Selasa, 07 Februari 2012

essai tentang islamisasi sains

FILSAFAT ILMUISLAMISASI SAINS
Nama: Junia Marwa, NIM: 1210 302 090
            Krisis yang melanda dunia saat ini berawal dari kecenderungan perilaku masyarakat untuk mendewakan rasio tanpa adanya perimbangan antara spiritualitas, moralitas dan rasionalitas (Kees Bertens, 2002: 185). Dominasi rasionalisme ini membawanya sebagai pilar utama metode keilmuan (scientific method). Ini tampak sekali pada analisis dan penyikapan manusia terhadap berbagai realitas. baik realitas sosial, individual, bahkan keagamaan. Dominasi penalaran juga telah menggeser (bahkan menghapus) kebutuhan spiritual-transendental, yang membawa akibat pada berkembangnya budaya materialistik-atheistik yang mencabut akar moralitas-humanisitas hingga membawa kepada suatu peradaban yang kehilangan equilibrium (keseimbangan antara rasionalitas dan moralitas). (Haidar Baqir 1996:3).
            Di sisi lain, sains yang pertumbuhannya kemudian menjadi amat pesat sebagai akibat pengedepanan rasio. Sains yang eksistensinya melalui pembuktian, dengan research (penelitian ilmiah) kemudian di gunakan manusia untuk menguasai alam (K. Bertas 285).
Perilaku yang demikian amat sukses dilakukan oleh manusia. Tetapi sebagai akibat pemusatan perhatian pada konsumsi material, ia kehilangan hubungan antara dirinya dengan kehidupan (hilangnya keyakinan religius dan nilai kemanusiaan). Sains ketika di tangan manusia menjadi begitu perkasa karena menjadi pilar utama peradaban, yang termodifikasi oleh pikiran cerdas manusia, kini berbalik mendikte pikiran manusia itu sendiri.
Munculnya ide Islamisasi sains, tidak lain merupakan salah satu upaya yang dilakukan umat Islam untuk bangkit dari ketertindasan dan keterbelakangannnya di bidang sains. Ide Islamisasi sains ini ternyata membawa banyak tanggapan dari para ilmuan muslim, dan menjadi suatu polemik yang terus menjadi bahan perbincangan.
Ziauddin Sardar mencatat bahwa dalam menghadapi sains modern dan sikapnya terhadap Islamisasi sains minimal ada tiga kelompok ilmuan muslim: Pertama, kelompok muslim apologetik. Kelompok ini menganggap bahwa sains modern itu bersifat universal dan netral. Oleh karena itu mereka berusaha melegitimasi hasil sains modern dengan mencari ayat AI-Qur'an yang sesuai dengan teori dalam sains. Kelompok ini disebut Sardar sebagai bucailism (di ambil dari nama Maurice Bucaille, yang dari beberapa karyanya banyak meninjau Al-Qur'an dari sudut pandang temuan-temuan sains modern). Kedua, kelompok yang masih bekerja dengan  sains modern, tetapi berusaha juga mempelajari sejarah dan filsafat ilmunya agar dapat menyaring elemen yang tidak Islami. Hemat penulis adalah konsep sains yang selaras dengan ajaran Islam dipakai, dan yang bertentangan tidak dipakai. Ketiga, kelompok yang percaya adanya  sains Islam dan berusaha membangunnya. Mereka beranggapan bahwa sains Islam itu ada. Ini terlihat dengan gerakan pencarian epistemologi Islam, diantara para tokoh kelompok ini menurut Haidar Baqir telah membahas temuan-temuan sains modern dalam berbagai bidang, seperti biologi, kimia, antropologi dan fisika.
Perubahan paling besar yang terjadi pada manusia modern adalah yang menyangkut rasionalisme dan empirisme. Karena pengaruh ini, realitas yang dianggap nyata adalah yang tampak secara empiris atau yang bisa dipikirkan secara rasional. Selain itu tidak ada yang nyata. Deskrates memisahkan antara dunia material dan spirutual, Bacon memisahkan antara pengamat dan yang diamati, antara subyek dan obyek, antara manusia dan alam. Ia akhirnya membawa pemisahan antara fakta dan nilai; dan karena sains hanya mengamati fakta, maka nilai diabaikan. Juga karena sains hanya dapat mengamati aspek terukur, maka sifat rohaniah dari alam dan benda didalamnya dihilangkan. Inilah yang sering kita kenal dengan sekularisme.
Roger Garaudy menunjukkan bahwa dalam Islam setiap benda di alam yang diciptakan oleh Tuhan memiliki tujuan, sehingga benda terkecilpun bernilai suci. Ini berarti bahwa kemampuan mendekati Tuhan tersebut terdapat dalam hakekat manusia sendiri; pertama dalam pola yang langsung dan obyektif, kedua dalam pola yang tidak langsung dan juga obyektif; dan ketiga secara langsung dan subyektif. Jadi, menurut penulis langkah  pertama dengan mengarahkan diri kepada Tuhan personal, yang ada di luar dan mengatasi kita; kemudian dengan mengarahkan diri kepada manivestasi manusiawi Tuhan; dan akhirnya dengan menemukan Tuhan pada dasar jiwa kita yang terdalam. Yang pertama adalah Tuhan transenden yang bertahta di lauhil mahfudz, yang kedua adalah Manusia-Tuhan atau secara lebih umum dikenal sebagai Simbol dan Sakramen; dan yang terakhir adalah Diri imanen. Jadi transendensi, imanensi dan teofani ketiga hal ini merupakan penghubung yang dapat digunakan manusia untuk mendekati realitas Ilahi. Dengan perbuatan imanlah orang memilih tingkat penyelidikan. Dari sinilah pepatah "Credo ut Intelligam" –“saya beriman agar mampu mengerti”. Jika saya tidak beriman dan karenanya memilih tingkat hati yang tidak memadai bagi penyelidikan saya, tidak akan ada lagi derajat 'ke-obyektifan' yang pernah menyelamatkan keluputan maksud dan segala hal ikhwal, mereka bermata tapi tak melihat, bertelinga tapi tak mendengar. Apabila seorang berurusan pada sesuatu yang mewakili derajat arti atau tingkat eksistensi yang lebih tinggi ketimbang benda tak bernyawa, maka si pengamat tidak hanya tergantung apakah memadai berbagai sifatnya yang lebih tinggi, yang barangkali telah dikembangkan melalui belajar dan latihan; ia pun tergantung apakah memadai imannya. Hal ini lebih lazim dinyatakan apakah ia mampu menyelidiki dengan dasar ilmiah yang dipadukan dengan dasar iman sebagai pokoknya.
Kalau dalam cara pandang filsafat menurut penulis, ternyata tidak dimungkinkan adanya sains Islam, sekarang akan penulis uraikan dengan berdasar literatur sud Islam yang merupakan acuan setiap gerak pribadi orang yang beriman, tentang kemungkinan tersebut. Literatur sud (AI-Qur'an) tidak diwahyukan untuk mengajari kita sains dan tekhnologi, tapi merupakan kitab pertunjuk. Karena itu membicarakan ilmu kealaman secara spesifik adalah diluar tujuannya. Dalam ayat AI-Qur'an QS. 16 (An-Nahl) : 89 dijelaskan: "Dan Kami turunkan kepadamu Al- Kitab untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang yang beriman". Ayat ini menunjukkan bahwa Al- Qur'an itu mencakup apa saja yang diperlukan bagi petunjuk dan kebahagiaan kita di dunia dan akherat.
Dengan sifat dasar sains yang relatif atas kebenaran yang dicapainya, maka menurut penulis tidaklah dibenarkan menafsirkan AI-Qur'an secara 'buta' menurut teori yang dapat berubah. Sebuah teori sains akan sangat populer selama periode tertentu, tetapi kemudian digantikan oleh teori yang lain. Sistem Ptolemis salah mengasumsikan bahwa AI-Qur'an itu mendukung nilai yang kontradiktif, karena AI-Qur'an selalu shahih /ileulli zaman wal makan (tepat dan benar di segala ruang dan waktu).
Para ilmuan masa lampau, seperti Ibnu Sina, Al-biruni, Ibnu Haitsam, ternyata mereka besar dan menjadi ilmuan dengan tidak mencari rumus dan teori sains di dalam AI-Qur'an, walaupun mereka memiliki keyakinan kuat atasnya, dan sangat mengenalnya. Disamping itu jika pada Al-qur'an dapat kita temukan jejak seluruh teori dan rumusan sains, maka yang kita miliki tidak akan lebih dari ensiklopedi sains seperti ensiklopedi lain yang mudah kita temukan. Mencocokkan teks AI-Qur'an yang suci dengan teori sains yang tidak mapan sangat berbahaya, karena akan mengancam kemantapan fakta AI-Qur'an dan membuka pintu bagi penafsiran yang tidak dapat diterima. Merupakan suatu kehendak Allah bahwa manusia dapat menemukan rahasia alam dengan menggunakan indera dan inteleknya. Jika AI-Qur'an mencakup seluruh ilmu kealaman, maka akal manusia menjadi jumud dan kebebasan manusia menjadi tidak bermakna. Jika Rasul itu harus menerapkan ilmu kealaman dan astronomi maka itu berarti akhir dari aktifitas indera dan akal manusia. Benar memang jika Nabi secara ringkas menasehati umatnya untuk menggunakan indera dan akal terhadap apa saja yang menyejahterakan mereka, memperluas ilmu mereka, dan akhirnya meningkatkan jiwa mereka, akan tetapi tidak mengungkapkan perilaku alam yang nantinya akan mematikan fungsi manusia di muka bumi. Karena itu pintu sains adalah akal dan eksperimen bukan hadits dan ilmu agama. Sebab ajaran Islam agama hanya memberikan pesan spiritual untuk mengarahkan eksperimen dan hasil yang didapat untuk mendorong pencapaian kebenaran sejati. Islamisasi sains menunjukkan gambaran kita tentang Allah sebagai pencipta dan penyelenggara dunia dihinggapi sifat antropomorjisme. Yang saya maksudkan adalah bahwa tindakan Allah dalam dunia itu dibayangkan menurut contoh tindakan manusia.
Bagi ilmuwan yang mempelajari berbagai gejala, segala sesuatu terjadi seakan Allah tidak ada. Bukan ia menyangkal-Nya, tetapi tak pernah bantuan-Nya diminta untuk melengkapi kekurangan suatu keterangan atau untuk menerangkan suatu fakta yang belum ditemukan. lni akan merendahkan Allah pada tingkat makhluk ciptaan. Padahal Allah bersifat transenden, diatas segala 'ada' yang diciptakan. (Louis Leahy 1997:131-132).
Barangkali segala sesuatu terjadi sendiri, dan transendensi Allah tetap dipertahankan, Allah bukanlah tukang atau pembuat barang. Dia adalah Sang Pencipta.
Saya yakin bahwa Al-qur'an merupakan kitab petunjuk bagi kemajuan manusia dan mencakup apa saja yang diperlukan manusia dalam wilayah ilmu dan amal. Saya tidak memandangnya sebagai ensiklopedi sains dan juga tidak meyakini kebenaran mencocokkan AI-Qur'an dengan teori sains yang relatif. Walaupun mungkin dengan saling mengkonfirmasi dan mengoreksi akan menentukan tingkat validitas. Dan menurut saya validitas akan lebih tinggi, jika sains dikaitkan dengan wahyu, daripada sains yang dibiarkan saja. Dan pada kenyataannya kita tidak dapat menolak bahwa AI-Qur'an mengandung rujukan pada sebagian fenomena alam. Namun ini bukan mengajarkan sains, tapi harus digunakan sebagai bantuan dalam menarik perhatian orang kepada keagungan Allah, dan dengan itu membawanya kepada dekat dengan Allah.
AI-Ghozali dalam kitab Al-jawaahir AI-Qur'an (mutiara-mutiara AI-Qur'an) menyatakan bahwa “sesungguhnya gerakan matahari dan bulan sesuai dengan peredarannya yang pasti dan sesuai dengan gerhana yang pasti, munculnya siang dan malam, hanya bisa diketahui oleh orang yang mengetahui komposisi langit dan bumi.” Dinamika pemikiran dalam arus modernitas saat ini banyak menimbulkan kebingunan umat manusia dalam mengikuti alur pemikiran yang hendak dijadikan pedoman. Banyaknya teori dan pemikiran baru dengan berbagai argumen ilmiah-filosofis.
Jika diamati dari perspektif ajaran Islam, Islam senantiasa menganjurkan umatnya agar senantiasa berfikir serta mencermati semua ciptaan Allah yang ada di langit dan di bumi. Akan tetapi Islam tidak pernah menunjukkan umatnya tentang teori-teori sains yang memiliki kebenaran relatif, Islam hanya mengajarkan pada umatnya tentang kebenaran hakiki.
Tugas manusia sebagai khalifatullah fil ardi adalah untuk menunjukkan bahwa Islam adalah agama rahmatan lil 'alamin. Inilah yang melandasi umat Islam untuk memikirkan masa depan kemanusiaan di muka bumi, sehingga dalam praktiknya, umat Islam juga membutuhkan sains modern. Fungsi sains disini bukan menunjukkan suatu kebenaran hakiki, akan tetapi sebatas pengagungan ciptaan Allah. Hal ini tidak berarti bahwa Islam adalah agama yang tidak menyediakan secara cukup perangkat prinsip dasar atau nilai universal yang bisa dijadikan sebagai spirit kerja praktis dan inspirasi teologis, akan tetapi menunjukkan kebesaran Islam yang menginginkan suatu peradaban yang inklusif dan progresif dibawah naungan nur ilahi.
Dari berbagai fenomena yang terjadi dalam dinamika pemikiran dan perilaku umat Islam saat ini, untuk kembali menemukan kebesaran Islam guna mengendalikan peradaban di muka bumi ini, maka harus ada akselerasi pemikiran dan pengembangan sains, guna 'mengejar' ketertinggalan dalam bidang sains dari barat.
Ide Islamisasi sains dalam pemikiran masyarakat Muslim merupakan niatan baik sebagai suatu upaya kaum Muslim untuk bangkit dari ketertindasan, sehingga minimal hal ini akan membuka cakrawala baru untuk menggugah para cendekiawan muslim memikirkan kembali peradabannya yang telah terdistorsi oleh rasionalisme modern. Ide dan gagasan tentang Islamisasi sains dari beberapa ilmuwan muslim memiliki pondasi yang tidak begitu kokoh, dimana banyak problematika teoritis yang tidak terpenuhi, maka hal ini jika diterapkan akan membahayakan perkembangan sains itu sendiri. Hal lain yang perlu dicermati, penggunaan pendekatan yang bersandar kepada kebenaran transenden dari suatu  kebenaran relatif akan sangat membahayakan keimanan seseorang, bahkan akan mengakibatkan pengingkaran terhadap realitas transenden. Oleh karena itu, masyarakat Muslim hendaknya lebih kritis terhadap permasalahan kemanusiaan kontemporer. Munculnya ide baru yang dilontarkan oleh seseorang harus dicermati betul kebenarannya. Bagi cendekiawan dan intelektual Muslim, hendaknya pemunculan ide baru dalam upaya menanggulangi krisis kemanusiaan modern dibarengi dengan landasan filosofis-religius yang memiliki akar pemikiran kokoh. Pengagungan rasio dengan pemunculan teori-teori baru harus dibarengi penguatan aqidah Islamiyah,  demikian juga kekokohan bangunan religiusitas harus memandang rasionalitas sebagai penopang dan pelengkap.

Jurnal Ilmiah Exacta, Vol.2 No.1 Mei 2009, Oleh Asep Setiadi dan Dalmeri dengan perubahan seperlunya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar