ISLAMISASI
SAINS
Nama: Junia
Marwa, NIM: 1210 302 090
Krisis yang melanda dunia saat ini berawal dari
kecenderungan perilaku masyarakat untuk mendewakan rasio tanpa adanya
perimbangan antara spiritualitas, moralitas dan rasionalitas (Kees Bertens, 2002:
185). Dominasi rasionalisme ini membawanya sebagai pilar utama metode keilmuan (scientific
method). Ini tampak sekali pada analisis dan penyikapan manusia terhadap
berbagai realitas. baik realitas sosial, individual, bahkan keagamaan. Dominasi penalaran juga telah menggeser
(bahkan menghapus) kebutuhan spiritual-transendental, yang membawa
akibat pada berkembangnya budaya materialistik-atheistik yang mencabut
akar moralitas-humanisitas hingga membawa kepada suatu peradaban yang
kehilangan equilibrium (keseimbangan antara rasionalitas dan
moralitas). (Haidar Baqir 1996:3).
Di sisi lain, sains yang pertumbuhannya kemudian menjadi
amat pesat sebagai akibat pengedepanan rasio. Sains yang eksistensinya
melalui pembuktian, dengan research (penelitian ilmiah) kemudian di
gunakan manusia untuk menguasai alam (K. Bertas 285).
Perilaku yang demikian
amat sukses dilakukan oleh manusia. Tetapi sebagai akibat pemusatan perhatian
pada konsumsi material, ia kehilangan hubungan antara dirinya dengan kehidupan (hilangnya
keyakinan religius dan nilai kemanusiaan). Sains ketika di tangan manusia
menjadi begitu perkasa karena menjadi pilar utama peradaban, yang termodifikasi
oleh pikiran cerdas manusia, kini berbalik mendikte pikiran manusia itu
sendiri.
Munculnya ide
Islamisasi sains, tidak lain merupakan salah satu upaya yang dilakukan umat
Islam untuk bangkit dari ketertindasan dan keterbelakangannnya di bidang sains.
Ide Islamisasi sains ini ternyata membawa banyak tanggapan dari para ilmuan
muslim, dan menjadi suatu polemik yang terus menjadi bahan perbincangan.
Ziauddin Sardar
mencatat bahwa dalam menghadapi sains modern dan sikapnya terhadap Islamisasi
sains minimal ada tiga kelompok ilmuan muslim: Pertama, kelompok muslim apologetik.
Kelompok ini menganggap bahwa sains modern itu bersifat universal dan
netral. Oleh karena itu mereka berusaha melegitimasi hasil sains modern dengan
mencari ayat AI-Qur'an yang sesuai dengan teori dalam sains. Kelompok ini
disebut Sardar sebagai bucailism (di ambil dari nama Maurice Bucaille, yang
dari beberapa karyanya banyak meninjau Al-Qur'an dari sudut pandang
temuan-temuan sains modern). Kedua, kelompok yang masih bekerja dengan sains modern, tetapi berusaha juga mempelajari
sejarah dan filsafat ilmunya agar dapat menyaring elemen yang tidak Islami.
Hemat penulis adalah konsep sains yang selaras dengan ajaran Islam dipakai, dan
yang bertentangan tidak dipakai. Ketiga, kelompok yang percaya adanya sains Islam dan berusaha membangunnya. Mereka
beranggapan bahwa sains Islam itu ada. Ini terlihat dengan gerakan pencarian
epistemologi Islam, diantara para tokoh kelompok ini menurut Haidar Baqir telah
membahas temuan-temuan sains modern dalam berbagai bidang, seperti biologi, kimia,
antropologi dan fisika.
Perubahan paling besar
yang terjadi pada manusia modern adalah yang menyangkut rasionalisme dan
empirisme. Karena pengaruh ini, realitas yang dianggap nyata adalah yang tampak
secara empiris atau yang bisa dipikirkan secara rasional. Selain itu tidak ada
yang nyata. Deskrates memisahkan antara dunia material dan spirutual, Bacon
memisahkan antara pengamat dan yang diamati, antara subyek dan obyek, antara
manusia dan alam. Ia akhirnya membawa pemisahan antara fakta dan nilai; dan
karena sains hanya mengamati fakta, maka nilai diabaikan. Juga karena sains
hanya dapat mengamati aspek terukur, maka sifat rohaniah dari alam dan benda
didalamnya dihilangkan. Inilah yang sering kita kenal dengan sekularisme.
Roger Garaudy
menunjukkan bahwa dalam Islam setiap benda di alam yang diciptakan oleh Tuhan
memiliki tujuan, sehingga benda terkecilpun bernilai suci. Ini berarti bahwa kemampuan
mendekati Tuhan tersebut terdapat dalam hakekat manusia sendiri; pertama dalam
pola yang langsung dan obyektif, kedua dalam pola yang tidak langsung dan
juga obyektif; dan ketiga secara langsung dan subyektif. Jadi, menurut
penulis langkah pertama dengan
mengarahkan diri kepada Tuhan personal, yang ada di luar dan mengatasi kita;
kemudian dengan mengarahkan diri kepada manivestasi manusiawi Tuhan; dan
akhirnya dengan menemukan Tuhan pada dasar jiwa kita yang terdalam. Yang pertama
adalah Tuhan transenden yang bertahta di lauhil mahfudz, yang kedua adalah
Manusia-Tuhan atau secara lebih umum dikenal sebagai Simbol dan Sakramen; dan
yang terakhir adalah Diri imanen. Jadi transendensi, imanensi dan teofani
ketiga hal ini merupakan penghubung yang dapat digunakan manusia untuk
mendekati realitas Ilahi. Dengan perbuatan imanlah orang memilih tingkat
penyelidikan. Dari sinilah pepatah "Credo ut Intelligam" –“saya
beriman agar mampu mengerti”. Jika saya tidak beriman dan karenanya memilih
tingkat hati yang tidak memadai bagi penyelidikan saya, tidak akan ada lagi derajat
'ke-obyektifan' yang pernah menyelamatkan keluputan maksud dan segala hal
ikhwal, mereka bermata tapi tak melihat, bertelinga tapi tak mendengar. Apabila
seorang berurusan pada sesuatu yang mewakili derajat arti atau tingkat
eksistensi yang lebih tinggi ketimbang benda tak bernyawa, maka si pengamat
tidak hanya tergantung apakah memadai berbagai sifatnya yang lebih tinggi, yang
barangkali telah dikembangkan melalui belajar dan latihan; ia pun tergantung
apakah memadai imannya. Hal ini lebih lazim dinyatakan apakah ia mampu menyelidiki
dengan dasar ilmiah yang dipadukan dengan dasar iman sebagai pokoknya.
Kalau dalam cara
pandang filsafat menurut penulis, ternyata tidak dimungkinkan adanya sains
Islam, sekarang akan penulis uraikan dengan berdasar literatur sud Islam yang
merupakan acuan setiap gerak pribadi orang yang beriman, tentang kemungkinan tersebut.
Literatur sud (AI-Qur'an) tidak diwahyukan untuk mengajari kita sains dan tekhnologi,
tapi merupakan kitab pertunjuk. Karena itu membicarakan ilmu kealaman secara
spesifik adalah diluar tujuannya. Dalam ayat AI-Qur'an QS. 16 (An-Nahl) : 89
dijelaskan: "Dan Kami turunkan kepadamu Al- Kitab untuk menjelaskan
segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang yang
beriman". Ayat ini menunjukkan bahwa Al- Qur'an itu mencakup apa saja
yang diperlukan bagi petunjuk dan kebahagiaan kita di dunia dan akherat.
Dengan sifat dasar sains
yang relatif atas kebenaran yang dicapainya, maka menurut penulis tidaklah dibenarkan
menafsirkan AI-Qur'an secara 'buta' menurut teori yang dapat berubah. Sebuah
teori sains akan sangat populer selama periode tertentu, tetapi kemudian digantikan
oleh teori yang lain. Sistem Ptolemis salah mengasumsikan bahwa AI-Qur'an itu mendukung
nilai yang kontradiktif, karena AI-Qur'an selalu shahih /ileulli zaman wal makan
(tepat dan benar di segala ruang dan waktu).
Para ilmuan masa
lampau, seperti Ibnu Sina, Al-biruni, Ibnu Haitsam, ternyata mereka besar dan
menjadi ilmuan dengan tidak mencari rumus dan teori sains di dalam AI-Qur'an,
walaupun mereka memiliki keyakinan kuat atasnya, dan sangat mengenalnya.
Disamping itu jika pada Al-qur'an dapat kita temukan jejak seluruh teori dan
rumusan sains, maka yang kita miliki tidak akan lebih dari ensiklopedi sains
seperti ensiklopedi lain yang mudah kita temukan. Mencocokkan teks AI-Qur'an yang
suci dengan teori sains yang tidak mapan sangat berbahaya, karena akan mengancam
kemantapan fakta AI-Qur'an dan membuka pintu bagi penafsiran yang tidak dapat
diterima. Merupakan suatu kehendak Allah bahwa manusia dapat menemukan rahasia alam
dengan menggunakan indera dan inteleknya. Jika AI-Qur'an mencakup seluruh ilmu
kealaman, maka akal manusia menjadi jumud dan kebebasan manusia menjadi tidak
bermakna. Jika Rasul itu harus menerapkan ilmu kealaman dan astronomi maka itu
berarti akhir dari aktifitas indera dan akal manusia. Benar memang jika Nabi
secara ringkas menasehati umatnya untuk menggunakan indera dan akal terhadap
apa saja yang menyejahterakan mereka, memperluas ilmu mereka, dan akhirnya
meningkatkan jiwa mereka, akan tetapi tidak mengungkapkan perilaku alam yang
nantinya akan mematikan fungsi manusia di muka bumi. Karena itu pintu sains
adalah akal dan eksperimen bukan hadits dan ilmu agama. Sebab ajaran Islam agama
hanya memberikan pesan spiritual untuk mengarahkan eksperimen dan hasil yang didapat
untuk mendorong pencapaian kebenaran sejati. Islamisasi sains menunjukkan gambaran
kita tentang Allah sebagai pencipta dan penyelenggara dunia dihinggapi sifat antropomorjisme.
Yang saya maksudkan adalah bahwa tindakan Allah dalam dunia itu dibayangkan
menurut contoh tindakan manusia.
Bagi ilmuwan yang
mempelajari berbagai gejala, segala sesuatu terjadi seakan Allah tidak ada.
Bukan ia menyangkal-Nya, tetapi tak pernah bantuan-Nya diminta untuk melengkapi
kekurangan suatu keterangan atau untuk menerangkan suatu fakta yang belum
ditemukan. lni akan merendahkan Allah pada tingkat makhluk ciptaan. Padahal
Allah bersifat transenden, diatas segala 'ada' yang diciptakan. (Louis Leahy
1997:131-132).
Barangkali segala
sesuatu terjadi sendiri, dan transendensi Allah tetap dipertahankan, Allah
bukanlah tukang atau pembuat barang. Dia adalah Sang Pencipta.
Saya yakin bahwa
Al-qur'an merupakan kitab petunjuk bagi kemajuan manusia dan mencakup apa saja
yang diperlukan manusia dalam wilayah ilmu dan amal. Saya tidak memandangnya
sebagai ensiklopedi sains dan juga tidak meyakini kebenaran mencocokkan
AI-Qur'an dengan teori sains yang relatif. Walaupun mungkin dengan saling
mengkonfirmasi dan mengoreksi akan menentukan tingkat validitas. Dan menurut
saya validitas akan lebih tinggi, jika sains dikaitkan dengan wahyu, daripada
sains yang dibiarkan saja. Dan pada kenyataannya kita tidak dapat menolak bahwa
AI-Qur'an mengandung rujukan pada sebagian fenomena alam. Namun ini bukan mengajarkan
sains, tapi harus digunakan sebagai bantuan dalam menarik perhatian orang
kepada keagungan Allah, dan dengan itu membawanya kepada dekat dengan Allah.
AI-Ghozali dalam kitab
Al-jawaahir AI-Qur'an (mutiara-mutiara AI-Qur'an) menyatakan bahwa “sesungguhnya
gerakan matahari dan bulan sesuai dengan peredarannya yang pasti dan sesuai
dengan gerhana yang pasti, munculnya siang dan malam, hanya bisa diketahui oleh
orang yang mengetahui komposisi langit dan bumi.” Dinamika pemikiran dalam
arus modernitas saat ini banyak menimbulkan kebingunan umat manusia dalam
mengikuti alur pemikiran yang hendak dijadikan pedoman. Banyaknya teori dan
pemikiran baru dengan berbagai argumen ilmiah-filosofis.
Jika diamati dari
perspektif ajaran Islam, Islam senantiasa menganjurkan umatnya agar senantiasa
berfikir serta mencermati semua ciptaan Allah yang ada di langit dan di bumi. Akan
tetapi Islam tidak pernah menunjukkan umatnya tentang teori-teori sains yang
memiliki kebenaran relatif, Islam hanya mengajarkan pada umatnya tentang
kebenaran hakiki.
Tugas manusia sebagai khalifatullah
fil ardi adalah untuk menunjukkan bahwa Islam adalah agama rahmatan lil
'alamin. Inilah yang melandasi umat Islam untuk memikirkan masa depan
kemanusiaan di muka bumi, sehingga dalam praktiknya, umat Islam juga membutuhkan
sains modern. Fungsi sains disini bukan menunjukkan suatu kebenaran hakiki,
akan tetapi sebatas pengagungan ciptaan Allah. Hal ini tidak berarti bahwa Islam
adalah agama yang tidak menyediakan secara cukup perangkat prinsip dasar atau
nilai universal yang bisa dijadikan sebagai spirit kerja praktis dan inspirasi
teologis, akan tetapi menunjukkan kebesaran Islam yang menginginkan suatu peradaban
yang inklusif dan progresif dibawah naungan nur ilahi.
Dari berbagai fenomena
yang terjadi dalam dinamika pemikiran dan perilaku umat Islam saat ini, untuk
kembali menemukan kebesaran Islam guna mengendalikan peradaban di muka bumi
ini, maka harus ada akselerasi pemikiran dan pengembangan sains, guna
'mengejar' ketertinggalan dalam bidang sains dari barat.
Ide Islamisasi sains
dalam pemikiran masyarakat Muslim merupakan niatan baik sebagai suatu upaya
kaum Muslim untuk bangkit dari ketertindasan, sehingga minimal hal ini akan
membuka cakrawala baru untuk menggugah para cendekiawan muslim memikirkan
kembali peradabannya yang telah terdistorsi oleh rasionalisme modern. Ide dan
gagasan tentang Islamisasi sains dari beberapa ilmuwan muslim memiliki pondasi
yang tidak begitu kokoh, dimana banyak problematika teoritis yang tidak
terpenuhi, maka hal ini jika diterapkan akan membahayakan perkembangan sains itu
sendiri. Hal lain yang perlu dicermati, penggunaan pendekatan yang bersandar kepada
kebenaran transenden dari suatu kebenaran
relatif akan sangat membahayakan keimanan seseorang, bahkan akan mengakibatkan
pengingkaran terhadap realitas transenden. Oleh karena itu, masyarakat Muslim
hendaknya lebih kritis terhadap permasalahan kemanusiaan kontemporer. Munculnya
ide baru yang dilontarkan oleh seseorang harus dicermati betul kebenarannya.
Bagi cendekiawan dan intelektual Muslim, hendaknya pemunculan ide baru dalam
upaya menanggulangi krisis kemanusiaan modern dibarengi dengan landasan
filosofis-religius yang memiliki akar pemikiran kokoh. Pengagungan rasio dengan
pemunculan teori-teori baru harus dibarengi penguatan aqidah Islamiyah, demikian juga kekokohan bangunan religiusitas
harus memandang rasionalitas sebagai penopang dan pelengkap.
Jurnal Ilmiah Exacta, Vol.2 No.1 Mei
2009, Oleh Asep Setiadi dan Dalmeri dengan perubahan seperlunya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar