Logo iB
banyak ditemukan diberbagi bank Syariah , logo iB seakan menjadi 'ikon' untuk
menandakan 'ini loh bank Syariah itu !'.
Logo iB
secara resmi mulai digunakan pada 2 Juli 2007 . Logo iB mempunyai makna yang
mendalam . Hal ini terlihat pada bentuk dan perpaduan warna yang digunakan yang
kesemuanya mengandung arti.
Logo iB yang
dirumuskan secara bersama-sama oleh Bank Indonesia dengan para pelaku industri
perbankan syariah mempunyai makna bahwa iB merupakan sebuah kristalisasi dari
nilai-nilai utama sistem perbankan syariah yang modern, transparan, berkeadilan,
seimbang dan beretika.
Pemilihan
bentuk ornamen geometris yang menjadi elemen utama logo iB mencerminkan
pencarian terhadap kesempurnaan yang memantulkan keseimbangan
,keteraturan,presisi matematis dan perubahan yang terus menerus menuju
keparipurnaan.
Sedangkan
warna yang digunakan pada logo iB juga memiliki makna yang mendalam ,
diantaranya :
-Warna biru
melambangkan profesionalitas dan integritas.
-Warna
jingga melambangkan warna yang ramah , mencerminkan pribadi yang ramah dan
rendah hati.
-Warna hijau
melambangkan pertumbuhan
-Warna putih
mencerminkan sistem yang transparan dan bersih menganut prinsip syariah.
Lalu banyak
orang yang kembali bertanya apakah iB itu? artinya apa? seperti yang ditanyakan
oleh mas Choirul , iB jika dipanjangkan adalah islamic Banking .
Lalu kenapa
huruf 'i' pada logo iB itu ditulis dengan huruf kecil, apakah mempunyai arti? .
Menurut Irvan A. Noe’man (bapak
Desain Grafis Indonesia) menjelaskan sebagai berikut : “iB adalah islamic
banking….dan huruf i kecil mensiratkan bahwa islam
harus tampil
secara humble (rendah hati) ”.
Islam dalam islamic
banking, ditampilkan secara lembut, halus dan rendah hati. Ia menyejukkan,
bukan menakut-nakuti. Ia mendamaikan, bukan membuat gelisah. Ia halus dan
lembut, bukan teriak - teriak yang memekakkan telinga. Ia rendah hati, bukan
membusungkan kesombongan. Ia bisa menghargai, bukan memurkai atau menistai.
Itulah mengapa i-nya iB pake huruf kecil.
Kata perjanjian dan kata perikatan
merupakan istilah yang telah dikenal dalam Kitab Undang Undang Hukum Perdata
(KUHPerdata). Pada dasarnya KUHPerdata tidak secara tegas memberikan definisi
dari perikatan, akan tetapi pendekatan terhadap pengertian perikatan dapat
diketahui dari pengertian perjanjian dalam Pasal 1313 KUH Perdata yang
didefinisikan sebagai suatu perbuatan hukum dengan mana salah satu orang atau
lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.
Sekalipun dalam KHUPerdata definisi dari perikatan tidak dipaparkan secara
tegas, akan tetapi dalam pasal 1233 KUHPerdata ditegaskan bahwa perikatan
selain dari Undang-undang, perikatan dapat juga dilahirkan dari perjanjian.
Dengan demikian suatu perikatan belum tentu merupakan perjanjian sedangkan
perjanjian merupakan perikatan. Dengan kalimat lain, bila definisi dari pasal
1313 KUHPerdata tersebut dihubungkan dengan maksud dari pasal 1233 KUHPerdata,
maka terlihat bahwa pengertian dari perikatan, karena perikatan tersebut dapat
lahir dari perjanjian itu sendiri.
Sebagai bahan perbandingan untuk membantu memahami perbedaan dua istilah
tersebut, perlu dikutip pendapat Prof Subekti dalam bukunya Hukum Perjanjian
mengenai perbedaan pengertian dari perikatan dengan perjanjian. Beliau
memberikan definisi dari perikatan sebagai berikut:
“Suatu perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua
pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak
lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.”
Sedangkan perjanjian didefinisikan sebagai berikut:
“Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada
seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan
sesuatu hal.”
Hakekat antara perikatan dan perjanjian pada dasarnya sama, yaitu merupakan
hubungan hukum antara pihak-pihak yang diikat didalamnya, namun pengertian
perikatan lebih luas dari perjanjian, sebab hubungan hukum yang ada dalam
perikatan munculnya tidak hanya dari perjanjian tetapi juga dari aturan
perundang-undangan. Hal lain yang membedakan keduanya adalah bahwa perjanjian
pada hakekatnya merupakan hasil kesepakatan para pihak, jadi sumbernya
benar-benar kebebasan pihak-pihak yang ada untuk diikat dengan perjanjian
sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata. Sedangkan perikatan selain
mengikat karena adanya kesepakatan juga mengikat karena diwajibkan oleh undang
undang, contohnya perikatan antara orangtua dengan anaknya muncul bukan karena
adanya kesepakatan dalam perjanjian diantara ayah dan anak tetapi karena
perintah undang-undang.
Selain itu, perbedaan antara perikatan dan perjanjian juga terletak pada
konsekuensi hukumnya. Pada perikatan masing-masing pihak mempunyai hak hukum
untuk menuntut pelaksanaan prestasi dari masing-masing pihak yang telah
terikat. Sementara pada perjanjian tidak ditegaskan tentang hak hukum yang
dimiliki oleh masing-masing pihak yang berjanji apabila salah satu dari pihak
yang berjanji tersebut ternyata ingkar janji, terlebih karena pengertian
perjanjian dalam Pasal 1313 KUHPerdata menimbulkan kesan seolah-olah hanya
merupakan perjanjian sepihak saja. Definisi dalam pasal tersebut menggambarkan
bahwa tindakan dari satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu
orang lain atau lebih, tidak hanya merupakan suatu perbuatan hukum yang
mengikat tetapi dapat pula merupakan perbuatan tanpa konsekuensi hukum.
Konsekuensi hukum lain yang muncul dari dua pengertian itu adalah bahwa oleh
karena dasar perjanjian adalah kesepakatan para pihak, maka tidak dipenuhinya
prestasi dalam perjanjian menimbulkan ingkar janji (wanprestasi), sedangkan
tidak dipenuhinya suatu prestasi dalam perikatan menimbulkan konsekuensi hukum
sebagai perbuatan melawan hukum (PMH).
Berdasarkan pemahaman tersebut jelaslah bahwa adanya perbedaan pengertian
antara perjanjian dan perikatan hanyalah didasarkan karena lebih luasnya
pengertian perikatan dibandingkan perjanjian. Artinya didalam hal pengertian
perjanjian sebagai bagian dari perikatan, maka perikatan akan mempunyai arti
sebagai hubungan hukum atau perbuatan hukum yang mengikat antara dua orang atau
lebih, yang salah satu pihak mempunyai kewajiban untuk memenuhi prestasi
tersebut. Bila salah satu pihak yang melakukan perikatan tersebut tidak melaksanakan
atau terlambat melaksanakan prestasi, pihak yang dirugikan akibat dari
perbuatan melawan hukum tersebut berhak untuk menuntut pemenuhan prestasi atau
penggantian kerugian dalam bentuk biaya, ganti rugi dan bunga.
Uraian diatas memperlihatkan bahwa perikatan dapat meliputi dua arti, yaitu
pada satu sisi sebagai perjanjian yang memang konsekuensi hukumnya sangat
tergantung pada pihak-pihak yang terikat didalamnya, dan pada sisi lain
merupakan perikatan yang mempunyai konsekuensi hukum yang jelas. Sekalipun
perjanjian sebagai suatu perikatan muncul bukan dari undang-udang tetapi
memiliki kekuatan hukum yang sama dengan perikatan yang muncul dari
undang-undang, yaitu berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang diikat
didalamnya.
Yeah, hanya Fahmi tanpa nama marga.
Karena kamu tak pernah tahu siapa keluargamu.
Melakukan pekerjaan berbahaya.
Berkeliaran tiap waktu di tempat yang ramai oleh publik. Kamu selalu
menggunakan pakaian yang hampir menutupi seluruh ciri-ciri tubuhmu yang
mencolok. Dengan topi sport hitam untuk menutupi rambut acak-acakanmu yang
berwarna hitam kecuklatan. Dan dibalik penutup topimu, matamu tajam dan dalam
yang berwarna hitam pekat kamu tutupi dari tatapan orang-orang disekitarmu.
Tapi matamu itu tetap terpasang rapat untuk mengamati seluruh gerak-gerik orang
yang melewatimu.
Kamu menyunggingkan senyummu, saat
kamu dapati orang yang tepat sebagai targetmu pada hari ini. Dengan langkah
yang mantap, kamu tegapkan tubuhmu yang semula bersandar di dinding stasiun.
Berjalan mendekati si target yang menurutmu sangat lengah akan keadaannya
sendiri. Tak butuh waktu lama. Cukup sekitar dua puluh detik, kamu sudah keluar
dari kerumunan orang-orang. Dengan senyumanmu yang semakin lebar, seraya
menepuk saku jaketmu yang sudah mengembung karena berisi.
Selang beberapa menit kemudian, dari
kejauhan, sayup-sayup kamu dengar suara teriakan panic dari si target barusan.
Sang korban telah menyadari, bahwa barang berharganya telah dicopet. Kamu
berusaha keras untuk menghiraukan suara itu, dan mempercepat langkahmu sebelum
orang-orang menyadari siapa dirimu.
C O P E T
Kamu datang ke tempat perkumpulannya
teman-temanmu, seperti biasa, suasana di sana tak pernah berubah dengan
hari-hari sebelumnya. Berbagai orang dengan usia yang berbeda-beda, hampir
menghabiskan seluruh waktunya di tempat itu. Di bawah jembatan tol yang kumuh.
Kamu menghampiri beberapa anak
sebayamu. Tak lupa kamu memamerkan gigimu, berharap dengan begitu,
teman-temanmu ikut ceria seperti dirimu. Dan hal itu selalu berhasil kamu
lakukan. Anak-anak kecil lainnya yang sudah melihat gelagat kedatanganmu,
langsung mengerubunimu dengan wajah berbinar mereka.
Cengiranmu semakin lebar, saat kamu
mengeluarkan semua isi jaketmu, disambut sorakan bahagia dari teman-temanmu dan
beberapa anak kecil di bawah umurmu –yang wajahnya kotor oleh debu.
Berbagai macam benda kamu bagikan
pada anak-anak polos itu, apa saja, meski itu Kartu Tanda Penduduk, kartu nama,
dan berbagai kartu yang anak-anak itu sendiri tak mengerti apa artinya, mereka
hanya gunakan benda tipis dan tak gampang robek itu sebagai mainan anak-anak
yang berharga 'mahal' katamu.
Sementara teman-teman sebayamu –yang
tak pernah kamu lupakan. Kamu bagikan tiga isi dompet dengan rata pada mereka,
tak lupa kamu sisakan buat dirimu sendiri, juga buat setoran untuk 'pajak' tak
tertulis pada para preman yang sudah menatapmu sinis dari kejauhan. Tatapan
tajam mereka seolah mengatakan 'Berikan padaku. Atau kau dan semua orang di
sini mendapatkan masalah besar.'
Begitulah kehidupanmu. Kamu sendiri
tak pernah ingat sebelumnya. Kapan kegiatan ini semua bermula? Bahkan, kamu tak
pernah ingat. Kenapa kamu berada di tempat yang bukan di tempatmu sebenarnya?
Dan di mana kamu bearasal? Belum ada yang bisa memberimu jawaban untuk saat
ini.
Kamu menjalani semua ini, tanpa
merasa beban. Merasa semuanya baik-baik saja, dan merasa tak ada yang salah
dengan apa yang kamu lakukan. Kadang kamu merasa mencopet atau mencuri adalah
permaianan anak kecil yang menyenangkan, tanpa mau ambil pusing dengan resiko
besar yang mungkin menimpamu kapan saja. Karena kamu tahu, melakukan hal ini
semua untuk kebaikan orang disekelilingmu. . . .
Sampai akhirnya, seorang anak
perempuan akan mengubah jalan pandang hidupmu. . . tunggu saja Fahmi. . .
Dia akan datang dalam kehidupanmu. .
.
.
C O P E T
.
Kamu langsung melompat cepat ke
dalam bus. Kakimu yang tak terlalu panjang mengakibatkan tumpuan kakimu tak
stabil, tubuhmu oleng ke belakang, nyaris jatuh di atas aspal, beruntung ada
orang dewasa yang meraih lenganmu, menarikmu ke atas dan menutup pintu bus di
belakangmu, transportasi umum itu pun berjalan menuju halte selanjutnya.
"Wow. Nyaris saja kau jatuh
nak," ujar pria paruh baya yang baru saja menolongmu itu.
Kamu hanya menampakkan cengiranmu
seperti biasa. Menandakan kamu kini sudah tidak apa-apa.
"Terima kasih paman."
'Huf, nyaris saja.' Dalam hati kamu
menyeka keringat panikmu, dan mencoba mengatur nafasmu yang terengah-engah.
Nyaris saja yah, Fahmi. Kalau kamu
terlambat beberapa detik saja, untuk lari ke arah halte dan melompat cepat ke
dalam bus yang sudah mau berangkat kembali. Kamu pasti saat ini sudah menjadi
bulan-bulanan masa yang mengamuk di tempat kamu bereaksi tadi. Sedikit
keberuntungan lagi-lagi memihak padamu Fahmi.
Kamu berjalan, mencari bangku
penumpang yang masih kosong. Tapi, baru tiga langkah, kakimu sudah kesandung
dengan kaki penumpang lainnya. Sialnya kamu terjatuh sambil beraduh
"wuaa!", membuat kamu berjongkok di atas lantai bus. Topi yang kamu
genakan ikut terlempar ke depan. Semua mata penumpang kini tertuju padamu.
Termasuk pemilik kaki –sang tersangka utama akan isiden ini.
"Hei! Apa yang kau lakukan
disitu?" tanya si pemilik kaki yang barusan membuatmu tersandung.
Wajahmu berkerut menahan kesal,
mendengar si 'tersangka' berucap dengan nada yang sama sekali tak sopan. Kamu
menoleh, mendapati si pemilik kaki, yang ternyata adalah salah satu preman
jalanan yang kamu kenal. Nyalimu yang semula ingin memprotes, kini lenyap.
"Kau tak apa-apa?"
terdengar suara lain. Yang pasti bukan dari preman maupun pria paruh baya di
belakangmu tadi. Karena suaranya terdengar lebih lembut. Kamu menengadah ke
depan, tepat ke sumber suara, seorang anak perempuan mengulurkan tangannya
padamu. Sejenak hatimu merasa lega, setidaknya masih ada yang berbaik hati
menolongmu. Kamu menyambut tangan tersebut, untuk membantumu berdiri.
"Ini topimu 'kan?" anak
perempuan itu menyerahkan topi sport hitam milikmu.
"Terima ka. . .sih,"
ucapanmu yang semula bersemangat, mendadak memelan saat kamu bisa melihat dia
lebih jelas lagi.
Matamu terpaku. Kamu terkejut,
menatap langsung mata anak perempuan di hadapanmu. Matanya onyx dengan pupil
hitam kecoklatan, indah sekali.. pikirmu
"K-kenapa.. m-memandangku
seperti itu?," kata anak perempuan itu, seolah ia tau arti tatapanmu
padanya. Perkataannya mulai gugup, takut karena kamu menatapnya dengan lekat.
Kamu langsung sadar dengan apa yang
baru saja kamu lakukan.
"Ah, maaf. Aku tidak bermaksud
un–"
"Tak apa," matanya kembali
fokus padamu,.
"Nih," sekali lagi, anak
perempuan itu menyerahkan topimu yang sejak tadi belum kamu ambil kembali.
"Eh? I-iya. Terima kasih sekali
lagi," kali ini giliranmu yang gugup.
"Sama-sama,"
Anak perempuan itu kini berbalik
membelakangimu. Namun baru satu langkah, ia kembali mengambil langkah mundur.
Kamu mengerutkan keningmu heran,
"kenapa?" tanyamu padanya.
Anak perempuan itu menoleh.
"I-itu. Bangkuku tadi sudah diduduki penumpang lain."
"He? Gara-gara kau
menghampiriku yah? Maaf."
"Nggak juga. Aku senbentar lagi
mau turun di halte berikutnya kok. Tenang saja."
"Oh, ."
Dan kini anak perempuan itu berdiri
di sampingmu. Dia memegangi kursi penumpang sebagai penyangga agar posisi
tubuhnya tetap stabil dalam pergerakan dari bus yang mereka tumpangi.
Sesekali kamu meliriknya melalui
ekor matamu. Anak perempuan itu menggenakan seragam sekolah, menandakan dia
baru saja pulang sekolah karena kini sudah menjelang sore hari. Rambutnya
berwarna indigo, pendek sebahu, poninya yang lebat dan beberapa helaian rambut
yang membingkai wajah imutnya.
Warna kulitnya putih. Membuatmu agak
takjub, karena ini pertama kalinya kamu menemui anak perempuan yang berkulit
bersih seperti dia. Teman-temanmu sudah pasti tak ada yang bisa menandingi
kulitnya. Apalagi bau shamponya, harum, wangi, menusuk hidungmu. Padahal sudah
sore, kenapa wanginya masih terasa yah?
"A-a-apa yang kau
lakukan?"
Kamu berjengit kaget, saat kamu
sadar, apa yang baru saja kamu lakukan: Mengendus puncuk kepala anak perempuan
itu yang pendek beberapa senti darimu. Kamu melihat wajah anak perempuan itu
yang memerah dan menjaga jarak denganmu.
"A-a-aku," tak bisa
menjawabnya dengan jujur. Wajahmu juga ikut memerah, menahan malu atas tindakan
sembronomu barusan.
Bus mendadak mengerem. Sebenarnya
hanya berhenti seperti biasa. Tapi bagimu ini sangat mendadak. Karena secara
bersamaan, anak perempuan di hadapanmu yang sudah tak berpegangan lagi, jatuh
ke arahmu.
Beruntung daya tangkapmu sangat
kuat. Kamu menangkap tubuhnya dengan gesture yang SANGAT baik. Hingga posisi
kalian terlihat seolah kamu mendekap anak perempuan tersebut.
"Ehm. Anak zaman sekarang.
Kecil-kecil udah berani pacaran di bus umum," celetuk pria, alias preman
'kenalan'mu, sengaja dengan nada dibuat-buat, bermaksud menggodamu yang dapat
kesempatan untuk memeluk anak perempuan tersebut.
Tubuhmu awalnya beku, terkejut
dengan bunyi degup jantungmu yang mendadak semakin keras. Kamu langsung
melepaskan pelukanmu setelah mendengar celetukan si preman. Anak perempuan
tersebut juga menjauh. Tak beda jauh darimu. Wajah anak perempuan itu juga
memerah.
Butuh sepersekian detik bagimu,
untuk bisa menormalkan keadaanmu kembali. Kamu lalu berdehem.
"Kau tak apa-apa? M-maaf, yang
tadi aku tidak sengaja, beneran deh."
"Tak apa," anak perempuan
itu menunduk.
"T-terima kasih," dan dia
segera pergi meninggalkanmu.
Seperti yang baru saja dia katakan
beberapa menit tadi, di halte inilah dia turun.
Kamu masih terpaku. Sebelum akhirnya
kamu menghela nafas panjang dan mengelus dadamu. Menenangkan dirimu yang
barusan merasa hampir terkena gagal jantung.
"Hei!" panggil preman yang
masih duduk di kursi penumpang, tepat di sampingmu berdiri. "Jangan lupa.
Berikan juga bagianku," bisiknya seraya menyeringai.
Kamu tersentak. Hendak bertanya,
namun matamu yang tidak sengaja memandang benda persegi di genggamanmu,
langsung memberi efek kejut yang dahsyat, sehingga otakmu baru menyadari suatu
hal yang hampir tertinggal.
Yaitu: tanpa sadar, saat kamu
menangkapnya atau lebih tepatnya memeluk anak perempuan tadi. Saraf tanganmu
bergerak sendiri, seolah sudah hafal dimana letak benda favoritmu yang selalu
kau incar itu, dan mengambil benda tersebut. Intinya. Kamu sudah mencopet
dompet anak perempuan tadi.
"Oh tidak!" entah kenapa
kamu merasa menyesal telah berhasil mencopet, untuk pertama kalinya dalam
hidupmu. Eh? Benar 'kan Fahmi?
.
C O P E T
.
Kamu membuka dompet lavender yang
'tanpa sadar' kau copet tadi sore. Tujuh lembar uang di dalamnya sudah ludes
kamu ambil. Kini yang tersisa hanya selembar foto anak perempuan itu, dan
beberapa kartu di dalamnya.
Ada satu kartu yang menarik
perhatianmu, kartu identitas siswa. Dari benda tipis itu kamu bisa mengetahui,
dimana ia bersekolah? sebagai siswa kelas tiga sma, dimana juga alamat
rumahnya? Termasuk siapa nama anak perempuan itu, Siti sholiha.
Kamu penasaran. Entah kenapa, rasa
ingin bertemu dengannya lagi muncul dalam benakmu. Akhirnya, kamu memutuskan
ingin menemuinya.
Esok harinya. Setelah kamu selesai
dari 'pekerjaan' sehari-harimu, kamu tidak langsung pulang ke bawah jembatan.
Kamu malah berbelok arah, menuju ke SMA Wachit Hasyim, tempat Siti menuntut
ilmu.
Kamu menunggu dari kejauhan. Tak
lama, kamu melihat gerbang sekolah itu terbuka. Beberapa anak berseragam,
berhamburan keluar melalui gerbang sekolah tersebut.
Kamu mengintai dengan lekat setiap
anak perempuan yang keluar dari gerbang sekolah. Mata tajam-mu yang sudah
terlatih melihat dengan jelas dari jarak jauh, sangat membantumu untuk
menemukan sosok anak perempuan yang kau temui kemarin.
Senyummu mengembang. Dengan mengumpulkan
segenap rasa percaya dirimu. Kamu memantapkan hatimu untuk berjalan
mendekatinya.
Dengan PeDe-nya, kamu berseru
memanggil namanya. Serentak ia menoleh (siswa lain juga, karena suaramu
terlampau kencang), dan dia terkejut melihat kedatanganmu.
"Siang Siti!" kamu
menyapa, tak lupa kamu tampakkan cengiranmu.
"Ka. .kau?" ia menunjukmu
dengan gugup. "…yang. . . kemarin itu 'kan? Di dalam bus?"
Kamu mengangguk semangat.
"Da. .dari mana kamu tahu
namaku?" tanyanya dengan heran.
Kamu langsung mengambil dompet
lavender miliknya dari balik jaket orangemu.
"Dari dompetmu. Nih. Sekalian
aku ingin mengembalikannya padamu," kamu menyodorkan dompet itu padanya.
Dia mengerjap bingung, sebelum
akhirnya matanya berbinar dan menerima dompetnya kembali.
"Terima kasih."
"Sama-sama," kamu nyengir.
Dan dia membalasmu dengan senyum malu-malu, plus dengan pipinya yang merona.
Suara klanson mobil, menarik
perhatian kalian. Penjemput Siti telah datang.
"Aku pulang duluan yah. Sekali
lagi, terima kasih… er…"
"Fahmi. Panggil aku
Fahmi."
"Ah. Iya. N-Fahmi….."
Sejak saat itu. Kamu mulai bisa
berteman dengannya. Setiap siang, kau sempatkan dirimu untuk menemuinya di
gerbang SMA Wachit Hasyim.
.
C O P E T
.
"Kau mengembalikan dompetku,
tapi kenapa isinya hampir kosong. Fotoku pun juga tak ada. Kau mengambilnya
yah?"
"Iya."
"Kembalikan."
"Tidak mau."
Kamu tertawa, melihat betapa lucunya
wajah Siti saat merajuk. Imut banget pikirmu
.
.
.
"Hari ini kakakmu tidak
menjemputmu pulang sekolah lagi?"
"Iya."
"Kenapa?"
"Aku menolaknya."
"Kenapa?"
"Karena. . . err. . . lebih
menyenangkan kalau. . . a-aku bisa naik bus denganmu."
"O-oh…."
Kali ini kamu tak bisa tertawa
melihat wajah Siti memerah, karena kamu juga merona.
"Hari ini ayah datang untuk
menjemputku pulang sekolah."
"Oh, sayang sekali. Jadi hari
ini kita tidak bisa jalan bareng lagi."
"Bu. . .bukan hanya untuk hari
ini Fahmi..."
"Maksudmu?"
"A-ayahku sudah tahu, kalau
selama ini a-aku berteman denganmu."
"Lantas?"
"D-dia juga sudah tahu, kalau
kau. . . . pencopet. . ."
"….. sudah tahu….?"
"I-iya…..Ayahku melarangku
untuk–"
". . ."
"M-maaf. . . Maaf Fahmi-. .
."
Tubuhmu membeku. Butuh beberapa
detik untuk menyadarimu. Saat melihat Siti menunduk di hadapanmu, saat matanya
tak berani menatapmu, saat bahunya gemetar di tempat, saat bunyi klanson
terdengar, saat pria paruh baya menarik lengan Siti menjauh darimu, saat Siti berbalik
memberikan tatapan terakhirnya padamu, dan saat kau melihat matanya yang sudah
berlinangkan air mata. Kamu sadar, waktu perpisahan akhirnya tiba. . .
Meski baru tiga bulan kalian
berteman. Tapi ikatan erat yang sudah terjalin diantara kalian, membuat hal ini
sangat berat untuk diterima.
Tanpa sadar, air bening juga menetes
dari sudut matamu. . . untuk pertama kalinya, kamu menyesal menjadi seorang
pencopet. ….
.
C O P E T
.
Kamu berlari, dengan mengeluarkan
sekuat tenagamu. Tak peduli dengan beberapa orang yang kamu tabrak, tak peduli
dengan air hujan yang terus menembus bajumu, membuat tubuhmu basah kuyup dan
mulai menggigil. Yang kamu pedulikan hanya beberapa orang yang mengejar di
belakangmu, mereka semakin waktu makin banyak karena sorakan 'copet' terus
tertuju padamu.
Kamu panic, tak pernah sepanik ini,
juga tak pernah bekerja seburuk ini. Entah kenapa, otakmu kali ini benar-benar
buntu untuk mencari jalan keluar atau pun tempat persembunyian. Anehnya, dalam
otakmu hanya terpikirkan satu orang. Siti.
Kamu menyesal, sangat sangat
menyesal. Dalam hati kau terus berdoa sambil menangis. Kenapa hidupmu seburuk
ini? Tak bisakah Tuhan memberimu berkah? Dan tak bisakah kamu berteman dengan
Siti kembali?
'TIIIIT!'
"AWAAS!"
"KYAA!"
'BRUUK!'
Semuanya terjadi terlalu cepat
bagimu. Saat mendadak suatu sinar menyorot matamu, saat tiba-tiba bunyi klanson
memekakan telingamu, saat teriakan histeris orang-orang bersahutan, saat
mendadak benda keras menubruk tubuhmu, membuat kau terlempar beberapa meter,
rasa sakit luar biasa langsung menyerang seluruh tubuhmu.
Pandanganmu memudar. Beberapa orang
berlari mendekatimu. Air hujan yang jatuh menerpa tubuh terlentangmu. Darah
yang keluar dari kepalamu tercampur dengan air hujan, mengalir di atas trotoar.
. . .
Saat kesadaranmu ada pada ujung
batasmu. Kamu hanya menyebutkan satu nama. . .
"emmmhh… Siti. . . ."
.
C O P E T
.
Sementara itu. . .
"Siti, sampai kapan kamu akan
menunggunya? Ini sudah hampir malam."
"Sebentar lagi kak. Aku hanya
ingin mengucapkan sesuatu padanya."
"Hn? lebih tepatnya salam
perpisahan untuk teman barumu itu 'kan?"
"I-iya."
"Baiklah. Lima belas menit
lagi. Kalau dia belum pulang juga ke tempat kumuh ini. Kita berangkat. Aku
tidak ingin kita ketinggalan pesawat ke kalimantan."
". . . . Fahmi. . . kau dimana?
Sebentar lagi aku akan pindah ke kalimantan. . ."
.
C O P E T
.
Sudah tiga minggu kamu tak sadarkan
diri. Tubuhmu terbaring lemah di atas ranjang. Dibantu dengan alat pernapasan
yang menutupi mulut dan hidungmu. Wajahmu terlihat sangat tenang, dengan mata
yang tertutup, tanpa ada tanda-tanda pergerakan dari dirimu. Kecuali bunyi
deteksi jantung yang tertera di computer kecil di sisi ranjangmu.
Saat ini kamu masih terombang-ambing
diantara dimensi hidup dan mati, alias koma dalam bahasa kedokteran.
Tanpa kau ketahui, seseorang pria
paruh baya, yang hampir mirip denganmu. Berdiri di sisi ranjangmu. Menatapmu
dengan pandangan sayu. Sebelah tangannya memegangi sebuah ponsel yang ia
hadapkan pada telinganya. Dan dia berucap pada orang di ujung hubungan
selulernya. . .
"ibu. . . . akhirnya aku
menemukannya. . ."
Dan saat kamu terbangun. Sebuah
kejutan besar akan menantimu. . .
Kamu masih betah berdiri di sana, di
bawah jembatan tol, tempat kumuh yang seharusnya bukan tempatmu. Matamu yang
berwana biru keabu-abuan, tak hentinya terus memandang ke ujung jalan, berharap
ada sosok anak laki-laki yang datang kemari. Senja sudah mulai terbenam, hujan
pun sedikit demi sedikit berhenti jatuh ke muka bumi. Tapi dia belum juga
tampak ujung hidungnya.
Kakakmu menepuk pundakmu.
"Sudahlah Siti. Waktu kita mepet untuk ke bandara jika kau masih
bersikukuh untuk menunggu temanmu itu."
"Tapi kak–"
"Kau ingin ayah
memarahiku?"
Kamu tak tega, melihat pandangan
khawatir dari kakakmu. Akhirnya kamu mengalah. "B-baiklah kakak. Kita
pergi sekarang."
Meski kakakmu sudah tersenyum.
Hatimu belum tenang. Entah kenapa perasaanmu hari ini semakin tak tenang.
Seperti sesuatu yang buruk telah terjadi pada temanmu.
Kamu menghela nafas. Ini adalah hari
terakhirmu di lamongan. hanya kemungkinan kecil kamu bisa kembali. Karena
seluruh keluargamu akan pindah ke kalimantan, mulai hari ini juga.
Dalam hati kamu mengucapkan salam
perpisahan, meski itu sangat berat, sangat berat. Terlebih lagi orang yang
ingin kamu temui, tak bisa kamu peluk untuk terakhir kalinya.
'Fahmi-. . . Sampai jumpa lagi. Aku
pasti akan merindukanmu.'
.
.
End Flash back.
C O P E T
Tiga tahun kemudian. . . .
Kamu berjalan di sepanjang koridor
sekolah. Dua puluh enam buku tebal kau bawa bertumpuk dikedua tautan tanganmu,
cukup berat untuk fisik perempuan sepertimu. Tubuhmu yang hanya mempunyai
tinggi sekitar 160cm, membuat kamu agak sulit melihat jalan di hadapanmu, yang
terhalang oleh tumpukan buku-buku yang kamu bawa.
Sesekali kamu menghela nafas
panjang. Meratapi nasibmu yang sebagai wakil ketua kelas, harus memikul hampir
semua tugas ketua kelas, jika ia berhalangan. Sayangnya, ketua kelasmu itu
hampir setiap waktu berhalangan. Otaknya saja yang ber-IQ tinggi, hingga dia
diangkat menjadi ketua kelas Semester2-A, namun sikapnya sangat malas.
Dalam hati, sebenarnya kamu ingin
memprotes permintaan Deni. Tapi saat kamu melihat mulutnya yang menguap lebar,
dengan mata merah seperti tak pernah tidur semalam, membuat hatimu luluh juga.
Dengan hati sedikit tak rela, kau pun membawa seluruh buku tugas satu kelas ke
kantor guru.
Belum lagi, tadi pagi tersiar kabar
baru. semester baru ini, akan ada mahasiswa pindahan ke kampusmu. Tepatnya
penghuni baru di kelasmu. Sudah bisa dipastikan, kamu akan menjadi pembimbing
untuk teman barumu kelak.
Sebenarnya, tak ada yang salah
dengan hal ini, tapi kamu merasa tak enak nantinya. Karena kata kabar burung,
siswa pindahan itu adalah anak tunggal dari keluarga Rosyadi, salah satu
keluarga terpandang. Kamu sudah sangat yakin, anak baru itu pasti tak akan beda
jauh dengan Erik dan Nanda. Anak laki-laki yang bersikap dingin dan sok cool,
mentang-mentang mereka dari keluarga berderajat tinggi. Termasuk, kakakmu
sendiri yang juga tak beda jauh dari mereka. Itu pasti.
Sempat terpikirkan olehmu,
seharusnya anak-anak sombong seperti mereka, diperlihatkan tentang kehidupan di
bawah mereka, tepatnya orang-orang yang berjuang keras untuk mencari sesuap
nasi dengan segala cara yang mereka bisa, salah satunya mencopet.
Copet. . .
Seketika mengingatkanmu lagi pada
seseorang. Teman lama, oh bukan, lebih tepatnya teman yang sangat menyenangkan,
meski hanya bisa bersama selama tiga bulan. Tapi memori otakmu tak akan pernah
melupakannya.
Senyumannya, candanya, tawanya,
mimic wajahnya yang tak pernah bertopeng. . . bagaimana keadaannya saat ini?
Rasanya kau ingin segera bertemu lagi dengannya? Meski itu mustah–
'Bruak!'
Kamu menabrak seseorang, itulah
akibatnya kalau kamu melamun sambil berjalan. Apalagi dengan tumpukan buku yang
kau bawa, alhasil buku-buku tersebut bertebaran di lantai koridor.
"Ah, M-maaf," kamu
menunduk, merasa bersalah karena kau tak focus pada jalanmu. Kamu langsung
berjongkok, memungut buku-buku yang sempat terjatuh. Sekilas matamu melirik
kaki orang yang kau tabrak, tak berani untuk menatap wajahnya langsung, takut
jika dia marah.
Laki-laki itu –karena terlihat dari
celana seragam yang digunakannya– membantumu memungut sebagian buku.
"Nggak apa-apa. Aku juga yang
salah karena jalan mundur. Hehehe. . ." kamu mendengar suaranya, tapi kamu
masih menunduk mengambil buku yang terakhir.
"Soalnya aku anak baru di sini,
jadi sedikit tersesat," ujarnya lagi.
Kamu berdiri, diikuti oleh anak
laki-laki acak-acakan di hadapanmu. Dia juga membawakan sebagian buku-buku yang
terjatuh tadi, seraya berucap:
"Maafkan a…ku,"
"Terima ka….sih,"
Kamu terpaku. Pemuda di hadapanmu
juga terpaku, saat kedua mata kalian saling bertemu. Mata onyxmu, menatap lekat
mata hitam pekat di hadapanmu, begitu pun sebaliknya.
Angin yang berhembus melalui jendela
koridor sekolah, seolah menambahkan kesan tersendiri, saat meniup helaian
rambut panjangmu, juga rambut cak-acakan pemuda di hadapanmu.
"N-Fahmi. . .!!"
"Siti. . .!!"
Hatimu bergetar, mendengar namamu
kembali terucap oleh suara (yang agak berat dari tiga tahun lalu) dari orang
yang kamu rindukan. Tumpukan buku di tanganmu, kembali kamu jatuhkan, kali ini
kamu tak peduli dengan buku itu. Kakimu berjalan mendekatinya. Buku yang berada
di tangan pemuda itu juga ikut terjatuh, saat melihat matamu yang mulai
berkaca-kaca.
"K-kau kah itu?" suaramu
terdengar parau. Dalam hati kamu masih takut, jika saja orang yang ada di
hadapanmu hanyalah halusinasimu saja. Tanganmu terangkat untuk memegang
pipinya.
Dalam sekejap, dia langsung
merengkuhmu, mendekapmu, memelukmu, membuat jantungmu kembali berdegup kencang,
degup jantung yang sama ketika dia mengenggam tanganmu tiga tahun yang lalu.
"Menurutmu? Hm, Siti?"
Tangis kecilmu pun pecah, kamu
membalas pelukannya, melepas rindu, melampiaskan segala harapanmu yang hampir
punah. Sesuatu keajaiban, kembali terjadi dalam hidupmu.
"Su. . . .sulit dipercaya,
Fahmi. . . aku bisa bertemu denganmu lagi."
"Ya, tak sia-sia perjuanganku
mencarimu."
Senyummu mengembang, melihat
cengiran Fahmi kembali dalam wujud nyata. Bukan mimpi.
.
C O P E T
.
"Kenapa kau bisa ada
disini,?"
"Sebenarnya aku sendiri juga
tak pernah membayangkan. Ternyata aku ini anak tunggal keluarga Rosyadi yang
hilang saat aku berusia lima tahun. Gak ada yang bisa jelasin dengan logika,
kenapa aku bisa nyasar ke Lamongan Aku sama sekali tidak ingat apa-apa saat
itu."
"Benarkah?"
"Iya. Aku saja kaget. Mendadak
ada ibu-ibu merangkulku saat aku sadar dari rumah sakit. Dan bilang kalau aku
adalah anaknya. Yang membuat aku masih tak habis pikir, dokter bilang, aku
beruntung karena ditabrak oleh ayahku sendiri! Dimana letak warasnya tuh!"
"Hihihihi. . ."
"Jangan tertawa Siti.
Kecelakaan itu benar-benar membuat nyawaku terancam lho."
"M-maaf.. . aku hanya berpikir,
kalau kisahmu mirip dengan Cinderella."
"Fahmi. Beberapa kali harus
kubilang. Berhentilah mencopet, kau itu sudah tercatat sebagai marga Rosyadi
Fahmi. Ingat!"
"Hei hei. Sejak kapan kau bisa
secerewet itu Siti? Kau lebih mirip ibuku jika berlagak galak seperti
itu."
"T-tapi 'kan–"
"Lagian kau tau sendiri 'kan,
hasilnya juga buat anak-anak jalanan kok. Yang kucopet juga orang-orang berada.
Apa salahnya mencopet dari uang jajan teman-teman yang lebih?"
"Tetap saja Fahmi. Itu
kebiasaan buruk. Apa jadinya kalau kamu tertangkap basah? S-seisi sekolah bisa
menghinamu."
"Oh. Kau khawatir padaku yah?
Kenapa tak bilang saja dari awal? Tak perlu menceramahiku seperti itu 'kan.
Siti-chan~ Sayang~"
"B-berhenti menggodaku!"
Kamu tak bisa menahan rasa panas
yang menjalar di wajahmu, saat Fahmi tertawa melihat kamu salah tingkah.
.
.
.
"Siti. Sore ini kau ikut aku
yah?
"K-kemana?"
"Aku ingin mengajarimu taktik
mencopet yang baik. Hehehe. . ."
"Jangan sembarangan. Tentu saja
aku tidak mau."
"Kau yakin?"
"Iya!"
"Sayang sekali. Padahal aku
'kan ingin sekalian mengajakmu kencan."
Kamu membeku, semakin merona,
melihat Fahmi sedikit tersipu saat mengatakan kalimat terakhir tadi dengan
sangat pelan. Dalam hati kamu bertanya, 'apa aku tidak salah dengar?'
"Kau. Karena yang kudengar,
popularitasmu di sekolah cukup meningkat.. Sampai ada fans girl segala. Selamat
yah Fahmi."
"Hehehehe…. Terima kasih. Tapi
kenapa kau mengucapkan selamat dengan nada sinis begitu?"
"T-tidak kok…!!!! Hari
ini aku ingin pulang sendiri saja."
"Apa? Tidak jadi kuantar
nih?"
"TIDAK!"
"Hie! Kenapa kau mendadak marah?"
Kamu berjalan meninggalkannya dengan
kaki yang sesekali dihentakkan, tak peduli dengan Fahmi meneriakkan namamu dari
belakang. Entah kenapa, kamu sangat marah melihat siang tadi Fahmi itu
dikelilingi cewek-cewek (sampai ada yang mencubit pipinya). Emosimu
meluap. Benar-benar sangat marah.
"Jangan pura-pura tidak tahu,.
Kau mencopet ponselku lagi 'kan?"
"Hehehe. . . iya. Kau terlalu
lengah sih Siti. Jadi aku selalu punya kesempatan untuk mengambilnya berapa
kali."
"Fahmi…!!!!. . "
"Iya deh, maaf, besok aku pasti
ke rumahmu untuk mengembalikannya lagi. Tenang saja."
"Kau itu kenapa sih ?."
"Apanya?"
"Kenapa setiap akhir pekan, kau
selalu mencopet ponselku? dan minggunya kau mengajakku ketemuan untuk
mengembalikan ponselku lagi. Jangan mempermainkan ponselku seperti itu
Fahmi."
"Aku tidak bermaksud
mempermainkannya. Aku punya alasan sendiri melakukannya."
"Apa itu?"
"Err, rahasia."
"Fahmi. Tak ada
rahasia-rahasian denganku. Katakan saja, atau a..aku….aku tak ingin bicara lagi
denganmu."
"Oke oke. Akan kukatakan…. Em… sebenarnya,
aku sengaja mengambil ponselmu tiap hari sabtu, karena. . ."
"Apa?"
"Karena. . . er…. Aku ingin
menyabotase ponselmu dari anak-anak sekolah yang berniat mengajakmu kencan–
tut…tut…tuuuuuut…'
Kamu cengo. Mendengar telfon darimu
diputuskan begitu saja dari ujung sana. Tepatnya dari Fahmi yang berada di
rumahnya. Tapi sepersekian detik kemudian. Wajahmu langsung merona hebat. Kamu
bahkan tak kuat lagi untuk menyangga tubuhmu. . .
Suara gedebuk terdengar di depan
telepon rumah kediaman Hyuuga. Kamu pingsan di tempat, Siti?
.
.
C O P E T
.
.
Tanggal 30 oktober. . . . Seperti
anak remaja biasanya, kamu mengadakan pesta di rumahmu. Sebenarnya kamu tak
begitu ingin merayakannya, namun teman-temanmu selalu mendesakmu untuk
mengadakan pesta, kata teman-teman “pesta untuk princess cat” itu temanya,.
Waktu sudah menunjukkan jam delapan
malam, semua undangan hampir sudah hadir. Memberikan ucapan selamat, pelukan
hangat, doa yang bermanfaat, dan kado berfariasi sebagai pelengkap. Kamu
bahagia melihat teman-teman berkumpul dan berbagi canda tawa di rumahmu. Meski
kamu selalu tersipu karena menjadi pusat perhatian di sini.
Tak ada yang menyangkal, kamu sangat
cantik malam ini, sangat-sangat cantik. Dengan gaun lavender-putih, selutut,
berlengan pendek, lengkap dengan renda-renda yang memperindah gaunmu. Rambutmu
yang panjang, kau sanggul indah ke belakang, tetap membiarkan beberapa helai
membingkai wajahmu yang imut. Teman wanitamu sampai-sampai mencubit gemas
pipimu yang merona dan bersikap pura-pura marah karena kamu berhasil menandingi
kencantikannya malam ini.
Tapi, dari semua yang hadir, dan
memberikan ucapan maupun pujian. Tak ada yang bisa mengalahkan kehadiran teman
spesialmu di sini. Pemuda yang paling tampan sedunia –menurutmu– kini berdiri
di hadapanmu. (hahahaha sotoy yo aku)
Fahmi, mengenakan celana hitam,
kemeja putih (tanpa dasi) dengan dua kancing terbuka di atas dan dilapisi jas
hitam yang tak dikancing, lengan jas digulung hingga di bawah siku,. Kemeja
putihnya pun ia tak masukkan ke dalam celananya. Pakaian formal yang digunakan
Fahmi terkesan santai saat ini. Benar-benar tipikalnya, dengan hitam pekat yang
tak seperti biasanya acak-acakan , hari ini rapih disisir kebelakang, sudah
cukup menambah kesan 'top' pada penampilannya.
Dia nyengir padamu, dan kamu merona.
Terlebih lagi saat dia memberikan seikat rangkaian bunga mawar merah padamu.
Teman-teman wanitamu langsung pamit menjauh darimu, mengerti dengan keadaanmu
dan sengaja memberikan privasi pada kalian.
"Selamat Ulang Tahun Siti…"
"Te…t-terimakasih," kau
gugup luar biasa. Matamu tak berani menatap langsung matanya, kau lebih memilih
memandang sepatunya untuk menutupi kegugupanmu.
Tak ada suara lagi yang keluar dari
mulut Fahmi. Kau heran, penasaran, kau beranikan dirimu untuk menengadah, dan
melihat Fahmi menatapmu dengan lekat. Dilihat dari wajahnya yang agak melongo,
sepertinya dia juga terpesona melihat penampilanmu, terbukti saat dia berucap
dengan lirih.
"Kau. . . . cantik Siti. Sangat
cantik…"
Darahmu seakan berdesir hebat, dan
menyembur di puncuk ubun-ubunmu. Kau eratkan peganganmu pada ikat tangkai bunga
merah di tanganmu, berharap agar tubuhmu tidak segera pingsan di tempat. Kau
berusaha mengeluarkan suaramu, meski kau masih gugup luar biasa.
"B-benarkah? Hehehe…" dia
menggaruk tengkuknya, sekilas kamu melihat dia tersipu.
Matamu kembali tertuju di atas
lantai, sesekali kau mencuri pandang padanya, yang ternyata dia juga
mengalihkan pandangannya ke arah lain. Suasana canggung pun tercipta di antara
kalian. Walaupun pesta meriah masih berlangsung di sekitar kalian.
"A-ayahku belum pulang dari
kerjanya. Aku tidak ingin potong kue dulu kalau beliau belum hadir," kamu
mencoba mencairkan suasana canggung ini.
"Oh. Jadi karena itu, dari tadi
pestanya belum dimulai?"
"I-iya. M-maaf yah, harus
menunggu dulu. Tapi tenang saja, katanya dia akan sampai di rumah tujuh menit
lagi.."
"Begitu yah. . ."
terdengar Fahmi menghela nafas.
"Kalau kau keberatan untuk
menunggu. Kau boleh pulang kok Fahmi-."
"Hei, kau berniat mengusirku
yah?"
"Tidak juga. Hanya saja aku
takut kau akan mencopet para undanganku."
"iiiiihhh Siti~"
"Hihihi… hanya bercanda."
Kamu tertawa geli, dan dia juga ikut tertawa. Suasana canggung pun mencair…
"Siti."
Kamu terkejut, mendadak Fahmi meraih
tanganmu. Kamu menengadah untuk menatapnya, "A-ada apa ?"
"T-t-tapi…" tanganmu sudah
terlanjur ditarik oleh Fahmi. "I-ini tidak ada dalam agenda acara ultahku
Fahmi-?"
"Bagaimana kalau aku memaksa?
Hm?"
Kamu mengalah, tahu kalau Fahmi itu
keras kepala. Kamu tak sanggup menolak ajakannya, terlebih lagi, scenario
dadakan ini juga pernah terimpikan olehmu.
Semuanya terjadi begitu saja. Kamu
masih agak bingung, saat Fahmi menarikmu ke tengah ruangan. Kamu masih tak
sadar, saat Fahmi mengisyaratkan temanmu untuk menggantikan musik pestamu. Kamu
masih saja menurut, saat Fahmi menautkan jari-jarinya di tangan kirimu, dan
menuntun tangan kananmu ke atas pundaknya.
Baru setelah, sebelah tangan Fahmi
memegang pinggulmu. Membuat kamu langsung sadar akan trans-mu. . .
"N-Fahmi-….a-a-aku tidak
bisa–"
"Tak apa, kau bisa mengikutiku
pelan-pelan."
"S-sejak kapan kau pandai
berdansa?"
"Err…rahasia." Dia
mengedipkan matanya dengan jahil.
Musik yang slow pun mulai diputar.
Perlahan kamu dibimbing olehnya bergerak secara beraturan, mundur, maju, kanan,
kiri, maju lagi, dan seterusnya.
Fahmi nyengir padamu, melihat kamu
sudah bisa mengikuti alunan dansanya. Lagi-lagi kamu merona, terlebih lagi saat
kau sadar, semua mata yang hadir di rungan ini, kini sudah tertuju padamu.
Kamu menunduk, menyembunyikan
wajahmu.
Perlahan, Fahmi menarik pinggulmu mendekat,
hingga kepalamu menabrak dadanya. Kau agak terkejut, tapi juga tidak menolak
atau pun memprotesnya. Dalam hati, berbagai pertanyaan memenuhi benakmu.
Kamu sendiri bingung dengan hubungan
kalian selama ini. Kalian tidak bisa dikatakan hanya sebagai teman, karena
kebersamaan kalian yang sangat dekat. Kalian juga masih belum bisa dikatakan
pacar, karena sama sekali belum ada kesepakatan diantara kalian kalau jadian.
Suah banyak gossip yang menyebar
tentang hubungan kalian. Kamu tahu hal itu, Fahmi juga tahu tu. Tapi kalian
berdua sama sekali tidak menanggapi gossip tersebut. Seolah-olah hal itu hanya
angin lalu.
Sebenarnya, kamu tak begitu
mempermasalahkan hubungan kalian, karena rasanya sudah kelewat nyaman. Hampir
setiap hari menghabiskan waktu berdua, dengan kedekatan yang benar-benar
membuat kau selalu bahagia. Meski dari tingkah kalian satu sama lain yang sudah
sangat menonjolkan adanya perasaan lebih di antara kalian berdua. Tapi tetap
saja bukan? Tetap harus ada pernyataan langsung dari yang bersangkutan. Kamu
sudah lama memikirkannya. Apa yang sebenarnya dipikirkan Fahmi selama ini
tentang dirimu? Apakah dia…. Juga 'sama' dengamu?
Hembusan nafas Fahmi kau rasakan di
puncak ubun-ubunmu, kamu juga bisa mendengar degup jantung Fahmi di telingamu
yang menempel pada dadanya. Kamu tahu, pemuda yang mengajakmu dansa ini sangat
gugup, sebanding dengan kegugupanmu sendiri. Kamu nyaris pingsan saat dekapan
Fahmi di pinggangmu ia per-erat.
"N-n-Fahmi-?"
"Hm?"
Kamu memantapkan hatimu untuk menanyakannya
sekarang jua. "A-apa aku boleh bertanya sesuatu padamu?"
Kamu menunggu jawabannya, namun
selang beberapa menit kalian berdansa, Fahmi sama sekali tak menyahut. Akhirnya
kau memutuskan untuk bertanya langsung.
"N-Fahmi-….. apa kau–"
belum sempat kau melanjutkan bicaramu fahmi sudah memotong kat-katamu
"Aku mencintaimu…." Dengan
suara lirih berbisik padamu
Tapi, kamu masih belum sadar, kamu
masih diam, merasa ada yang salah dengan pendengaranmu. Mungkin ini efek dari
suara lagu pesta (yang slow?) atau mungkin karena bunyi degup jantungmu yang
memekakan telingamu sendiri. Yah, mungkin benar. Sebaiknya ditanyakan lagi–
belum sempat kau membuka mulutmu.. fahmi sekali lagi membuatmu tercekak
"Aku mencintaimu Siti…..
sungguh," kali ini sangat jelas terdengar suaranya.
Kamu tak bisa menahan dirimu untuk
tersenyum, wajahmu yang merona kali ini, terasa menyenangkan bagi dirimu. Kamu
membalas pelukannya, rasanya kamu ingin melompat di tempat jika kamu bisa, tapi
kamu lebih memilih untuk menangis sebagai rasa bahagia yang kamu salurkan.
Kalian berhenti berdansa. Bahumu sedikit gemetar, entah ingin menangis atau
tertawa, dan kamu masih saja menyembunyikan wajahmu di dada Fahmi. Tanganmu
melingkar erat di lehernya, berharap dia tak akan pernah menjauh lagi darimu.
"Hei? Siti? Kau tak
apa-apa?" ada tersirat nada khawatir dari ucapan Fahmi. Dia pasti sedikit
bingung dengan tingkahmu.
"K-kenapa tidak bilang dari
dulu?"
"Yah… hanya ingin menunggu
waktu yang pas. Jadi… err… bagaimana denganmu?"
"K-kupikir kau sudah cukup
pintar untuk mengetahuinya."
"Hei. Tetap saja 'kan. Aku juga
ingin mendengarnya langsung darimu."
Kamu sengaja mengambil jeda untuk
tidak langsung menjawab. Sebelum akhirnya, kamu melonggarkan sedikit pelukan
kalian. Kamu mendongak, menatap langsung mata tajam milik pemuda di hadapanmu.
Kamu memberanikan diri untuk menatapnya langsung, tak peduli dengan wajahmu
yang sudah merona, kamu berucap dengan mantap, berusaha meyakinkannya.
"Aku….aku juga mencintaimu…
Fahmi-…"
Dan senyuman lebar mengembang di
wajah Fahmi, mengundang dirimu juga ikut tersenyum.
Semua kebahagian itu mengalir begitu
saja…. Tau-tau kalian sudah berciuman di sana. (hahahaha masyaaa-Allah, anak
kecil jangan ditiru yaaa)
Tak sadar dengan pandangan
teman-teman kalian yang menatapnya dengan berbagai arti yang berbeda….
Ciuman pertama, yang lembut dan
penuh arti itu, berakhir. Mengundang seisi undangan pesta beretepuk tangan
riuh, bersiul senang, bersorak menggoda, atas momen indah yang sudah kamu dan
Fahmi ciptakan dalam pesta tersebut.
Wajahmu sangat merah. Kamu bisa saja
pingsan jika tak ada Fahmi yang memeluk terus pinggangmu. Sementara Fahmi hanya
nyengir sambil menggaruk tengkuknya, meski wajahnya juga tak kalah merah
darimu.
Malam itu, salah satu kenangan
bersejarah bagimu yang disaksikan banyak orang. Dan untuk selanjtnya, tiga
tahun kemudian, kalian akan melakukan hal yang hampir sama. Bedanya hanya ada
pada pakaian yang kalian gunakan berupa gaun wedding,
Sekali lagi…
Selamat untuk kalian.
Terutama kamu, Siti.
Selamat Ulang Tahun.
Semoga kamu selalu bahagia bersama
Fahmi
Selamanya.
.
C O P E T
.
End
AUTHOR SAY : hehehehe ini karya happy
endingku yang kedua, dari yang pertama gagal.. maaf kalo ceritanya mudah
ketebak.. ini terinspirasi dari orang dengan nama sama di tokoh cewek dalam cerita