang) dengan tidak mendapat prestasi
kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai
pengeluaran-pengeluaran umum berhubung tugas negara untuk menyelenggarakan
pemerintahan”.
3. Menurut Ray M.
Sommer adalah sebagai berikut : “pajak adalah pengalihan sumber-sumber dari
sektor swasta ke sektor pemerintah, yang wajib dilaksanakan berdasarkan
ketentuan yang telah ditetapkan lebih dahulu dan tanpa mendapatkan imbalan yang
langsung, sehingga daripadanya pemerintah dapat melaksanakan tugasnya untuk
mencapai tujuan ekonomi dan sosial”.
4. Menurut Remsky K.
Judisseno adalah sebagai berikut: “Pajak adalah suatu kewjiban kenegaraan
dan pengapdiaan peran aktif warga negara dan anggota masyarakat lainnya untuk
membiayai berbagai keperluan negara berupa pembangunan nasional yang
pelaksanaannya diatur dalam Undang-Undang dan peraturan-peraturan untuk tujuan
kesejahteraan dan negara”.
5. Menurut Pasal 1 angka 1
UU No 6 Tahun 1983 sebagaimana telah disempurnakan terakhir dengan UU No.28
Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) adalah “kontribusi wajib kepada negara yang
terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang
Undang, dengan tidak mendapat timbal balik secara langsung dan digunakan untuk
keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”
Lima unsur pokok dalam
defenisi pajak :
1. Iuran wajib yang
dikenakan kepada masyarakat wajib pajak.
2. Iuran wajib yang
ditetapkan dengan norma-norma atau aturan hukum.
3. Dipergunakan untuk
membiayai kepentingan umum.
4. Bertujuan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.
5. Balas jasanya tidak
diterima secara langsung.
Selain pajak,
pemerintah juga melakukan pungutan resmi yang berupa retribusi. Retribusi
merupakan pungutan yang dikenakan kepada masyarakat yang menggunakan fasilitas
yang disediakan negara. Pungutan tentang retribusi diatur melalui UU No. 19
Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi.[4]
Pengertian Pajak
Penghasilan (PPh)
Pajak penghasilan
adalah pajak yang dibebankan pada penghasilan perorangan, perusahaan atau badan
hukum lainnya. Pajak penghasilan bisa diberlakukan progresif, proporsional,
atau regresif.
Pajak yang dikenakan
terhadap Subjek Pajak Penghasilan atas Penghasilan yang diterima atau
diperolehnya dalam tahun pajak.
Pajak Penghasilan
merupakan jenis pajak subjektif yang kewajiban pajaknya melekat pada Subjek
Pajak yang bersangkutan, artinya kewajiban pajak tersebut dimaksudkan untuk
tidak dilimpahkan kepada Subjek Pajak lainnya. Oleh karena itu dalam rangka
memberikan kepastian hukum, penentuan saat mulai dan berakhirnya kewajiban
pajak subjektif menjadi penting.[5]
D. Fungsi, Manfaat dan
jenis-jenis Pajak
Fungsi Pajak
Fungsi pajak secara
sederhana adalah untuk menyelenggarakan kepentingan bersama para warga masyarakat.
Berdasarkan ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak dari berbagai
definisi, terdapat 2 (dua) fungsi pajak yaitu:[6]
a. Fungsi Penerimaan (Budgetair)
Pajak sebagai sumber
dana bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluarannya.
Contoh: dimasukkannya pajak dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
sebagai penerimaan dalam negeri.
b. Fungsi Mengatur (Regulerend)
Pajak sebagai alat
untuk mengatur atau melaksanakan kebijaksanaan pemerintah dalam bidang sosial
dan ekonomi.
Contoh: dikenakannya pajak yang lebih tinggi terhadap minuman keras dapat ditekan
serta demikian pula dengan barang mewah.
Secara umum pajak
memiliki empat peranan / fungsi dalam pembangunan, yaitu :
1. Sebagai Sumber
pendapatan Negara
Dengan pembayaran
pajak, negara akan memiliki dana yang cukup untuk melakukan penyelenggaraan
pemerintahan dan melakukan pembangunan.
2. Sebagai Alat pemerataan
Ekonomi
Melalui pajak,
pemerintah dapat melakukan subsidi kepada rakyat-rakyat kecil.
3. Sebagai Pengatur
Kegiatan Ekonomi
Melalui pajak,
pemerintah dapat mengatur kegiatan konsumsi, distribusi, produksi, ekspor dan
impor.
4. Sebagai Alat Stabilitas
Perekonomian
Dengan pajak,
pemerintah dapat mendorong pertumbuhan industri baru dengan cara menurunkan
atau membesarkan pajak bagi industri – industri yang langka, tetapi banyak
dibutuhkan masyarakat, sehingga dapat menjaga stabilitas ekonomi.
Bentuk kebijakan
pemerintah dalam mengatur kegiatan ekonomi melalui pajak, dapat dilakukan :
1. Menaikkan pajak impor
dan membebaskan pajak ekspor dengan tujuan melindungi dan meningkatkan daya
saing produksi dalam negeri.
2. Melakukan pungutan
pajak penghasilan atas golongan yang berpenghasilan tinggi untuk meningkatkan
keadilan sosial dengan jalan pemerataan pendapatan.
3. Memungut tarif pajak
rendah bagi perusahaan yang baru berdiri dan industri kecil untuk meningkatkan
kemampuan memperluas usaha dan menyerap tenaga kerja.
Manfaat Pajak
Sebagaimana halnya
perekonomian dalam suatu rumah tangga atau keluarga, perekonomian negara juga
mengenal sumber-sumber penerimaan dan pos-pos pengeluaran. Pajak merupakan
sumber utama penerimaan negara. Tanpa pajak, sebagian besar kegiatan negara
sulit untuk dapat dilaksanakan. Penggunaan uang pajak meliputi mulai dari
belanja pegawai sampai dengan pembiayaan berbagai proyek pembangunan.
Pembangunan sarana umum seperti jalan-jalan, jembatan, sekolah, rumah
sakit/puskesmas, kantor polisi dibiayai dengan menggunakan uang yang berasal
dari pajak. Uang pajak juga digunakan untuk pembiayaan dalam rangka memberikan
rasa aman bagi seluruh lapisan masyarakat. Setiap warga negara mulai saat
dilahirkan sampai dengan meninggal dunia, menikmati fasilitas atau pelayanan
dari pemerintah yang semuanya dibiayai dengan uang yang berasal dari pajak.
Dengan demikian jelas bahwa peranan penerimaan pajak bagi suatu negara menjadi
sangat dominan dalam menunjang jalannya roda pemerintahan dan pembiayaan
pembangunan.
Disamping fungsi budgeter
(fungsi penerimaan) di atas, pajak juga melaksanakan fungsi redistribusi
pendapatan dari masyarakat yang mempunyai kemampuan ekonomi yang lebih tinggi
kepada masyarakat yang kemampuannya lebih rendah. Oleh karena itu tingkat
kepatuhan Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya secara baik
dan benar merupakan syarat mutlak untuk tercapainya fungsi redistribusi
pendapatan. Sehingga pada akhirnya kesenjangan ekonomi dan sosial yang ada
dalam masyarakat dapat dikurangi secara maksimal.[7]
Jenis-jenis Pajak
Secara umum, pajak yang berlaku di Indonesia dapat dibedakan menjadi Pajak
Pusat dan Pajak Daerah. Pajak Pusat adalah pajak-pajak yang dikelola oleh
Pemerintah Pusat yang dalam hal ini sebagian dikelola oleh Direktorat Jenderal
Pajak - Departemen Keuangan. Sedangkan Pajak Daerah adalah pajak-pajak yang
dikelola oleh Pemerintah Daerah baik di tingkat Propinsi maupun Kabupaten/Kota.
a) Pajak Penghasilan (PPh) : PPH adalah pajak langsung dari pemerintah pusat yang dipungut atas
penghasilan dari semua orang yang berada di wilayah Republik Indonesia .
b) Pajak Pertambahan Nilai
(PPN) PPN adalah pajak yang
dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak di dalam Daerah
Pabean. Orang Pribadi, perusahaan, maupun pemerintah yang mengkonsumsi Barang
Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dikenakan PPN. Pada dasarnya, setiap barang dan
jasa adalah Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, kecuali ditentukan lain
oleh Undang-undang PPN.
c) PajakPenjualan atas
Barang Mewah (PPn BM) Selain dikenakan PPN,
atas barang-barang kena pajak tertentu yang tergolong mewah, juga dikenakan PPn
BM. Yang dimaksud dengan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah adalah :
·
barang tersebut bukan merupakan barang kebutuhan pokok.
·
Barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tertentu
·
Pada umumnya barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan
tinggi
·
Barang tersebut dikonsumsi untuk menunjukkan status
·
Apabila dikonsumsi dapat merusak kesehatan dan moral masyarakat, serta
mengganggu ketertiban masyarakat.
d) Bea Meterai Bea Meterai adalah pajak yang dikenakan atas dokumen, dengan menggunakan
benda materai atau benda lainya contohnya dengan menggunakan mesin teraan,
pemeteraian, kemudian dan surat setoran pajak bentuk KPU 35 Kode 006.
e) Pajak Bumi dan Bangunan
(PBB) PBB adalah atas harta
tak bergerak yang terdiri atas tanah dan bangunan (property tax).
f) Bea Perolehan Hak Atas
Tanah dan Bangunan (BPHTB) BPHTB adalah pajak yang
dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Seperti halnya PBB,
walaupun BPHTB dikelola oleh Pemerintah Pusat namun realisasi penerimaan BPHTB
seluruhnya diserahkan kepada Pemerintah Daerah baik Propinsi maupun
Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan.
Khusus jenis pajak
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) mulai tahun 2012 pengelolaannya disebagian
dialihkan kepada Pemerintah Daerah (Pemda).[9]
2. Berdasarkan pihak yang
menanggung
Berdasarkan pihak yang
menanggung, ada dua macam pajak, yaitu :
a) Pajak Langsung
Misalnya : Pajak
Penghasilan (PPh), Pajak Bumi Bangunan (PBB).
b) Pajak Tidak Langsung
Misalnya : Pajak
Penjualan (PPn), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Bea Materai, Bea Cukai, Pajak Penjualan Barang Mewah
(PPn-BM).
3. Berdasarkan Pihak yang
Memungut
Berdasarkan pihak yang
memungut, pajak dibedakan menjadi :
a) Pajak Negara
Misalnya : Pajak
Penghasilan (PPh), Pajak Bumi Bangunan (PBB), Pajak Penjualan (PPn), Pajak
Pertambahan Nilai (PPN), Bea Materai, Bea Cukai, Pajak Penjualan Barang Mewah
(PPn-BM).
b) Pajak Daerah
Misalnya : Retribusi
Parkir, Pajak tontonan, pajak Reklame, Retribusi Terminal.
4. Berdasarkan Sifatnya
Berdasarkan sifatnya,
pajak dibedakan menjadi :
a) Pajak Objektif
Misalnya : Pajak
Penghasilan (PPh).
b) Pajak Subjektif
Misalnya : Pajak Bumi
Bangunan (PBB), pajak Penjualan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak penjualan
Barang Mewah (PPn-BM).[10]
Selain pajak-pajak yang dikelola pemerintah daerah diatas juga terdapat
pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota
antara lain:[11]
1. Pajak Propinsi
a. Pajak Kendaraan
Bermotor dan Kendaraan Diatas Air,
b. Bea Balik Nama
Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Diatas Air,
c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor,
d. Pajak Pengambilan dan
Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan,
2. Pajak Kabupaten Kota
a. Pajak Hotel,
b. Pajak Restoran,
c. Pajak Hiburan,
d. Pajak Reklame
e. Pajak Penerangan Jalan,
f. Pajak Pengambilan Bahan
Galian Golongan C,
g. Pajak Pengambilan dan
Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan,
Selain yang dibahas diatas, dalam parktek sering dikenakan pungutan yang
disebut sumbangan wajib. Sumbangan wajib biasanya tidak memiliki kejelasan
balas jasa maupun imabalanya. Sumbangan atau sumangan wajib yang didasarkan
atas ketentuan yang sah dan hasilnya masuk ke kas negara maka pungutan tersebut
merupakan pungutan yang legal.
E. Dasar Hukum, Dasar Pengenaan
Pajak, Teori dan Asas Pemungutannya
Dasar Hukum
Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1983 tentang Pajak Penghasilan:
§ Pasal 4 (2)
yang mengatur tentang penghasilan yang dapat dikenai pajak yang bersifat final
yang cara pemotongannya melalui pihak ketiga
§ Pasal 20
(1) yang berisi tentang pelunasan pajak dalam tahun berjalan melalui pemotongan
dan pemungutan pajak oleh pihak lain, serta pembayaran pajak oleh Wajib Pajak
sendiri
§ Pasal 21
yang mengatur tentang pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan dengan
pekerjaan jasa atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diterima
orang pribadi dalam negeri yang dilakukan oleh pemberi kerja, bendahara
pemerintah, atau penyelenggara kegiatan
§ Pasal 22
yang mengatur tentang pemungutan pajak atas penghasilan dari usaha yang
dilakukan oleh bendahara pemerintah, badan-badan tertentu dan Wajib Pajak badan
tertentu yang telah ditunjuk dan ditetapkan olehh Menteri Keuangan
§ Pasal 23
yang mengatur tentang pemotongan pajak atas penghasilan dari modal, jasa, dan kegiatan
tertentu yang dilakukan yang dilakukan leh badan pemerintah, subjek badan dalam
negeri, penyelenggara kegiatan, BUT, atau perwakilan perusahaan luar negeri
lainnya
§ Pasal 24 yang
mengatur tentang pemotongan pajak atas penghasilan yang diterima dan diperoleh
dari luar negeri
§ Pasal 26
yang mengatur tentang pemotongan pajak atas dalam bentuk apapun yang diterima
orang pribadi luar negeri selain BUT di Indonesia yang dilakukan oleh subjek
pajak dalam negeri, bendahara pemerintah, atau penyelenggara kegiatan.
b. PER-70/PJ./2007
Dasar Pengenaan Pajak
Untuk menghitung PPh, terlebih dahulu harus
diketahui dasar pengenaan pajaknya. Untuk wajib pajak dalam negeri dan Bentuk
Usaha Tetap (BUT) yang menjadi dasar pengenaan pajak adalah Penghasilan Kena
Pajak. Sedangkan untuk wajib pajak luar negeri adalah penghasilan bruto. Dalam
bab ini yang akan dibahas hanya wajib pajak dalam negeri saja. Untuk wajib
pajak luar negeri akan dibahas pada bab PPh pasal 26. Besarnya penghasilan kena
pajak untuk wajib pajak badan dihitung sebesar penghasilan netto. Sedangkan
untuk wajib pajak orang pribadi dihitung sebesar penghasilan netto dikurangi
dengan Panghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Secara singkat dapat dirumuskan sebagai
berikut :[12]
Penghasilan
kena pajak (WP Badan) =Penghasilan
netto (PN)
Penghasilan
kena pajak (WP Orang Pribadi) = PN-PTKP
Teori Pemungutan Pajak
1.
Teori
asuransi: Pajak dianggap sama dengan premi yang harus dibayar rakyat karena
negara yang mempunyai tugas menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat dan
lingkungan di seluruh wilayah negara.
2.
Teori
Kepentingan: Teori kepentingan hanya memperhatikan pembagian beban pajak yang
harus dipungut pemerintah kepada rakyat yang disesuaikan dengan kepentingan
masing-masing dalam tugas-tugas pemerintah yang bermanfaat baginya termasuk
perlindungan atas jiwa beserta harta bendanya.
3.
Teori
Daya Pikul: Pajak harus dibayar menurut daya pikul atau kemampuan seseorang.
4.
Teori
Bakti: teori yang berdasar atas paham organisasi negara yang mengajarkan bahwa
negara negara sebagai organisasi mempunyai tugas untuk menyelenggarakan
kepentingan umum. Dengan organisasi dan tindakan negara seperti itu, di satu
sisi negara mempunyai hak untuk memungut pajak.
5.
Teori
Gaya Beli: penyelenggaraan kepentingan rakyat dapat dapat dianggap sebagai
dasar keadilan pemungutan pajak, bukan kepentingan individu dan juga bukan
kepentingan negara melainkan kepentingan masyarakat yang meliputi keduanya.[13]
Asas Pemungutan Pajak
1.
Asas Domisisli: Asas ini didasarkan pada domisili atau tempat
tinggal wajib pajak di suatu negara. Negara tempat tinggal seseorang berhak
mengenakan pajak terhadap seseorang tersebut tanpa melihat darimana sumber
penghasilan atau pendapatanya diperoleh dan tanpa melohat kebangsaan atau
kewarga negarann wajib pajak tersebut.
2.
Asas Sumber: Dalam asas ini pemungutan didasarkan pada adanya
sumber pendapatan alam suatu negara. Negara menjadi tempat sumber pendapatan
tersebut berhak memungut pajak tanpa
memperhatikan domisili dan kewarganegaraan wajib pajak.
3.
Asas Kebangsaan: Pada asas inivpemungutan pajak didasarkan pada
kebangsaan seseorang. Yang berhak memungut pajak seseorang adalah negara yang
menjadi kebangsaan orang tersebut.[14]
F. Tata Cara pemungutan
Sistem Pemungutan Pajak
1. Official Assesment System: adalah
sistem pemungutan pajak yang menyatakan bahwa jumlah pajak yang dilunasi atau
terhutang oleh wajib pajak dihitung dan
ditetapkan oleh aparat pajak atau fiscus.[15]
Ciri-cirinya:[16]
·
Wewenang
untuk menentukan besarnya pajak terutang berada pada pemerintah (fiskus).
·
Wajib
Pajak (WP) bersifat pasif.
·
Utang
pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh pemerintah (fiskus).
2. Self Assesment System: adalah
sistem pemungutan pajak yang menyatakan bahwa jumlah pajak yang dilunasi atau
terhutang oleh wajib pajak dihitung sendiri oleh wajib pajak.[17]
Ciri-cirinya:[18]
·
Wewenang
untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada Wajib Pajak (WP) sendiri.
·
Wajib
Pajak (WP) aktif mulai dari menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri pajak
terutang.
·
Pemerintah
(fiskus) tidak ikut campur dan hanya mengawasi.
3. Withholding System: adalah adalah
sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga untuk
memotong atau memungut besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak (WP).[19] sistem
perpajakan dimana pihak ketiga baik Wajib Pajak Orang Pribadi maupun Wajib
Pajak Badan Dalam Negeri diberi kepercayaan oleh peraturan perundang-undangan
untuk melaksanakan kewajiban memotong atau memungut pajak atas penghasilan yang
dibayarkan kepada penerimaan penghasilan. Pihak ketiga tersebut memiliki peran
aktif dalam sistem ini, dan fiskus berperan dalam pemeriksaan pajak, penagihan,
maupun tindakan penyitaan apabila ada indikasi pelanggran perpajakan, seperti
halnya pada self assessment system. [20]
Ciri-cirinya:[21]
·
Wewenang
menetukan besarnya pajak yang terutang ada pada pihak ketiga, pihak selain
pemerintah (fiskus) dan Wajib Pajak (WP).
Stelsel Pajak
Pemungutan pajak dapat dilakukan berdasarkan 3 (tiga) stelsel yaitu:[22]
1. Stelsel Nyata (Riel Stelsel)
Pengenaan pajak
didasarkan pada objek pajak (penghasilan yang nyata) sehingga pemungutannya
baru dapat dilakukan pada akhir tahun pajak, yakni setelah penghasilan yang
sesungguhnya telah dapat diketahui.
2. Stelsel Anggapan (Fictieve
Stelsel)
Pengenaan pajak
didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh Undang-undang, misalnya
penghasilan suatu tahun dianggap sama dengan tahun sebelumnya sehingga pada
awal tahun pajak telah dapat ditetapkan besarnya pajak terutang.
3. Stelsel Campuran
Stelsel ini merupakan
kombinasi antara stelsel nyata dengan stelsel anggapan pada awal tahun,
besarnya pajak dihitung berdasarkan suatu anggapan, kemudian pada akhir tahun
besar pajak disesuaikan dengan keadaan yang sebenarnya. Sehingga pada stelsel
ini adanya perhitungan dan pembayaran pajak yang kurang bayar dan lebih bayar
G. Subjek Pajak dan Wajib
Pajak
Subjek Pajak
Menurut Undang Undang no.36 tahun 2008 tentang pajak penghasilan,
subyek pajak penghasilan adalah sebagai berikut:[23]
1.
Subyek pajak pribadi yaitu orang pribadi yang bertempat tinggal di
Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus
delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang
pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk
bertempat tinggal di Indonesia.
2.
Subyek pajak harta warisan belum dibagi yaitu warisan dari
seseorang yang sudah meninggal dan belum dibagi tetapi menghasilkan pendapatan,
maka pendapatan itu dikenakan pajak.
3.
Subyek pajak badan badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di
Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria:
·
Pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang undangan;
·
Pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
·
Penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau
Pemerintah Daerah; dan pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional
negara; dan
·
Bentuk usaha tetap yaitu bentuk usaha yang digunakan oleh orang
pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di indonesia
tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu dua belas bulan, atau badan yang
tidak didirikan dan berkedudukan di Indonesia, yang melakukan kegiatan di
Indonesia.
Pajak penghasilan dikenakan terhadap Subjek
Pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam Tahun Pajak. Seperti
yang telah diuraikan diatas jelasnya yaitu:[24]
1.
-Orang pribadi
-Warisan yang belum terbagi sebagai satu
kesatuan menggantikanyang berhak.
2.
Badan,
teridi dari PT, CV, Perseroan lainnya, BUMN/BUMD dengan nama dan bentuk apapun,
firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan,
organisani massa politik, atau organisasi yang sejejenis, lembaga, dan bentuk
badan lainnya.
3.
Bentuk
Usaha Tetap (BUT)
Subjek
Pajak dapat dibedakan menjadi :
1. Subjek Pajak dalam negeri yang terdiri dari :
a. Subjek Pajak orang pribadi, yaitu :
·
Orang
pribadi yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia lebih dari 183 hari (tidak
harus berturut-turut) dalam jangka waktu 12 bulan, atau
·
Orang
pribadi yang dalam satu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat
bertempat tinggal di Indonesia.
b. Subjek Pajak badan, yaitu :
Badan
yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia. Kecuali unit tertentu
dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria:
·
Pembentukannya
berdassarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
·
Pembiayaannya
bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah;
·
Penerimaanyya
dimasukkan dalam anggaran Pemerinta Pusat atau Pemerintah Daerah; dan
·
Pembukuannya
diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara.
c. Subjek Pajak Warisan, yaitu :
Warisan
yang belum dibagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak.
2. Subjek Pajak luar negeri yang terdiri dari :
a. Subjek Pajak orang pribadi, yaitu Orang pribadi
yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih
dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan,
yang:
·
Menjalankan
usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia
·
Dapat
menerima atau memperoleh penghsiland dari Indonesia bukan dari menjalankan
usaha atu melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indinesia.
b. Subjek Pajak badan, yaitu Badan yang didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia yang :
·
Menjalankan
usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
·
Dapat
menerima atau memperoleh panghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan
usaha atu melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
Subek Pajak dalam negeri menjadi Wajib Pajak
apabila telah menerima atau memperoleh panghasilan. Sedangkan Subjek Pajak luar
negeri sekaligus menjadi wajib pajak, sehubungan dengan penghasilan yang
diterima dari sumber penghasilan di Indonesia atau memperoleh melalui bentuk
usaha tetap di Indonesia. Dengan kata lain, Wajib Pajak adalah orang pribadi
atau badan yang telah memenuhi kewajiban subjektif dan objektif.
Subjek pajak tersebut
dikenai pajak apabila menerima atau memperoleh penghasilan. Subjek pajak yang
menerima atau memperoleh penghasilan, dalam Undang-Undang No. 36 tahun 2008
tentang Pajak Penghasilan (PPh) disebut Wajib Pajak. Wajib Pajak dikenai pajak
atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya selama satu tahun pajak atau
dapat pula dikenai pajak untuk penghasilan dalam bagian tahun pajak apabila
kewajiban pajak subjektifnya dimulai atau berakhir dalam tahun pajak.
Wajib
Pajak Dalam Negeri Wajib Pajak Luar Negeri
Dikenakan pajak atas penghasilan baik yang
diterima atau diiperoleh dari Indonesia dan luar Indonesia
a. Dekenakan pajak berdasarkan penghasilan netto
b. Tarif pajak yang digunakan adalah tariff umum
(Tarif UU PPh pasal 17).
c. Wajib menyampaikan SPT 1.Dikenakan pajak hanya
atas penghasilan yang berasal dari sumber penghasilan di Indonesia.
d. Dikenakan pajak berdasarkan penghsasilan bruto.
e. Tarif pajak yang digunakan adalah tariff
sepadan (tariff UU PPh pasal 26).
f. Tidak wajib meny ampaikan SPT.
Perbedaan Wajib Pajak dalam negeri dan Wajib
Pajak luar negeri, antara lain adalah:[25]
Wajib Pajak Dalam Negeri
|
Wajib Pajak Luar Negeri
|
·
Dikenakan
pajak atas penghasilan baik yang diterima atau diperoleh dari Indonesia dan
dari luar Indonesia
·
Dikenakan
pajak berdasarkan Penghasilan Netto
·
Tarif pajak
yang digunakan adalah tarif umum (tarif UU pph pasal 17)
·
Wajib
menyampaikan SPT
|
·
Dikenakan
pajak hanya atas penghasilan yang berasal dari sumber penghasilan di
Indonesia
·
Dikenakan
pajak berdasarkan Penghasilan Netto
·
Tarif
pajak yang digunakan adalah tarif sepadan (tarif UU PPh pasal 26)
·
Tidak
wajib menyampaikan SPT
|
H. Kewajiban Pajak
Subjektif[26]
Untuk lebih memperjelas pengertian, kapan mulai
dan berakhirnya sebagai subjek pajak dalam negeri maupun subjek pajak luar
negeri, berikut ini diberikan table mulai dan berakhirnya kewajiban pajak
subjektif.
MULAI
|
BERAKHIR
|
Subjek Pajak Dalam Negeri Orang Pribadi:
·
Saat
dilakhirkan
·
Saat
berada di Indonesia atau bertempat tinggal di Indonesia
Subjek Pajak Dalam Negeri Badan:
·
Saat
didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia
|
Subjek Pajak Dalam Negeri Orang Pribadi Di Indonesia:
·
Saat
meninggal
·
Saat
meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya
Subjek
Pajak Dalm Negeri Badan:
·
Saat
dibubarkan atau tidak lagi bertempat kedudukan di Indonesia
|
Subjek Pajak Luar Negeri Melalui BUT:
·
Saat
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia
|
Subjek Pajak Luar Negeri Melalui BUT:
·
Saat
tidak lagi menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia
|
Subjek Pajak Luar Negeri Tidak Melalui BUT:
·
Saat
menerima atau memperoleh panghasilan di Indonesia
|
Subjek Pajak Luar Negeri Tidak Melalui BUT:
·
Saat
tidak lagi menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia
|
Warisan Belum Terbagi:
·
Saat
timbulnya warisan yang belum terbagi
|
Warisan Belum Terbagi:
·
Saat
warisan telah selesai di bagikan
|
I. Bukan subyek pajak
penghasilan
Undang Undang No. 17 tahun 2000 menjelaskan tentang apa yang tidak
termasuk obyek pajak sebagai berikut:[27]
1. Badan perwakilan negara asing.
2. Pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat
atau pejabat - pejabat lain dari negara asing dan orang - orang yang
diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama
mereka dengan syarat :
·
Bukan warga negara indonesia tidak menerima atau memperoleh
penghasilan lain di luar jabatannya di Indonesia.
·
Negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik.
3.
Organisasi internasional sebagai mana dimaksud dalam keputusan
menteri keuangan no 661/KMK.04./1994 tanggal 23 Desember 1994 sebagai mana
telah diubah terkhir dengan keputusan Menteri Keuangan nomor 314/KMK.04/1998
tanggal 15 juni 1998, dengan syarat :
·
Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut.
·
Tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untnuk memperoleh
penghasilan dari Indonesia selain pemberian pinjaman kepada pemerintah yang
dananya berasal dari iuran
Para anggota.yang
ditetapkan oleh keputusan menteri keuangan dengan syarat Indonesia ikut dalam
organisasi tersebut dan organisasi tersebut tidak melakukan kegiatan usaha di
Indonesia. Contoh: WTO, FAO, UNICEF.
4.
Pejabat perwakilan oraganisasi internasional sebagai mana dimaksud
dalam keputusan Menteri Keuangan no 611/KMK.04/1994 tanggal 23 Desember 1994
sebagaimana telah diubah dengan keputusan Menteri Keuangan nomor
314/KMK.04/1998 tanggal 15 juni 1998, dengan syarat :
·
Bukan warga Negara Indonesia
·
Tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan atau pekerjaan lain
untuk memperoleh penghasilan di
Indonesia.
Pejabat
perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan oleh keputusan menteri
keuangan dengan syarat bukan warga negara indonesia dan tidak memperoleh
penghasilan dari Indonesia.
J. Objek Pajak dan Bukan
Objek Pajak
Objek Pajak
Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan.
Penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar
Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau menambah kekayaan Wajib Pajak
yang bersangkutan, dengan nama dari bentuk apapun.
Yang termasuk dalam pengertian penghasilan
adalah :[28]
1.
Imbalan
berkenaan dengan pakerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk
gaji, upah, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan
dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini.
2.
Hadiah
dari undian pekerjaan atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan.
3.
Laba
usaha
4.
Keuntungan
karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk :
·
Keuntungan
karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya
sebagai pengganti saham atau penyertaan modal.
·
Keuntungan
yang diperoleh perseroan, persekutuan dan badan lainnya karena pengalihan harta
kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota.
·
Keuntungan
karena likuidasi, penggabungan, peluburan, pemekaran, pemecahan, atau
pengambilalihan usaha.
·
Keuntungan
karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan, kecuali diberikan
kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan badan
keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk
koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tiada ada hubungan
dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasa antara pihak-pihak yang bersangkutan.
5.
Penerimaan
kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya
6.
Bunga
termasuk premium, diskontom dan imbalan lain karena jaminan pengembalian utang.
7.
Dividen,
dengan nama dan bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada
pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi
8.
Royalty
9.
Sewa dan
penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta.
10. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala.
11. Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali
sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
12. Keuntungan karena selisih penilaian kembali
aktiva.
13. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva.
14. Premi asuransi.
15. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan
dari anggotanya yang terdiri dari wajib pajak yang menjalankan usaha atau
pekerjaan bebas.
16. Tambahan kekayaan netto yang berasal dari
penghasilan yang belum dikenakan pajak.
Penghasilan
tersebut dapat dikelompokan menjadi :
a)
Penghasilan
dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas, seperti gaji, honorarium,
penghasilan dan praktik dokter, notaris, aktuaris, akuntan, pengacara, dan
sebagainya.
b)
Penghasilan
dari usaha atau kegiatan.
c)
Penghasilan
dari modal atau penggunaan harta, seperti sewa, bunga, dividen, royalty,
keuntungan dari penjualan harta yang tidak digunakan, dan sebagainya.
d) Penghasilan lain-lain, yaitu penghasilan yang
tidak dapat di klasifikasikan ke dalama salah satu dari tiga kelompok
penghasilan di atas, seperti :
·
Keuntungan
karena pembebasan utang.
·
Keuntungan
karena selisih kurs mata uang asing.
·
Selisih
lebih karena penilaian kembali aktiva.
·
Hadiah
undian.
Yang menjadi Objek Pajak adalah
penghasilan yaitu setiap Tambahan Kemampuan
Ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, Bagi
Wajib Pajak Dalam Negeri, yang menjadi objek pajak adalah penghasilan baik yang
berasal dari Indonesia maupun luar Indonesia. Sedangkan bagi Wajib Pajak Luar
Negeri, yang menjadi objek pajak hanya penghasilan yang berasal dari Indonesia
saja.
Undang-undang Pajak Penghasilan Indonesia
menganut prinsip pemajakan atas penghasilan dalam pengertian yang luas, yaitu
bahwa pajak dikenakan atas setiap tambahan kemampuan ekonomis yang Diterima
atau Diperoleh Wajib Pajak dari manapun asalnya yang dapat dipergunakan untuk konsumsi
atau menambah kekayaan Wajib Pajak tersebut.
Pengertian penghasilan dalam Undang-undang PPh
tidak memperhatikan adanya penghasilan dari sumber tertentu, tetapi pada adanya
tambahan kemampuan ekonomis. Tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh
Wajib Pajak merupakan ukuran terbaik mengenai kemampuan Wajib Pajak tersebut
untuk ikut bersama-sama memikul biaya yang diperlukan pemerintah untuk kegiatan
rutin dan pembangunan.
Dilihat dari penggunaannya, penghasilan dapat
dipakai untuk konsumsi dan dapat pula ditabung untuk menambah kekayaan Wajib
Pajak.
Karena Undang-undang PPh menganut pengertian
penghasilan yang luas maka semua jenis penghasilan yang diterima atau diperoleh
dalam suatu tahun pajak digabungkan untuk mendapatkan dasar pengenaan pajak.
Dengan demikian, apabila dalam satu Tahun Pajak suatu usaha atau kegiatan
menderita kerugian, maka kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan
lainnya (Kompensasi Horisontal), kecuali kerugian yang diderita di luar negeri.
Namun demikian, apabila suatu jenis penghasilan dikenakan pajak dengan tarif
yang bersifat final atau dikecualikan dari Objek Pajak, maka penghasilan
tersebut tidak boleh digabungkan dengan penghasilan lain yang dikenakan tarif
umum.[29]
Bukan Objek Pajak
a.
Bantuan
sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil
zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan para penerima zakat yang
berhak atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang
diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau
disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima sumbangan yang berhak,
yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah; dan
b. Harta hibahan yang diterima oleh keluarga
sedarah dalam garis keuntungan lurus satu derajat, dan oleh badan keagamaan
atau bandan pendidikan atau badan social atau pengusaha kecil, termasuk
koperasi yang ditetapkan oleh menteri keuangan, sepanjang tidak ada hubungan
dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang
bersangkutan;
2. Warisan;
3. Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh
badan sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;
4. Penggaian atau imbalan sehubungan dengan
pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan atau
kenikmatan dari wajib pajak atau pemerintah, kecuali yang diberikan oleh bukan
wajib pajak, Wajib Pajak yang dikenakan pajak secara final atau Wajib Pajak
yang menggunakan norma penghitungan khusus (deemed profit);
5. Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada
orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan,
asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa;
6. Dividen atau pembagian laba yang diterima atau
diperoleh perseroan terbatas sebagai wajib pajak dalam negeri, koperasi, BUMN,
atau BUMD, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat
kedudukan di Indonesia dengan syarat :
·
Dividen
berasal dari cadangan laba yang ditahan.
·
Bagi
perseoan terbatas, BUMN dan BUMD yang menerima dividen paling rendah 25% dari
jumlah modal yang disetor dan harus mempunyai usaha aktif diluar kepemilikan
saham tersebut.
7. Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun
yang pendiriannya telah disahkan oleh menteri keuangan, baik yang dibayar oleh
pemberi kerja maupun pegawai.
8. Penghsailan dari modal uang ditanamkan oleh
dana pensiun sebagaimana dimaksud pada angka 7, dalam bidang-bidang tertentu
yang ditetapkan pleh menteri keuangan.
9. Bagian laba yang diterima atau diperoleh
anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham,
persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan
kontrak investasi kolektif;
10. Penghasilan yang diterima atau diperoleh
perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang
didirikan dan menjalanjan usaha atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan
pasangan usaha tersebut :
·
Merupakan
perusahaan kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam sector-sektor
usaha y ang ditetapkan dengan keputusan menteri keuangan.
·
Sahamnya
tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.
11. Beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu
yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan;
12. Sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan
atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang
penelitian dan pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi yang
membudanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan
pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan, dalam jangka waktu paling lama
4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut, yang ketentuannya
diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; dan
13. Bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial kepada Wajib Pajak tertentu, yang
ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan.
14. Bunga obligasi yang diterima atau diperoleh
perusahaan raksadana selama 5 tahun pertama sejak pemberian ijin usaha.
K. Kronologi Perubahan
Undang-undang yang mengatur Pajak Penghasilan
Pajak Penghasilan (PPh) di Indonesia diatur pertama kali dengan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 dengan penjelasan pada Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50. Selanjutnya berturut-turut peraturan
ini diamandemen oleh :[31]
1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991,
2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994, dan
3. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000.
4. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
Mulai Juli 2003 sampai Desember 2004, pemerintah menerapkan sistem
pajak yang ditanggung pemerintah yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor
47 Tahun 2003 dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 486/KMK.03/2003.
Perubahan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) telah disesuaikan
juga beberapa kali dalam:
1. Peraturan Menteri Keuangan Nomor
564/KMK.03/2004, berlaku untuk tahun pajak 2005 (sekaligus meniadakan pajak
yang ditanggung pemerintah).
2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor
137/PMK.03/2005, berlaku untuk tahun pajak 2006.
L. Tarif Pajak penghasilan
atau PPh
Tarif Pajak penghasilan atau PPh dibagi atas:
1.
Untuk WP orang pribadi sebagai berikut:
·
Rp. 0 s.d. Rp 50 juta, tarifnya 5%
·
Rp. 50 juta s.d. Rp 250 juta, tarifnya 15%
·
Rp. 250 juta s.d. Rp 500 juta, tarifnya 25%
·
>Rp.500 juta, tarifnya 30%
2.
Untuk WP berbentuk badan usaha sebagai berikut:
·
WP Badan Dalam Negeri BUT 28% -Berlaku mulai sejak tahun 2010
·
PT 40% dari jumlahkeseluruhan saham yang disetor diperdagangkan di
BEI (Bursa Efak Indonesia) dan memenuhi persayaratan tertentu lainnya dapat
memperoleh tarif sebesar 5% lebih rendah dari pada tarif yang berlaku.
·
WP Badan Dalam Negeri dengan Peredaran Bruto samapai dengan Rp.
50.000.000.000.00 mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% yang
dikenakan atas PKP dari bagian Peredaran Bruto samapai dengan Rp.4.800.000.000.00
Tarif Pajak penghasilan atau PPh dibagi atas adalah tarif
progresif. Artinya setiap lapisan Penghasilan Kena Pajak dikenakan sesuai
tarifnya, tidak diakumulasi terlebih dahulu, baru dikenakan tarif. Sebelum
dikenakan tarif, Penghasilan Kena Pajak dibulatkan dulu sampai ribuan ke bawah.
contoh :
Penghasilan
Kena Pajak WP orang pribadi = Rp 300.000.950
Penghasilan
Kena Pajak dibulatkan : Rp 300.000.000
PPh nya adalah
:
5% x Rp 50.000.000
= Rp 2.500.000
15% x Rp 200.000.000 = Rp 30.000.000
Total = Rp 32.500.000.
M. Cara Menghitung
Penghasilan Kena Pajak
Pajak penghasilan (bagi wajib pajak dalam
negeri dan Bentuk Usaha Tetap) setahun dihitung dengan cara mengalihkan
Penghasilan Kena Pajak dengan tariff pajak sebagaimana diatur dalam UU PPh
pasal 17. Untuk menghitung PPh dapat digunakan rumus sebagai berikut :[32]
Pajak
penghasilan (wajib pajak badan)
·
Penghasilan
kena pajak x tariff pasal 17
·
(Penghasilan
netto – PTKP) x tariff pasal 17
·
(Penghasilan
bruto – biaya yang diperkenankan UU PPh) x tariff pasal 17
Pajak
Penghasilan (WP orang pribadi)
·
Penghasilan
kena pajak x tariff pasal 17
·
(Penghasilan
netto – PTKP) x pasal 17 [(Penghasilan bruto – biaya yang diperkenankan UU
PPh)-PTKP] x tariff pasal 17
Catatan
:
Untuk keperluan penghitungan PPh yang terutang
pada akhir tahun, penghasilan kena pajak dibulatkan ke bawah hingga ribuan
penuh.
Contoh:
·
PT
Cahaya, sepanjang tahun 2010 mempunyai penghasilan kena pajak sebesar Rp.4.500.000.000,00.
Dengan PKP sebesar Rp.500.000.000,00 perhitungan pajak terutang:
Seluruh
PKP yang diperoleh dari peredaran bruto tersebut dikenai tarif sebesar 50% dari
tarif pajak penghasilan badan yang berlaku karena jumlah peredaran bruto PT.
Cahaya tidak melebihi Rp. 4.800.000.000,00.
Pajak
penghasilan yang terutang:
(50%x25%)x
Rp. 500.000.000,00 = Rp.62.500.000,00
·
Predaran
bruto PT. Marwa dalam tahun pajak 2010 sebesar Rp.30.000.000.000,00 dengan PKP
sebesar Rp.3.000.000.000,00. Penghitungan pajak penghasilan yang terutang:
Jumlah
PKP dari bagian PB (peredaran bruto) yang memperoleh fasilitas:
(Rp.
4.800.000.000,00 : Rp.30.000.000.000,00)
x Rp.3.000.000.000,00
= Rp.
480.000.000,00.
Jumlah
PKP dari bagian PB yang tidak memperoleh fasilitas:
Rp.3.000.000.000,00
- Rp. 480.000.000,00 = Rp.2.520.000.000,00
Pajak
penghasilan yang terutang:
-(50%x28%)
x Rp. 480.000.000,00 =
Rp. 67.200.000,00
-28% x
Rp.2.520.000.000,00. =
Rp.705.600.000,00
Jumlah
pajak penghasilan yang terutang =
Rp.772.800.000,00
·
Gunawan
pada tahun 2010 mempunyai Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp.241.850.600,00.
Besarnya pajak penghasilan yang harus dibayar atau terutang oleh Gunawan
adalah:
Penghasilan
kena pajak (PKP) = Rp.
241.850.600,00.
(dibulatkan
ke bawah hingga ribuan penuh)
Pajak
penghasilan yang harus dibayar:
5% x Rp.50.000.000,00 = Rp. 2.500.000,00
15% x
Rp.191.850.000,00 = Rp.28.777.500,00
Jumlah =
Rp.31.277.500,00
Penghitungan besarnya Penghasilan Netto bagi Wajib
Pajak Dalam Negeri dan bentuk usaha tetap dapat dilakukan dengan dua cara,
yaitu :
1. Menggunakan pembukuan
2. Menggunakan norma perhitungan
Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang
dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang
meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan, dan biaya, serta jumlah harga
perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan
keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi pada setiap tahun pajak berakhir.
Wajib pajak badan dan wajib pajak pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas diwajibkan menyelenggarakan pembukuan.
Dikecualikan dari kewajiban menyelenggarakan
pembukuan tetapi wajib melakukan pencatatan adalah wajib pajak orang pribadi
yang melakukan kegiatan usaha atu pekerjaan bebas yang menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan :
·
Diperbolehkan
menghitung penghasilan netto dengan menggunakan norma penghitungan penghasilan
netto.
·
Wajib
pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.
Pencatatan oleh wajib pajak orang pribadi yang
melakukan kegiatan usaha dan pekerjaan bebas meliputi peredaran atau penerimaan
bruto dan penerimaan penghasilan lainnya. Sedangkan bagi mereka yang
semata-mata menerima penghasilan dari luar usaha dan pekerjaan bebas pancatatan
hanya mengenai panghasilan bruto, pengurang, dan penghasilan netto yang
merupakan objek pajak penghasilan. Di samping itu pencatatan meliputi pula
penghasilan yang bukan objek pajak atau yang dikenakan pajak yang bersifat
final.
Pembukuan atau pencatatan harus :
·
Diselenggarakan
dengan memperhatikan itikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha
yang sebenarnya.
·
Diselenggarakan
di Indonesia dengan menggunakan huruf latin, angka arab, satuan mata uang
rupiah.
·
Disusun
dalam bahasa Indonesia atau dalam bahasa asing yang diizinkan oleh menteri
keuangan (misalnya, bahasa inggris ).
Mengitung Penghasilan Kena Pajak dengan
Menggunakan Pembukuan
Untuk wajib pajak badan besarnya penghasilan
kena pajak sama dengan penghasilan netto, yaitu penghasilan bruto dikurangi dengan
biaya-biaya yang diperkenankan oleh undang-undang PPh. Sedangkan untuk wajib
pajak orang pribadi besarnya penghasilan kena pajak sama dengan penghasilan
netto dirumuskan sebagai berikut :
Penghasilan Kena Pajak (WP Orang Pribadi):
Penghasilan
netto (PN) = (Penghasilan bruto – biaya yang diperkenankan UU PPh) – PTKP
Penghasilan Kena Pajak (WP Badan)
=
Penghasilan netto (PN)
=
Penghasilan bruto – biaya yang diperkenankan UU PPh
Menurut ketentuan undang-undang PPh,
biaya-biaya (pengeluaran) dapat digolongkan menjadi dua, yaitu :
1. Yang dapat dikurangkan dari penghasilan
bruto.
2. Yang tidak dapat dikurangkan dari
penghasilan bruto.
Biaya-biaya yang dapat dikurangkan dari
penghasilan bruto adalah sebagai berikut :
a) Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan, termasuk:
·
biaya
pembelian bahan,
·
biaya
berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium, bonus,
gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang,
·
bunga,
sewa, royalty,
·
biaya
perjalanan,
·
biaya pengolahan
limbah,
·
premi
asuransi,
·
biaya
administrasi, dan
·
pajak,
kecuali pajak penghasilan.
b) Penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh
harta berwujud dan amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas
biaya lain yang mempunyai Masa manfaat lebih dari satu tahun.
c) Iuran dengan dana pensiun yang pendiriannya
telah disahkan oleh menteri keuangan.
d) Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta
yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan.
e) Kerugian atas selisih kurs mata uang asing.
f) Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang
dilakukan di Indonesia.
g) Biaya beasiswa, magang, pelatihan
h) Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), khusus
bagi wajib pajak dalam negeri orang pribadi.
i)
Piutang
yang nyata-nyata tidak dapat ditagih, dengan syarat :
·
Telah
dibebankan sebagai biaya dalam laporan keuangan komersial.
·
Telah
diserahkan perkara penagihannya kepada pengadilan negeri atas Badan Urusan
Piutang dan Lelang Negara (BUPLN) atau adanya perjanjian tertulis mengenai
penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang
bersangkutan,
·
Telah
dipublikasikan dalam pererbitan umum atau khusus, atau adanya pengakuan dari
debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah uang tertentu;
·
Wajib
pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada
Direktorat Jendral Pajak, yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan
keputusan Direktorat Jendral Pajak.
·
Syarat
sebagaimana yang dimaksud pada Point dua dan tiga tidak berlaku untuk
penghapusan piutang tak tertagih debitur kecil.
j)
Pembentukan
atau pemupukan dana cadangan berupa candangan piutang tak tertagih untuk usaha
bank dan sewa guna usaha dengan hak opsi, cadangan untuk usaha asuransi, dan
cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan, yang ketentuan dan
syarat-syaratnya ditetapkan dengan keputusan menteri keuangan.
k) Premi asuransi keuangan, asuransi kecelekaan,
asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa yang dibayar oleh pemberi
kerja dan premi asuransi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi wajib pajak
orang pribadi yang bersangkutan.
l)
Panggatian
atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk
natura dan kenikmatan berupa penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh
pegawai
m) Panggatian atau imbalan sehubungan dengan
pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan :
·
Di
daerah tertentu (misalnya: daerah terpencil)
·
Berkaitan
dengan palaksanaan pekerjaan, yang ditetapkan dengan keputusan menteri
keuangan.
n) Kompensasi kerugian fiscal tahun sebelumnya
(max 5 tahun).
Sedangkan biaya-biaya yang tidak boleh
dikurangkan dari penghasilan bruto menurut undang-undang PPh adalah :
1)
Pembagian
dengan nama dan bentuk apapun seperti dividen, termasuk dividen yang dibagikan
oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha
koperasi.
2)
Biaya
yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi kepentingan pribadi
pemegang saham, sekutu, atau anggota.
3) Pembentukan atau pemupukan dana cadangan
kecuali:
·
Cadangan
piutang tak tertagih untuk usaha bank dan sewa guna usaha dengan hak opsi,
perusahaan pembiayaan konsumen, dan perusahaan ajak piutang;
·
Cadangan
untuk usaha asuransi, termasuk cadangan bantuan sosial yang dibentuk oleh badan
penyelenggara jaminan sosial;
·
Cadangan
penjaminan untuk lembaga penjaminan simpanan;
·
Cadangan
biaya reklamasi untuk usaha pertambangan, yang ketentuan dan syarat-syaratnya
ditetapkan dengan keputusan menteri keuangan.
·
Cadangan
penanaman kembali untuk usaha kehutanan; dan
·
Cadangan
biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah industri untuk usaha
pengelolaan limbah industri, yang ketentuan dan syarat-syaratnya diatur dengan
atau berdasarkan peratuaran menteri keuanagan.
4) Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan,
asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa, yang dibayar oleh wajib
pajak orang pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi asuransi
tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi wajib pajak yang bersangkutan.
5) Panggantian atau imbalan sehubungan dengan
pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali
penyediaan makanan dana minuman bagi seluruh pegawai serta;
6) Penggantian atau imbalan sehubungan dengan
pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali
imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan :
·
Di
daerah tertentu.
·
Berkaitan
dengan pelaksanaan pekerjaan.
·
Yang
ditetapkan dengan keputusan menteri keuangan.
7) Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan
kepada pemegang saham atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa
sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan.
8) Harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan
dan warisan, kecuali zakat atas penghasilan yang nyata-nyata dibayarkan oleh
wajib pajak orang pribadi pemeluk agama islam dan atau wajib pajak badan dalam
negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama islam kepada badan amil zakat atau
lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah.
9) Pajak penghasilan.
10) Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk
kepentingan pribadi wajib pajak atau orang yang menjadi tanggungannya.
11) Gaji yang dibayarkan kepada anggota
persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas
saham.
12) Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan
kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan
perundang-undangan di bidang perpakajan.
13) Biaya-biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan yang :
·
Dikenakan
PPh yang bersifat final.
·
Bukan
objek PPh.
14) Biaya-biaya untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan yang PPh-nya dihitung dengan menggunakan norma
perhitungan penghasilan netto.
Mengitung Penghasilan Kena Pajak Dengan Menggunakan
Apabila dalam menghitung penghasilan kena
pajaknya wajib pajak menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Netto, besarnya
penghasilan netto adalah sama besarnya dengan besarnya (persentase) Norma
Penghitungan Penghasilan Netto dikalikan dengan jumlah peredaran usaha atau
penerimaan bruto pekerjaan bebas setahun.
Pedoman untuk menentukan penghasilan netto,
dibuat dan disempurnakan terus-menerus serta diterbitkan oleh direktur jendral
pajak berdasarkan pegangan yang ditetapkan oleh menteri keuangan.
Wajib pajak yang boleh menggunakan norma
penghitungan adalah wajib pajak orang pribadi yang memenuhi syarat sebagai
berikut :
1.
Peredaran
bruto kurang dari Rp 4.800.000.000,00 per tahun
2.
Mengajukan
permohonan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama dari tahun buku
3.
Menyelenggarakan
pencatatan
Berikut ini adalah contoh penghitungan
pajak yang terutang dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Netto.
Wajib pajak Anto kawin (istri tidak bekerja)
dan meempunyai 3 orang anak. Ia seorang dokter bertempat tinggal di Jakarta
yang juga memiliki industri rotan di Cirebon. Misalnya besarnya persentase
norma untuk industri rotan di Cirebon 12,5% dan dokter di Jakarta 45%.
Peredaran usaha dari industri rotan
di Cirebon setahun Rp.400.000.000,00
Peredaran bruto seorang dokter di Jakarta setahaun Rp. 100.000.000,00
Peredaran bruto seorang dokter di Jakarta setahaun Rp. 100.000.000,00
Penghasilan netto (PN) dihitung sebagai berikut
:
Industri
rotan : 12,5%
(Rp.400.000.000,00) = Rp.50.000.000,00
Sebagai
seorang dokter : 45% (Rp 100.000.000,00)
= Rp.45.000.000,00
Jumlah PN =
Rp.95.000.000,00
PTKP =
Rp.21.120.000,00
PKP =
Rp.73.880.000,00
N. Penghasilan Tidak Kena
Pajak (PTKP)
Besarnya
PTKP setahun yang berlaku saat ini adalah :[34]
·
Rp.15.840.000,00
untuk wajib pajak orang pribadi.
·
Rp.1.320.000,00
tambahan untuk wajib pajak yang kawin.
·
Rp.15.840.000,00
tambahan untuk seorang istri yang penghasilannya di gabung dengan penghasilan
suami, dengan syarat:
1. Penghasilan istri tidak semata-mata diterima
atau diperoleh dari satu pemberi kerja yang telah dipotong pajak berdasarkan
ketentuan dalam Undang-undang dalam pasal 21.
2. Pekerjaan istri tidak ada hubungannya dengan
usaha atau pekerjaan bebas suami atau anggota keluarga lain.
·
Rp.1.320.000,00
tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis
keturunan lurus satu derajat serta anak angkat yang menjadi tanggungan
sepenuhnya (max 3 orang).
Pengitungan PTKP ditentukan menurut keadaan
pada awal tahun pajak atau awal bagian tahun pajak. Penghitungan PTKP untuk
pegawai lama (tahun sebelumnya sudah bekerja di Indonesia) dilakukan dengan
melihat keadaan pada awal tahun takwim (1 januari). Bagi pegawai yang baru datang
dan menetap di Indonesia dalam bagian tahun takwim, besarnya PTKP tersebut
berdasarkan keadaan pada awal bulan dari bagian tahun takwim yang bersangkutan.
Dalam hal karyawati kawin, PTKP yang
dikurangkan adalah hanya untuk dirinya sendiri, dalam hal karyawati tidak
kawin, pengurangan PTKP selain untuk dirinya sendiri juga PTKP untuk keluarga
yang menjadi tanggungan sepenuhnya.
Contoh
penghitungan PTKP:
1. Joko sudah menikah dengan mempunyai seorang
anak. PTKP Joko selain Joko adalah:
PTKP setahun :
Untuk wajib pajak sendiri = Rp.15.840.000,00
Tambahan WP kawin = Rp.
1.320.000,00
Tambahan satu anak = Rp.
1.320.000,00
Jumlah =
Rp.18.480.000,00
2. John (warga Negara asing) bekerja di Indonesia
pada tanggal 1 Oktober 2002 dengan kontrak kerja selama 2 tahu. John mempunyai
3 anak. PTKP John adalah:
PTKP
setahun:
Untuk WP
sendiri = Rp.15.840.000,00
Untuk WP
kawin = Rp. 1.320.000,00
Tambahan
3 anak =
Rp. 3.960.000,00
Jumlah =
Rp.21.120.000,00
O. Pemotongan Atau
Pemungutan Pajak Penghasilan Yang Bersifat Final
Dalam ketentuan mengenai pajak penghasilan yang
berlaku saat ini, ada bebarapa jenis penghasilan (objek pajak) yang dikenekan
pemotongan atau pemungutan pajak yang bersifat final. Penghasilan yang
dikenakan pemotongan atau pemungutan PPh yang bersifat final, tetap dilaporkan
dalam Surat Pemberitahuan (SPT), hanya saja jumlahnya tidak di jumlahkan dengan
penghasilan lainnya.[35]
P. Cara Melunasi Pajak
Pada dasarnya, wajib pajak dapat menghitung dan
melunasi pajak penghasilan melalui dua cara, yaitu :[36]
1. Pelunasan pajak tahun berjalan, yaitu pelunasan
pajak dalam masa pajak yang meliputi:
a. Pembayaran sendiri oleh wajib pajak (PPh pasal 25)
untuk setiap masa pajak.
b. Pembayaran pajak melalui pemotongan/pemungutan
pihak ketiga (orang pribadi atau badan baik swasta maupun pemerintah) berupa
kredit pajak yang dapat diperhitungkan dengan jumlah pajak terutang selama
tahun pajak, yaitu:
·
Pemotongan
PPh atas penghasilan dari pekerjaan, jasa, atau, kegiatan (PPh pasal 21)
·
Pemungutan
PPh atas penghasilan dari kegiatan usaha di bidang lain, dan pembayaran atas
penyerahan barang kepada badan pemerinrtah (PPh pasal 22)
·
Pemotongan
PPh atas penghasilan dari modal atau penggunaan harta oleh orang lain, hadiah,
dan penghargaan (PPh pasal 23)
·
Pelunasan
PPh diluar negeri atas penghasilan diluar negeri (PPh pasal 24)
·
Pemotongan
PPh atas penghasilan yang terutang atas wajib pajak luar negeri (PPh pasal 26)
·
Pemotongan
atas penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan-tabungan lainnya,
penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek,
penghasilan dari pengalihan harta berupatanah atau bangunan serta penghasilan
tertentu lainnya (PPh Pasal 4 ayat 2)
2. Pelunasan pajak sesudah akhir tahun.
Pelunasan
lajak sesudah tahun pajak berakhir dilakukan dengan cara:
·
Membayar
pajak yang kurang disetor yaitu menghitung sendiri jumlah pajak penghasilan
terutang untuk suatu tahun pajak dikurang dengan jumlah kredit pajak tahun yang
bersangkutan.
·
Membayar
pajak yang kurang disetor berdasarkan surat ketetapan pajak atau surat tagihan
pajak yang ditetapkan oleh Direktur Jendral Pajak, apabila terdapat bukti bahwa
jumlah pajak penghasilan terutang tidak benar.
Q. Perlakuan PPh atas
pengalihan tanah.
Pengenaan PPh atas penghasilan dari pengalihan
tanah dan/atau bangunan berdasarkan Undang-undang No. 10/1994 diatur pada Pasal
4 ayat (2). “Atas penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan-tabungan
lainnya, penghasilan dari transaksi
saham dan sekuritas lainnya di bursa efek, penghasilan dari pengalihan harta
berupa tanah dan/atau bangunan serta penghasilan tertentu lainnya, pengenaan
pajaknya diatur dengan Peraturan Pemerintah.”
UU No. 10/1994 tersebut merupakan UU yang
mengubah UU No. 7/1983. Dalam UU No.7/1983 pasal 4 ayat (2) hanya mencakup
pengenaan PPh atas bunga deposito berjangka dan tabungan lainnya. Kemudian di
dalam perubahan UU yang dituangkan dalam UU No.10/1994, cakupan Pasal 4 ayat
(2) diperluas sehingga mencakup juga penghasilan dari transaksi saham dan
sekuritas lainnya di bursa efek, penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah
dan/atau bangunan serta penghasilan tertentu lainnya. Walaupun tidak ditegaskan
penghasilan-penghasilan yang dicakup oleh Pasal 4 ayat (2) diperlakukan sebagai
final, pada kenyataannya hampir semua penghasilan dimaksud dikenakan PPh final.
Pengenaan pajak atas penghasilan-penghasilan yang dicakup di Pasal 4 ayat (2)
tersebut diatur dengan peraturan pemerintah.
Perlakuan pajak atas penghasilan dari
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan telah mengalami perubahan sejak
diterbitkannya PP 48/1994 sampai yang terakhir yaitu PP 79/1999, khususnya yang
menyangkut orang pribadi. Berdasarkan PP 48/1994 orang pribadi yang melakukan
pengalihan hak atas tanah dan/bangunan dikenai PPh final sebesar 5% dari jumlah
bruto. Perlakuan PPh tersebut diterapkan kepada semua orang pribadi, tanpa
membedakan apakah orang yang bersangkutan mempunyai kegiatan usaha pengalihan
hak atas tanah dan/atau bangunan.
Perlakuan PPh ini kemudian diubah dengan PP
27/1996 yang membedakan antara orang pribadi yang usaha pokoknya melakukan
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, dengan orang pribadi selain yang
mempunyai usaha tersebut.
Berdasarkan PP 27/1996 pengenaan PPh final
diterapkan terhadap:
1. orang pribadi yang usaha pokoknya melakukan
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, dan
2. orang pribadi yang mempunyai penghasilan diatas
PTKP, yang melakukan pengalihan hak dengan nilai kurang dari Rp60 juta.
PP 27/1996 tidak secara jelas mengatur
perlakuan PPh atas pengalihan hak tersebut apabila dilakukan oleh orang pribadi
yang mempunyai penghasilan di atas PTKP dan nilai pengalihannya melebihi Rp60
juta. Apabila disimak bunyi Pasal 8 dari PP dimaksud maka perlakuan PPh final
hanya terbatas kepada dua kelompok wajib pajak sebagaimana disebutkan di atas.
Dengan demikian, apabila seorang wajib pajak
orang pribadi yang usaha pokoknya bukan menjual hak atas tanah dan/atau
bangunan, maka keuntungan dari pengalihan tersebut akan dikenakan PPh dengan
tarif umum. Perlakuan ini sama dengan ketentuan dari PP 79/1999. Perlakuan PPh
terhadap orang pribadi yang usaha pokoknya bukan jual beli hak atas tanah
dan/atau bangunan memperoleh perlakuan yang kurang adil bila dibandingkan
dengan orang pribadi yang mempunyai usaha pengalihan hak atas tanah dan/atau
bangunan. Pengenaan PPh yang tidak final berarti bahwa PPh yang disetor sebesar
5% dari nilai pengalihan merupakan pembayaran pendahuluan dari seluruh PPh yang
terutang dalam tahun yang bersangkutan.
Kesulitan akan timbul dalam menghitung
keuntungan dari pengalihan tersebut, terutama untuk harta yang telah dimiliki
dalam jangka waktu yang cukup lama. Hal ini akan menyebabkan ketidakadilan dari
segi beban pajak yang ditanggung terutama untuk harta yang sudah dimiliki dalam
kurun waktu yang lama. Harga perolehan yang relatif jauh lebih rendah dari
harga peralihannya akan menyebabkan beban pajak yang lebih tinggi. Faktor
penyebabnya adalah bahwa Undang-Undang Pajak Penghasilan tidak menerapkan
indeksasi untuk harta tetap untuk menentukan harga perolehan dari harta tetap
untuk keperluan perpajakan.
Di samping itu, wajib pajak orang pribadi yang
tidak menjalankan usaha cenderung untuk tidak melakukan pencatatan sehingga
kemungkinan besar sulit untuk mentrasir kembali harga perolehan dari harta
dimaksud termasuk dokumen pendukungnya. Sebaliknya wajib pajak orang pribadi
yang menjalankan usaha jual beli tanah dan bangunan diterapkan pengenaan pajak
yang bersifat final, padahal wajib pajak kelompok ini seharusnya mempunyai
catatan atau pembukuan, sehingga harga perolehannya seharusnya dapat diketahui.
PP 27/1996 kemudian diubah dengan PP 79/1999
yang sepanjang menyangkut orang pribadi, memberi penegasan bahwa wajib pajak
orang pribadi yang usaha pokoknya bukan dari jual beli hak atas tanah dan/atau
bangunan, keuntungan dari pengalihan dimaksud dikenai pajak tetapi tidak final.[37]
R. Perlakuan PPh atas
kerugian yang timbul akibat terjadinya bencana alam.
Pasal 6 Undang-undang PPh mengatur bahwa untuk
menghitung Penghasilan Kena Pajak, penghasilan bruto dikurangi dengan biaya
untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan, termasuk biaya pembelian
bahan, biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa seperti misalnya upah, gaji,
honorarium, bonus, gratifikasi dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang,
bunga, sewa, royalti, biaya perjalanan, biaya pengolahan limbah, premi
asuransi, biaya administrasi, dan pajak kecuali PPh penyusutan atas pengeluaran
untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas pengeluaran untuk
memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu
tahun, iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya disahkan oleh Menteri
Keuangan, kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan
digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan, kerugian dari selisih kurs mata uang asing, biaya
penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia, biaya bea
siswa, magang, dan pelatihan, piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih,
sepanjang memenuhi syarat-syarat tertentu;
Rincian dari biaya-biaya yang boleh dikurangkan
sebagaimana disebutkan di atas yang menyangkut "kerugian" adalah:
kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan
dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan, kerugian dari selisih kurs mata uang asing. Salah satu jenis
kerugian yang dapat dikurangkan sebagai biaya adalah kerugian karena penjualan
harta yang dimiliki dan digunakan dalam usaha. Kerugian yang diderita karena
harta yang dipergunakan dalam usaha menjadi rusak akibat bencana harus
dibebankan melalui mekanisme yang diatur di dalam Pasal 11 ayat (8).
Pasal 11 ayat (8) mengatur dua hal, yaitu
penarikan harta karena harta tersebut dijual atau dialihkan dan penarikan harta
karena sebab lain Dalam hubungannya dengan bencana alam, maka penarikan harta
karena sebab lain cocok untuk situasi tersebut. Jadi apabila harta tersebut
adalah harta yang dapat disusutkan, maka jumlah nilai sisa bukunya dibebankan
sebagai kerugian. Apabila harta dimaksud diasuransikan maka jumlah penggantian
asuransinya dibukukan sebagai penghasilan.
Bagaimana perlakuannya terhadap harta yang
tidak dapat disusutkan atau harta yang tidak dipakai dalam usaha? UU PPh secara
umum memperlakukan semua jenis penghasilan sama artinya UU ini tidak menganut
pemajakan berdasarkan jenis penghasilan seperti misalnya pengenaan pajak atas
penghasilan dari usaha berbeda dengan capital gains. Atas dasar pemikiran yang
demikian maka kerugian karena kehilangan harta yang disebabkan oleh bencana
alam seharusnya juga dapat dibebankan sebagai biaya. Apabila dalam suatu
bencana yang terjadi juga memusnahkan barang persediaan, seharusnya wajib pajak
dapat membebankannya sebagai kerugian Masalahnya adalah menghitung besarnya
kerugian yang diderita karena kehilangan persediaan barang tersebut.
UU PPh mengatur tentang penilaian persediaan
barang di Pasal 10 ayat (8). Penjelasan dari pasal itu menyebutkan bahwa yang
dimaksud dengan persediaan barang meliputi tiga jenis barang, yaitu barang jadi
atau barang dagangan, barang dalam proses produksi, bahan baku dan bahan
pembantu. Ketentuan tersebut mengatur bahwa untuk keperluan penghitungan harga
pokok, metode yang diperbolehkan adalah dengan cara rata-rata atau dengan cara
mendahulukan persediaan yang didapat pertama. Sejalan dengan ketentuan
tersebut, untuk menghitung kerugian yang diderita karena bencana cara yang sama
juga sebaiknya diperbolehkan. Penerapan cara penilaian barang yang sama
terhadap kerugian karena rusaknya persediaan barang akan memberikan perlakuan yang
seimbang dan netral. Apabila ketentuan dalam UU PPh memungkinkan untuk memberi
kesempatan mengklaim kerugian, masalah yang perlu dipikirkan adalah menentukan
dokumen-dokumen yang harus disajikan sebagai bukti bahwa telah terjadi kerugian
karena bencana. Dokumen yang menunjuk kan bahwa wajib pajak benar-benar merugi
karena terjadinya bencana, diperlukan dalam beberapa hal, antara lain untuk:
penyesuaian terhadap setoran PPh dalam tahun berjalan (PPh Pasal 25);
kompensasi kerugian yang terjadi pada saat terjadinya bencana; bukti pada saat
dilakukannya pemeriksaan pajak; dan penundaan pemasukan SPT Tahunan (bila
diperlukan).[38]
S. PPh atas Koperasi
Bagaimana dengan pajak koperasi? Menurut sudut
pandang pajak koperasi adalah sesuai dengan pengertian koperasi secara spesifik
kedudukan koperasi di mata hukum pajak adalah sebagai berikut.
Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) huruf b
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000, koperasi merupakan badan usaha yang
merupakan subjek pajak yang memiliki kewajiban dan hak perpajakan yang sama
dengan badan usaha lainnya.yakni:
·
Atas
penghasilan yang diterima atau diperoleh koperasi adalah objek pajak.
·
Modal
koperasi terdiri dari : modal sendiri dan modal pinjaman
·
Anggota
koperasi tidak dibedakan antara orang pribadi dan badan hukum dalam negeri.
Jika koperasi adalah badan usaha yang terkena
pajak lantas penghasilan apa saja yang menjadi objek Pajak penghasilan:
1. Bunga Simpanan Koperasi
Bunga
simpanan koperasi merupakan imbalan yang diberikan koperasi kepada anggota
berdasarkan simpanan wajib dan sukarela yang disetorkan kepada koperasi. Bunga
simpanan koperasi yang akan diterima oleh anggota sesuai dengan Ad/ART Koperasi
:
·
Bunga
simpanan koperasi yang diterima atau diperoleh anggota dipotong Pajak
penghasilan atau PPh : Pasal 23 final oleh koperasi sebesar 15% dari jumlah
bunga yang diterima sepanjang jumlah bunga simpanan yang diterima atau
diperoleh anggota lebih dari Rp 240.000,00 setiap bulannya.
·
Dalam
hal bunga simpanan yang diterima anggota tidak melebihi Rp 240.000,00 dalam
sebulan, dikecualikan dari pemotongan PPh Pasal 23
2. Sisa Hasil Usaha (SHU) Koperasi
·
Sisa
Hasil Usaha (SHU) adalah pendapatan koperasi yang diperoleh dalam satu tahun
buku dikurangi dengan biaya-biaya operasional dan kewajiban lainnya termasuk
pajak dalam tahun buku yang bersangkutan.
·
SHU
merupakan bagian laba yang diberikan kepada anggota atas simpanan pokoknya.
·
Pemberian
SHU tidak dijanjikan di awal, tetapi tergantung pada laba yang diperoleh
koperasi.
·
Berdasarkan
pasal 4 ayat (1) huruf g Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000, SHU termasuk ke
dalam pengertian dividen yang merupakan objek PPh sehingga harus dilaporkan
dalam SPT Tahunnan penerima
·
Namun,
pembagian SHU tersebut bukan merupakan objek PPh Pasal 23 oleh pihak lain
(Lihat pasal 23 ayat (4) huruf f Undang-Undang nomor 17 Tahun 2000).
Kewajiban
Koperasi sebagai Pemotong Pajak
1. Memotong PPh pada saat pembayaran atau
terutangnya bunga dan memberikan bukti pemotongan kepada anggota yang menerima
bunga simpanan koperasi.
2. Menyetorkan secara kolektif PPh selambat-lambatnya
tanggal 10 bulan berikutnya (menggunakan SSP dimana kolom nama dan NPWP SSP
diisi dengan nama dan NPWP koperasi).
3. Melaporkan ke KPP terkait selambat-lambatnya
tanggal 20 bulan berikutnya (menggunakan SPT Masa PPh Pasal 23/26).
Penghasilan
koperasi yang bukan objek pajak
1. Bantuan atau sumbangan yang diterima oleh
koperasi sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau
penguasaan (Lihat Pasal 4 ayat (3) huruf a Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000).
2. Harta hibahan yang diterima oleh koperasi
sepanjang antara pemberi hibah dengan koperasi tersebut tidak ada hubungan
usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan dengan syarat bahwa nilai aktiva
(nilai kekayaan koperasi sebelum dikurangi dengan hutang) tidak termasuk tanah dan
bangunan pada saat akan menerima hibah, tidak lebih dari Rp 600.000.000,00.
Dividen atas bagian laba dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan
dan bertempat kedudukan di Indonesia (Lihat Pasal 4 ayat (3) huruf f)
3. Sisa hasil usaha yang dibayarkan oleh koperasi
kepada anggotanya.
4. Bunga simpanan yang tidak melebihi Rp
240.000,00 setiap bulannya.
BAB III
KESIMPULAN
Menurut Pasal 1 angka 1 UU No 6 Tahun 1983 sebagaimana telah disempurnakan
terakhir dengan UU No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum Dan Tata
Cara Perpajakan (UU KUP) adalah “kontribusi
wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat
memaksa berdasarkan Undang Undang, dengan tidak mendapat timbal balik secara
langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat”
Sehingga dapat kita ketahui dari definisi diatas bahwa
unsur pajak itu meliputi: Iuran wajib yang dikenakan kepada masyarakat
wajib pajak, ditetapkan dengan norma-norma atau aturan hukum, dipergunakan
untuk membiayai kepentingan umum, bertujuan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat, balas jasanya tidak dapat diterima secara langsung.
Pajak penghasilan adalah pajak yang dibebankan pada penghasilan perorangan,
perusahaan atau badan hukum lainnya. Pajak penghasilan bisa diberlakukan
progresif, proporsional, atau regresif.
Pajak Penghasilan
merupakan jenis pajak subjektif yang kewajiban pajaknya melekat pada Subjek
Pajak yang bersangkutan, artinya kewajiban pajak tersebut dimaksudkan untuk
tidak dilimpahkan kepada Subjek Pajak lainnya. Oleh karena itu dalam rangka
memberikan kepastian hukum, penentuan saat mulai dan berakhirnya kewajiban
pajak subjektif menjadi penting.
Fungsi pajak secara
sederhana adalah untuk menyelenggarakan kepentingan bersama para warga
masyarakat. Yakni dalam bentuk Fungsi Penerimaan (Budgetair) dan
Fungsi Mengatur (Regulerend) yang secara umum pajak merupakan suatu
Sebagai Sumber pendapatan Negara, Sebagai Alat pemerataan Ekonomi, Sebagai
Pengatur Kegiatan Ekonomi dan Sebagai Alat Stabilitas Perekonomian.
Dengan demikian jelas
bahwa peranan penerimaan pajak bagi suatu negara menjadi sangat dominan dalam
menunjang jalannya roda pemerintahan dan pembiayaan pembangunan.
Disamping fungsi budgeter (fungsi
penerimaan) di atas, pajak juga melaksanakan fungsi redistribusi pendapatan
dari masyarakat yang mempunyai kemampuan ekonomi yang lebih tinggi kepada
masyarakat yang kemampuannya lebih rendah. Oleh karena itu tingkat kepatuhan
Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya secara baik dan benar
merupakan syarat mutlak untuk tercapainya fungsi redistribusi pendapatan.
Sehingga pada akhirnya kesenjangan ekonomi dan sosial yang ada dalam masyarakat
dapat dikurangi secara maksimal.
Sistem pemungutan pajak itu bisa dengan cara Official
Assesment System yakni sistem pemungutan pajak yang menyatakan bahwa jumlah
pajak yang dilunasi atau terhutang oleh wajib pajak dihitung dan ditetapkan oleh aparat pajak
atau fiscus, ada juga dengan cara Self Assesment System yakni sistem
pemungutan pajak yang menyatakan bahwa jumlah pajak yang dilunasi atau
terhutang oleh wajib pajak dihitung sendiri oleh wajib pajak, dan ada pula
melalui cara Withholding System yakni sistem pemungutan pajak yang
memberi wewenang kepada pihak ketiga untuk memotong atau memungut besarnya
pajak yang terutang oleh Wajib Pajak (WP), dimana pihak ketiga baik Wajib Pajak
Orang Pribadi maupun Wajib Pajak Badan Dalam Negeri diberi kepercayaan oleh
peraturan perundang-undangan untuk melaksanakan kewajiban memotong atau
memungut pajak atas penghasilan yang dibayarkan kepada penerimaan penghasilan.
Pihak ketiga tersebut memiliki peran aktif dalam sistem ini, dan fiskus
berperan dalam pemeriksaan pajak, penagihan, maupun tindakan penyitaan apabila
ada indikasi pelanggran perpajakan, seperti halnya pada self assessment
system.
Pemungutan pajak dapat dilakukan berdasarkan 3
(tiga) stelsel yaitu: Stelsel Nyata (Riel Stelsel) yakni pajak yang
dihitung dan di bayar pada akhir tahun sehingga sesuai dengan pendapatan pada
saat ini. Stelsel Anggapan (Fictieve Stelsel) yaitu menganggap
penghasilan sama dengan tahun lalu. Adapun yang menengahi keduanya, yakni
pencampuran antara stelsel nyata dan anggapan yaitu Stelsel Campuran yang
dimana pada stelsel ini besaran pajak dihitung berdasarkan anggapan dan pada
akhir tahun di sesuaikan dengan pendapatan, sehingga pada stelsel ini ada
istilah lebih dan kurang bayar.
Adapun yang dikenakan atas pajak (subjek pajak)
yaitu:
1) Orang pribadi dan Warisan yang belum terbagi
sebagai satu kesatuan menggantikanyang berhak
2) Badan, teridi dari PT, CV, Perseroan lainnya,
BUMN/BUMD dengan nama dan bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun,
persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisani massa politik, atau organisasi
yang sejejenis, lembaga, dan bentuk badan lainnya.
3) Bentuk Usaha Tetap (BUT)
Namun Subjek Pajak dapat dibedakan antara
Subjek Pajak dalam negeri dan subjek
pajak Luar Negeri, karena ada beberapa hal yang membedakan keduanya dalam
perhitungan pajak itu sendiri.
Subek Pajak dalam negeri menjadi Wajib Pajak
apabila telah menerima atau memperoleh panghasilan. Sedangkan Subjek Pajak luar
negeri sekaligus menjadi wajib pajak, sehubungan dengan penghasilan yang
diterima dari sumber penghasilan di Indonesia atau memperoleh melalui bentuk
usaha tetap di Indonesia. Dengan kata lain, Wajib Pajak adalah orang pribadi
atau badan yang telah memenuhi kewajiban subjektif dan objektif.
Subjek pajak tersebut dikenai pajak apabila menerima
atau memperoleh penghasilan. Subjek pajak yang menerima atau memperoleh
penghasilan, dalam Undang-Undang No. 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan
(PPh) disebut Wajib Pajak. Wajib Pajak dikenai pajak atas penghasilan yang
diterima atau diperolehnya selama satu tahun pajak atau dapat pula dikenai
pajak untuk penghasilan dalam bagian tahun pajak apabila kewajiban pajak
subjektifnya dimulai atau berakhir dalam tahun pajak.
Kendati demikian ada pula yang tidak termasuk subjek pajak. Undang Undang No. 17 tahun 2000 menjelaskan tentang apa yang tidak
termasuk obyek pajak sebagai berikut; Badan perwakilan negara asing, Pejabat
perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat - pejabat lain dari negara
asing dan orang - orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan
bertempat tinggal bersama mereka, Organisasi internasional sebagai mana
dimaksud dalam keputusan menteri keuangan no 661/KMK.04./1994 tanggal 23
Desember 1994 sebagai mana telah diubah terkhir dengan keputusan Menteri Keuangan
nomor 314/KMK.04/1998 tanggal 15 juni 1998, Para anggota.yang ditetapkan oleh
keputusan menteri keuangan dengan syarat Indonesia ikut dalam organisasi
tersebut dan organisasi tersebut tidak melakukan kegiatan usaha di Indonesia.
Contoh: WTO, FAO, UNICEF, Pejabat perwakilan oraganisasi internasional sebagai
mana dimaksud dalam keputusan Menteri Keuangan no 611/KMK.04/1994 tanggal 23
Desember 1994 sebagaimana telah diubah dengan keputusan Menteri Keuangan nomor
314/KMK.04/1998 tanggal 15 juni 1998, dan Pejabat perwakilan organisasi
internasional yang ditetapkan oleh keputusan menteri keuangan dengan syarat
bukan warga negara indonesia dan tidak memperoleh penghasilan dari Indonesia.
Adapun objek pajak adalah penghasilan. Seperti; Imbalan, Hadiah, Laba usaha, Keuntungan
karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk, Penerimaan kembali
pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya, Bunga termasuk premium,
diskontom dan imbalan lain karena jaminan pengembalian utang, Dividen, Royalty,
Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta., Penerimaan atau
perolehan pembayaran berkala, Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali
sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah,
Keuntungan karena selisih penilaian kembali aktiva, Selisih lebih karena
penilaian kembali aktiva, Premi asuransi, Iuran yang diterima atau diperoleh
perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari wajib pajak yang menjalankan
usaha atau pekerjaan bebas, Tambahan kekayaan netto yang berasal dari
penghasilan yang belum dikenakan pajak. Namun, zakat, beasiswa, santunan,
warisan dan sejenisnya tidak termasuk objek pajak
Penghitungan besarnya Penghasilan Netto bagi
Wajib Pajak Dalam Negeri dan bentuk usaha tetap dapat dilakukan dengan dua
cara, yaitu :
1. Menggunakan pembukuan
2. Menggunakan norma perhitungan
Pada intinya Pajak merupakan sumber penerimaan Negara yang digunakan untuk
membiayai kepentingan umum yang akhirnya juga mencakup kepentingan pribadi
individu seperti kepentingan rakyat, pendidikan, kesejahteraan rakyat,
kemakmuran rakyat dan sebagainya. Sehingga pajak merupakan salah satu alat
untuk mencapai tujuan Negara.
Pemungutan pajak yang
dilakukan oleh pemerintah merupakan sumber terpenting dari penerimaan Negara.
Lagipula penerimaan Negara dari pajak dapat dijadikan indikator atas peran
serta masyarakat (sebagai subjek pajak) dalam kontribusinya melakukan kewajiban
perpajakan, karena pembayaran pajak yang dilakukan akan dikembalikan lagi
kepada masyarakat dalam bentuk tidak langsung, dan berupa pengeluaran rutin dan
pembangunan yang berguna bagi rakyat.
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Buku:
Alrasid, Harun. Naskah UUD 1945, 2003. Universitas
Indonesia: UII Press
Brotodiharjo Santoso R, 1993. Pengantar Ilmu Hukum Pajak,
Bandung: PT Eresco.
Burton, Richard dan Ilyas Wirawan B. 2001. Hukum Pajak,
Jakarta: Salemba Empat.
Hostaritua, Situmorang. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang
Pajak Penghasilan
Mardiasmo, 2011, Perpajakan Edisi Revisi 2011, Yogyakarta:
Andi.
Muqodim, 2000. Perpajakan Buku Satu, , Jogyakarta: UII Press
dan Ekonesia , Jogyakarta
Soemitro, Rocmat. 1991. Pajak Ditinjau Dari Segi Hukum, Bandung:
PT Eresco,
Soemitro, Rochmat. 1992. Pengantar Singkat Hukum Pajak,
Bandung: PT Eresco.
Sumber
internet:
Ervina Nur
Fajaria, contoh-makalah-ekonomi-pajak-penghasilan.html, 2012
Imran, makalah-hukum-pajak.html
Kompas Forum, pajak-penghasilan-pengertian-pajak-penghasilan-pph.html,
25-11-12, 12:50 PM
[2] Ibid,
[3] Pengertian-Fungsi-dan-Jenis-Jenis-Pajak- htm www.Materisekolah.com.,
26 February 2013
[4] Pengertian-Fungsi-dan-Jenis-Jenis-Pajak- htm www.Materisekolah.com.,
26 February 2013
[5] Kompas Forum, pajak-penghasilan-pengertian-pajak-penghasilan-pph.html,
25-11-12, 12:50 PM
[6] Sugeng, pengertian-pajak-fungsi-pengelompokan.htm 2012 Sarjanaku.com
[7] Imran, makalah-hukum-pajak.html
[8] Ibid,
[9] Kompas Forum, pajak-penghasilan-pengertian-pajak-penghasilan-pph.html,
25-11-12, 12:50 PM
[10] Pengertian-Fungsi-dan-Jenis-Jenis-Pajak- htm www.Materisekolah.com.,
26 February 2013
[11] Imran, Op.Cit,
[12] Mardiasmo, Perpajakan Edisi Revisi 2011, Yogyakarta: Andi,
2011, hlm. 134
[13] Imran, makalah-hukum-pajak.html, 2012
[14] Ibid,
[15] Ibid,
[16] Sugeng, pengertian-pajak-fungsi-pengelompokan.htm 2012 Sarjanaku.com
[17] Imran, Op.Cit,
[18] Sugeng, lop.Cit,
[19] Imran, Op.Cit,
[20] Nur Fajaria Ervina, contoh-makalah-ekonomi-pajak-penghasilan.html,
2012
[21] Sugeng, Op.Cit,
[22] Ibid,
[24] Mardiasmo, Perpajakan Edisi Revisi 2011, Yogyakarta: Andi,
2011, hlm. 135-137
[25] Ibid, hlm.137
[26] Ibid, hlm. 137-138
[28] Mardiasmo, Op.Cit, hlm. 139-141
[30] Mardiasmo, Op.Cit, hlm.141-143
[32] Ikhsan Faizal, Makalah-Pajak-Penghasilan-Umum_tabalota.htm WordPress.com 06 November 2011
[33] Mardiasmo, Perpajakan Op.Cit, hlm. 148-149
[34] Ibid, hlm.149-150
[35] Ibid, hlm. 152
[36] Ibid, hlm. 153-154
[37] Imran, Op.Cit
[38] Imran, Op.Cit,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar