FILSAFAT DAN HIKMAH
Nama: Junia
Marwa, NIM: 1210 302 090
Kata
falsafah dalam bahasa Arab diserap dari bahasa Yunani, sama halnya dengan kata
filsafat dalam bahasa Indonesia. Namun demikian, padanan katanya menurut para
ahli adalah kata hikmah. Sehingga kebanyakan penulis Arab menempatkan kata
hikmah di tempat kata falsafah, menempatkan kata hakim di tempat kata filosof,
dan sebaliknya.
Nampaknya
hal ini amat bersesuaian dengan definisi hikmah yang diberikan al-Raghib, bahwa
hikmah yaitu memperoleh kebenaran dengan perantaraan ilmu dan akal.
Namun
demikian, apa yang dimaksudkan dengan kata falsafah pada masa itu dengan kata
filsafat yang dikehendaki pada masa sekarang telah mengalami penyempitan makna.
Kata falsafah pada masa dahulu memiliki arti demikian longgar, yaitu semua
hikmah yang bisa didapatkan dengan menggunakan akal dan ilmu. Sedangkan kata
filsafat yang dikehendaki pada masa sekarang merupakan salah satu disiplin ilmu
yang telah mapan. Dalam arti yang terakhir inilah istilah filsafat dalam frase
Filsafat Hukum Islam dimaksudkan.
Dari
pemahaman di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa kata falsafah identik dengan
hikmah. Sehingga apabila disebut Filsafat Hukum Islam, maka terbersitlah dalam
pikiran akan Hikmah Hukum Islam. Para ahli Filsafat Islam menamakan kitab-kitab
sejarah para filosof dengan Akhbar al-Hukama’, seperti nama kitab yang
disusun oleh al-Qaftani, dan Tarikh Hukama’ al-Islam oleh al-Baihaqi.
Filsafat
Hukum Islam menjelaskan antara lain tentang rahasia-rahasia, makna, hikmah
serta nilai-nilai yang terkandung dalam ilmu fiqh. Sehingga kita melaksanakan
ketentuan-ketentuan Islam disertai dengan pengertian dan kesadaran yang tinggi.
Dengan kesadaran hukum masyarakat ini akan tercapai ketaatan dan disiplin yang
tinggi dalam melaksanakan hukum.
Seorang
yang mempelajari ilmu Fiqh bersamaan dengan mempelajari Filsafat Hukum Islam,
akan semakin memahami dimana letak ketinggian dan keindahan ajaran Islam,
sehingga menimbulkan rasa cinta yang mendalam kepada Sumber Tertinggi Hukum
yaitu Allah Swt, kepada sesama manusia,
kepada alam, dan kepada lingkungan di mana ia hidup.
Filsafat hikmah merupakan pengembangan atas pesan-pesan Al-Qur’an
dan Sunnah. Dalam banyak kesempatan, Mulla Shadra sang juru bicara ulung
sangat berbangga karena dapat merumuskan sistem filosofis yang sepenuhnya
berpijak di atas dasar teks-teks Al-Qur’an dan Sunnah. Seperti kutipannya: “Adalah
mustahil hukum-hukum syariat yang haq, Ilahi dan putih-bersih berbenturan dengan
pengetahuan yang swabukti; dan celakalah aliran filsafat yang
prinsip-prinsipnya tidak selaras dengan Al-Quran dan Sunnah.”
Mulla Shadra mengecam
spekulasi filosofis liar yang tidak berpijak pada wahyu Ilahi. Baginya, semua
spekulasi filosofis yang tidak bermuara pada teks-teks suci hanya akan berakhir
dengan kesimpulan-kesimpulan yang membingungkan dan menyesatkan.
Atas dasar itu, Mulla Shadra menyebut filsafatnya dengan al-hikmah
atau al-hikmah al-ilahiyyah. Hikmah merupakan istilah yang secara
khas dipakai oleh Al-Qur’an dan Sunnah dalam bermacam makna. Al-Qur’an
menyebutkan tugas kenabian sebagai pengajaran Al-Qur’an dan hikmah (QS
2: 129, 3: 48, 3: 164, dsb). Lantas, Allah meminta Nabi Muhammad saw untuk
menyeru ke jalan-Nya dengan al-hikmah (QS 16: 125). Dalam surah
al-Baqarah ayat 269, Al-Qur’an menyebut al-hikmah sebagai anugerah
kebaikan yang besar.
Filsafat hikmah tidak mengajak orang untuk sekadar berwacana,
tetapi bergerak secara konstan dalam kerangka ajaran-ajaran Islam yang
bercirikan hikmah (kebijaksanaan, ketegasan, kepastian). Dalam wujud
yang luas ini, filsafat hikmah menempatkan manusia sebagai entitas unik yang
dapat berkembang sedemikian sehingga substansinya terus meninggi (atau
menurun). Filsafat hikmah mengapresiasi proses evolusi manusia ini dengan
mendayagunakan semua potensi yang telah dimilikinya.
Dalam pelbagai karya mereka, para pendukung filsafat hikmah selalu
menggambarkan bahwa manusia adalah suatu kemenjadian yang secara konstan
mengalir tanpa henti. Manusia bukan merupakan entitas yang mandeg, melainkan
terus bergerak menaiki atau menuruni deretan tak terbatas dari
tingkatan-tingkatan wujud. Pernyataan seperti ini sebenarnya menjelaskan ajaran
pokok semua agama mengenai manusia sebagai makhluk unik yang bergerak dalam suatu
gerakan yang tak-terelakkan melewati “kematian” menuju “surga” ataupun
“neraka”.
Filsafat hikmah menyadarkan kita bahwa semua kerja manusia punya
nilainya tersendiri, betapa pun tidak berartinya nilai itu dalam perskeptif
suatu tingkatan wujud tertentu. Di dalam wujud yang bergerak secara konstan
ini, hal-hal kecil akan berpengaruh terhadap proses evolusi manusia
selanjutnya. Manusia yang berpikir tentang batu pasti akan dipengerahui oleh
citranya tentang batu, sampai akhirnya ia akan menyerap sifat-sifat batu itu
secara total.
Oleh sebab itu, para pendukung filsafat hikmah sangat menekankan
pentingnya kita untuk mengkaji teks-teks suci sebagai satu-satunya rujukan
pasti mengenai hubungan-hubungan alam fisik dan alam gaib. Setiap tindakan
fisik kita akan mempunyai dampak terhadap dimensi ruhani-gaib kita yang pada
gilirannya akan kembali menghantui kita sehingga kita melakukan hal-hal lain
yang akan berpengaruh terhadap dimensi ruhani-gaib kita dan begitulah
seterusnya. Hubungan-hubungan yang saling berjalin-berkelindan ini dijelaskan
dalam filsafat hikmah berdasarkan bukti-bukti filosofis yang diperkuat oleh
teks-teks suci dan penyingkapan mistis.
sumber:
Mulla Shadra, Al-Asfâr, Maktabah Al-Mushthafawi. 1378 H. Qum,
Bagian Pengantar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar