Kamis, 24 Oktober 2013

filsafat hukum islam

FILSAFAT HUKUM ISLAMFILSAFAT DAN HIKMAH
Nama: Junia Marwa, NIM: 1210 302 090
           
Kata falsafah dalam bahasa Arab diserap dari bahasa Yunani, sama halnya dengan kata filsafat dalam bahasa Indonesia. Namun demikian, padanan katanya menurut para ahli adalah kata hikmah. Sehingga kebanyakan penulis Arab menempatkan kata hikmah di tempat kata falsafah, menempatkan kata hakim di tempat kata filosof, dan sebaliknya.
Nampaknya hal ini amat bersesuaian dengan definisi hikmah yang diberikan al-Raghib, bahwa hikmah yaitu memperoleh kebenaran dengan perantaraan ilmu dan akal.
Namun demikian, apa yang dimaksudkan dengan kata falsafah pada masa itu dengan kata filsafat yang dikehendaki pada masa sekarang telah mengalami penyempitan makna. Kata falsafah pada masa dahulu memiliki arti demikian longgar, yaitu semua hikmah yang bisa didapatkan dengan menggunakan akal dan ilmu. Sedangkan kata filsafat yang dikehendaki pada masa sekarang merupakan salah satu disiplin ilmu yang telah mapan. Dalam arti yang terakhir inilah istilah filsafat dalam frase Filsafat Hukum Islam dimaksudkan.
Dari pemahaman di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa kata falsafah identik dengan hikmah. Sehingga apabila disebut Filsafat Hukum Islam, maka terbersitlah dalam pikiran akan Hikmah Hukum Islam. Para ahli Filsafat Islam menamakan kitab-kitab sejarah para filosof dengan Akhbar al-Hukama’, seperti nama kitab yang disusun oleh al-Qaftani, dan Tarikh Hukama’ al-Islam oleh al-Baihaqi.
Filsafat Hukum Islam menjelaskan antara lain tentang rahasia-rahasia, makna, hikmah serta nilai-nilai yang terkandung dalam ilmu fiqh. Sehingga kita melaksanakan ketentuan-ketentuan Islam disertai dengan pengertian dan kesadaran yang tinggi. Dengan kesadaran hukum masyarakat ini akan tercapai ketaatan dan disiplin yang tinggi dalam melaksanakan hukum.
Seorang yang mempelajari ilmu Fiqh bersamaan dengan mempelajari Filsafat Hukum Islam, akan semakin memahami dimana letak ketinggian dan keindahan ajaran Islam, sehingga menimbulkan rasa cinta yang mendalam kepada Sumber Tertinggi Hukum yaitu Allah Swt, kepada  sesama manusia, kepada alam, dan kepada lingkungan di mana ia hidup.
Filsafat hikmah merupakan pengembangan atas pesan-pesan Al-Qur’an dan Sunnah. Dalam banyak kesempatan, Mulla Shadra sang juru bicara ulung sangat berbangga karena dapat merumuskan sistem filosofis yang sepenuhnya berpijak di atas dasar teks-teks Al-Qur’an dan Sunnah. Seperti kutipannya: “Adalah mustahil hukum-hukum syariat yang haq, Ilahi dan putih-bersih berbenturan dengan pengetahuan yang swabukti; dan celakalah aliran filsafat yang prinsip-prinsipnya tidak selaras dengan Al-Quran dan Sunnah.”
 Mulla Shadra mengecam spekulasi filosofis liar yang tidak berpijak pada wahyu Ilahi. Baginya, semua spekulasi filosofis yang tidak bermuara pada teks-teks suci hanya akan berakhir dengan kesimpulan-kesimpulan yang membingungkan dan menyesatkan.
Atas dasar itu, Mulla Shadra menyebut filsafatnya dengan al-hikmah atau al-hikmah al-ilahiyyah. Hikmah merupakan istilah yang secara khas dipakai oleh Al-Qur’an dan Sunnah dalam bermacam makna. Al-Qur’an menyebutkan tugas kenabian sebagai pengajaran Al-Qur’an dan hikmah (QS 2: 129, 3: 48, 3: 164, dsb). Lantas, Allah meminta Nabi Muhammad saw untuk menyeru ke jalan-Nya dengan al-hikmah (QS 16: 125). Dalam surah al-Baqarah ayat 269, Al-Qur’an menyebut al-hikmah sebagai anugerah kebaikan yang besar.
Filsafat hikmah tidak mengajak orang untuk sekadar berwacana, tetapi bergerak secara konstan dalam kerangka ajaran-ajaran Islam yang bercirikan hikmah (kebijaksanaan, ketegasan, kepastian). Dalam wujud yang luas ini, filsafat hikmah menempatkan manusia sebagai entitas unik yang dapat berkembang sedemikian sehingga substansinya terus meninggi (atau menurun). Filsafat hikmah mengapresiasi proses evolusi manusia ini dengan mendayagunakan semua potensi yang telah dimilikinya.
Dalam pelbagai karya mereka, para pendukung filsafat hikmah selalu menggambarkan bahwa manusia adalah suatu kemenjadian yang secara konstan mengalir tanpa henti. Manusia bukan merupakan entitas yang mandeg, melainkan terus bergerak menaiki atau menuruni deretan tak terbatas dari tingkatan-tingkatan wujud. Pernyataan seperti ini sebenarnya menjelaskan ajaran pokok semua agama mengenai manusia sebagai makhluk unik yang bergerak dalam suatu gerakan yang tak-terelakkan melewati “kematian” menuju “surga” ataupun “neraka”.
Filsafat hikmah menyadarkan kita bahwa semua kerja manusia punya nilainya tersendiri, betapa pun tidak berartinya nilai itu dalam perskeptif suatu tingkatan wujud tertentu. Di dalam wujud yang bergerak secara konstan ini, hal-hal kecil akan berpengaruh terhadap proses evolusi manusia selanjutnya. Manusia yang berpikir tentang batu pasti akan dipengerahui oleh citranya tentang batu, sampai akhirnya ia akan menyerap sifat-sifat batu itu secara total.
Oleh sebab itu, para pendukung filsafat hikmah sangat menekankan pentingnya kita untuk mengkaji teks-teks suci sebagai satu-satunya rujukan pasti mengenai hubungan-hubungan alam fisik dan alam gaib. Setiap tindakan fisik kita akan mempunyai dampak terhadap dimensi ruhani-gaib kita yang pada gilirannya akan kembali menghantui kita sehingga kita melakukan hal-hal lain yang akan berpengaruh terhadap dimensi ruhani-gaib kita dan begitulah seterusnya. Hubungan-hubungan yang saling berjalin-berkelindan ini dijelaskan dalam filsafat hikmah berdasarkan bukti-bukti filosofis yang diperkuat oleh teks-teks suci dan penyingkapan mistis.


sumber:
Mulla Shadra, Al-Asfâr, Maktabah Al-Mushthafawi. 1378 H. Qum, Bagian Pengantar.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar